Begini Strategi Corporate Lawyer Gaet Investor Lewat Skema Kontrak BOT
Berita

Begini Strategi Corporate Lawyer Gaet Investor Lewat Skema Kontrak BOT

Inti dari Build Operate Transfer (BOT) itu adalah menyusun proyek supaya atraktif untuk swasta. Swasta concern di sisi operasional supaya supaya swasta bisa me-recover investasinya dengan cara dia mengoperasikan proyeknya.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Mutiara Rengganis dalam acara Pelatihan Hukumonline 2016 “Legal And Financing Aspects of Build Operate Transfer Project” di Jakarta. Foto: RES
Mutiara Rengganis dalam acara Pelatihan Hukumonline 2016 “Legal And Financing Aspects of Build Operate Transfer Project” di Jakarta. Foto: RES
Pemerintah terus mendorong investor agar tertarik melakukan investasi pada proyek-proyek pemerintah. Sejumlah upaya telah dilakukan, salah satunya dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang menggantikan aturan sebelumnya, Perpres Nomor 67 Tahun 2005.

Partner dari firma hukum Armand Yapsunto Muharamsyah & Partners (AYMP), Mutiara Rengganis menilai, upaya pemerintah menarik minat investor dengan cara menerbitkan Perpres Nomor 38 Tahun 2015 merupakan suatu terobosan. Lewat regulasi itu, pemerintah mencoba melakukan inovasi baru dalam rangka mendukung pembiayaan proyek-proyek infrastruktur.

“Institusi yang dibuat seperti Indonesia Infrastructure Guarantee (IIGF), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Indonesia Infrastructure Finance (IFF). Itu salah satu mekanisme yang dibuat pemerintah agar swasta ini mau atau tertarik dalam proyek ini,” kata Mutiara usai menjadi narasumber dalam acara Pelatihan Hukumonline 2016 “Legal And Financing Aspects of Build Operate Transfer Project” di Jakarta, Selasa (22/11).

Meskipun mengapresiasi, Mutiara juga punya sedikit catatan yang mesti menjadi perhatian semua pihak terutama pemerintah. Isu besar yang masih terus menjadi tantangan buat investor adalah mengenai penjaminan. Di sini, ia melihat kadangkala ada sikap pemerintah yang enggan memberikan penjaminan pemerintah meskipun ia menyadari bahwa tidak semua proyek bisa diberikan penjaminan pemerintah. Tentunya, pemerintah punya prioritas seperti proyek mana saja yang bisa mendapatkan penjaminan pemerintah. (Baca Juga: 3 Aspek Hukum Terkait Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur)

Keberadaan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang mengawasi pelaksaan proyek infrastruktur coba ditawarkan. Namun, kata Mutiara, peran KPPIP sangat terbatas mengingat komite tersebut hanya fokus untuk proyek-proyek infrastruktur prioritas. Setahunya, saat ini ada sekitar 30 proyek prioritas yang dibuat dan tengah diawasi oleh KPPIP.

“Ada banyak proyek lain yang perlu dibuat pemerintah, bukan hanya itu saja. Dan skema financing harus lebih jelas,” ujar Mutiara yang juga Pengurus dari Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) ini.

Selain itu, kendala lain yang dihadapi dari segi proyek adalah soal bagaimana pemerintah menunjuk proyek-proyek yang akan diajukan kepada investor. Selama ini pemerintah masih menggunakan cara dimana proyek-proyek dari daerah disaring oleh Bappenas dan dilihat mana proyek yang potensial. Dari situ, proyek-proyek diusulkan berdasarkan urutan dimana proyek itu lebih siap untuk ditawarkan, maka proyek itulah yang ditawarkan kepada investor.

Mutiara usul sebaiknya cara itu tidak lagi dipakai oleh pemerintah. Menurutnya, investor tidak akan peduli dengan proyek-proyek mana saja yang siap. Sebaliknya, investor lebih ingin tahu apakah suaatu proyek bagus atau tidak untuk investasinya. Dengan kata lain, ia mendorong pemerintah membuat formulasi baru dalam menawarkan proyek kepada investor.

“Harusnya tidak gitu, harusnya proyek mana nih, kita lihat dari sisi proyek yang lebih atraktif bagi swasta itulah yang disiapkan untuk swasta. Jangan kebalikannya. Proyek-proyek yang tidak menguntungkan malah dikasih ke swasta. Itu yang membuat akhirnya proyek sekarang banyak mandek,” paparnya.

Jalan keluar yang bisa dilakukan, sebut Mutiara adalah dengan memberikan semacam insentif untuk proyek-proyek infrastruktur. Menurutnya, ada beberapa macam insetif yang diberikan, salah satunya dengan skema proyek Build Operate Transfer (BOT). Skema BOT lebih fokus pada status kepemilikan (ownership) dari suatu aset apakah itu milik pemerintah ketika masa konsesi atau apakah itu milik swasta selama masa operasional atau sebagainya.

“Inti dari BOT itu adalah bagaimana kita men-structrure proyek supaya itu atraktif untuk swasta. Dari sisi swasta itu concern-nya terutama dari sisi operasional karena kontrak BOT itu dibuat sedemikian lama tujuannya supaya swasta bisa me-recover investasinya dengan cara dia mengoperasikan proyeknya,” terangnya.

Kepada hukumonline, Mutiara mengatakan bahwa banyak yang tidak menyadari bahwa proyek infrastruktur memiliki jangka waktu yang cukup lama. Full recovery baru bisa terjadi pada masa konsensi. Seharusnya pihak yang mengerjakan BOT itu diberikan jaminan bahwa dia bisa mengerjakan proyek itu tanpa interupsi. Jadi sepanjang masa konsesi itu, mereka harus dapat jaminan dari pemilik proyek bahwa dia bisa mengerjakan proyek itu tanpa gangguan. (Baca Juga: Memahami Aspek Ganti Kerugian dalam Mega Proyek Infrastruktur)

Sayangnya, tidak semua proyek BOT itu layak. Artinya, ada proyek-proyek infrastruktur yang tidak layak karena pertimbangan biasanya berdasarkan hitungan investor sendiri. Jadi, karena itu pemerintah perlu memberikan subsidi seperti memberikan dukungan kas atau dana dukungan tunai infrastruktur (Viability Gap Fund/VGF), yakni dukungan kelayakan untuk konstruksi.

“Misalnya ada project cost misalnya sekian, nanti dari pemerintah bisa memberikan dukungan dalam bentuk cash untuk pembangunan konstruksi. Tapi hanya sebagian tidak boleh lebih besar dari setengah, tidak boleh mendominasi istilahnya kalau di dalam peraturan,” sebutnya.

Selain VGF, ada lagi bentuk penjaminan lainnya seperti skema pembayaran atas ketersediaan layanan (Availaibility Payment). Cara itu khusus untuk proyek yang ditinjau dari segi ekonomis sangat rendah, bahkan tidak ada nilainya. Misalnya, proyek yang ada kaitannya dengan pembangunan rumah sakit, rumah sakit daerah, atau lembaga pemasyarakatan (Lapas) dimana jenis ini tidak punya revenue langsung secara otomatis sehingga harus dibayar oleh pemerintah, bentuknya lewat availability payment.

“Jadi pemerintah menganggarkan dalam APBN untuk pembayaran availability payment itu kepada swasta. Sifatnya itu pembayaran cash terhadap layanan yang diberikan. Nah itu harus sesuai dengan kriteria atau indikator yang disepakati dalam perjanjian, service level-nya. Kalau service levelnya tidak dipenuhi swasta, otomatis dia tidak berhak dong pas pembayaran itu,”

Selain itu, ada juga yang dinamakan Government Guarantee. Tujuannya adalah untuk credit enhancer atau meningkatkan kredit. Ambil contoh misalnya, ada suatu proyek yang sudah layak tetapi investor masih ragu-ragu karena mereka melihat risiko dari segi politik (political risk). Namun, ketika Investor melihat government guarantee, maka itu sebagai credit enhancer yang bisa menurunkan financing.

Meski begitu, pemerintah juga perlu mendorong dari segi pembiayaannya. Saat ini telah ada SMI atau IIF terkait dengan penjaminannya. Namun, itu masih belum cukup lantaran proyek yang mesti didanai sangat banyak jumlahnya. Mutiara usul, mestinya pemerintah bisa menggerakan sektor lain seperti perbankan dan pasar modal secara luas untuk membiayai proyek-proyek tersebut. (Baca Juga: Presiden Ancam Laporkan Proyek “Mangkrak” ke KPK)

“Kalau SMI dan IFF kan tujuannya untuk menjadi katalis saja sifatnya supaya banyak dulu proyek yang dibiayai atua dimulai dikerjakan oleh swasta. Tapi ke depannya harus digerakan dari sektor perbankan dan pasar modal secara luas. Contohnya mengenai financing melalui penerbitan obligasi untuk infrastuktur bond. Itu salah satu yang menarik, tapi saat ini belum terlalu dimanfaatkan pemerintah,” tuturnya.

Dengan kata lain, lanjut Mutiara, pemerintah belum terlalu memperhatikan alternatif pembiayaan lain buat proyek-proyek infrastruktur. Selain itu, dari sisi insentif juga belum ada yang diberikan. Misalnya, insentif dalam bentuk pajak. “Biasanya kalau orang disuruh beli obligasi, dia mau yang yield tinggi. yield yang tinggi kalau tidak ada tax insentif kan susah,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait