Aturan Peralihan UU Kewarganegaraan Seharusnya Dicabut
Berita

Aturan Peralihan UU Kewarganegaraan Seharusnya Dicabut

Guna menghindari diskriminasi antara anak-anak yang terlahir sebelum dan setelah UU Kewarganegaraan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Anak-anak hasil perkawinan campuran berfoto bersama pejabat pemerintah. Foto: MYS
Anak-anak hasil perkawinan campuran berfoto bersama pejabat pemerintah. Foto: MYS
Pengamat Hukum Tata Negara  yang belum berusia 18 tahun hasil kawin campur          

Sebelumnya, Pemerintah meminta MK agar menolak uji materi Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Sebab, materi permohonan Ibu dari Gloria NatapradjaHamel initelah kehilangan objek permohonan karena Pasal 41 UU Kewarganegaraan sudah tidak berlaku lagi. (Baca: Akhirnya, Gloria Gugat Status Kewarganegaraan ke MK.

“Dalam konteks uji materi yang diajukan Ira, Pemerintah menyatakan permohonan ini kehilangan objek permohonan karena pasal yang diuji sudah tidak berlaku,” ujar Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Yunan Hilmy saat mewakili pandangan Pemerintah di sidang pengujian UU Kewarganegaraan di Gedung MK, Rabu (26/10) lalu.

Seharusnya Pemohon  mendaftarkan diri status kewarganegaraan anaknya ke Kemenkumkam paling lambat 1 Agustus 2010 agar memperoleh kewarganegaraan Indonesia.Tetapi, hingga 1 Agustus 2010, Pemohon tidak mendaftarkan anaknya. Karena itu, status anak Pemohon mengikuti warga negara asal bapaknya karena dilahirkan sebelum berlakunya UU No. 12 Tahun 2006. Padahal, sejak UU Kewarganegaraa ini lahir hingga 2010 sudah 12.807 anak hasil kawin campuran telah mendaftarkan status kewarganegaraannya.

Bagi Pemerintah, alasan Pemohon tidak mengetahui adanya aturan Pasal 41 UU Kewarganegaraan tidaklah beralasan. Sebab, dalam peraturan perundang-undangan dikenal asas fictie (fiksi) dimana setiap orang harus dianggap mengetahui berlakunya Undang-Undang ketika sudah diundangkan dalam Lembaran Negara.

Sebelumnya, lewat kuasa hukumnya, Ira Hartini Natapradja Hamel mempersoalkan Ketentuan Peralihan Pasal 41 UU Kewarganegaraan terkait status kewarganegaraan (ganda) bagi anak yang belum berumur 18 tahun dari hasil kawin campur. Pasal ini dianggap diskriminatif karena anak yang belum berusia 18 tahun hasil perkawinan campuran setelah berlakunya UU Kewarganegaraan ini otomatis berstatus warga negara Indonesia (tidak perlu mendaftar).

Sebaliknya, ketika anak yang belum berusia 18 tahun hasil kawin campur dari ibu WNI sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan diwajibkan mendaftar untuk memperoleh status kewarganegaraan. Menurut Pemohon, seharusnya, anak Pemohon bernama Gloria Natapradja Hamel (16 tahun) setelah berumur 18 tahun dapat memilih WNI mengikuti kewarganegaraan ibu kandungnya atau memilih warga negara Perancis mengikuti kewarganegaraan ayah kandungnya. Seperti berlaku bagi anak yang belum berumur 18 tahun atau belum kawin yang lahir setelah UU Kewarganegaraan ini.

Karena itu, Pemohon meminta Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau Pasal 41 ini dimaknai frasa mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah UU ini diundangkan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Untuk diketahui, Gloria Hamel yang terlahir di Indonesia pada 1 Januari 2000 dari pasangan Didier Hamel (Perancis) dan Ira Natapradja (WNI)itu sempat terhambat menjadi anggota Paskibraka pada 17 Agustus 2016 di Istana Negara lantaran berkewarganegaraan ganda. Hal ini diduga karena konsekuensi berlakunya Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Padahal, Gloria telah mengikuti serangkaian seleksi dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional.
Refly Harun menilai Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mengharuskan anak mendaftarkan ke Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia seharusnya dibatalkan. Sebab, aturan itu berpotensi menyebabkan seorang anak yang terlahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan ini kehilangan kewarganegaraan.   

“Aturan ini justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Refly saat menjadi ahli di sidang pengujian UU Kewarganegaraan yang dimohonkan Ira Hartini Natapradja Hamel di Gedung MK, Selasa (22/11).(Baca: Kasus Kewarganegaraan Ganda, Jalir Legislative Review Lebih Pas).

Pasal 41 UU Kewarganegaraan menyebutkan “Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf 1 dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang (UU) ini diundangkan dan belum berusia 18 tahun atau belum kawin memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan UU ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah UU ini diundangkan.”(Baca: Terkait Kewarganegaraan Ganda, Ini Harapan Perca Indonesia).

Ahli yang sengaja dihadirkan Pemohon ini menegaskan ketentuan tersebut berpotensi membuat seorang anak hasil kawin campur kehilangan kewarganegaraannya. “Bagaimana bila orang tua tidak mendaftarkan anaknya untuk memiliki kewarganegaraan Indonesia baik karena tidak mendaftar, tidak tahu, atau lupa, sehingga, habis tenggat waktu yang diberikan. Tentunya secara otomatis, anak tersebut kehilangan kewarganegaran Indonesianya, seperti dialami Gloria,” kata Refly.

Karena itu, Refly berpendapat ketentuan Pasal 41 UU Kewarganegaraan seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini menghindari adanya diskriminasi antara anak-anak yang terlahir sebelum UU tersebut ditetapkan dan anak-anak yang terlahir setelah UU tersebut ditetapkan.

“Artinya, sebelum usia 18 tahun, baik mereka yang lahir setelah 1 Agustus (2006) maupun sebelum 1 Agustus 2006 tetap diakui kewarganegaraan gandanya sampai usia 18 tahun (kemudian memilih),” katanya.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait