BI Akan Punya Semacam ISDA 2002 Sendiri, Namanya “PIDI”
Berita

BI Akan Punya Semacam ISDA 2002 Sendiri, Namanya “PIDI”

Akan diterbitkan dalam SE BI mengenai Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah paling lambat Desember 2016.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Rika Satriana Dewi (kanan). Foto: Hukumonline
Rika Satriana Dewi (kanan). Foto: Hukumonline
Bank Indonesia (BI) segera menerbitkan pedoman perancangan kontrak transaksi derivatif. Penerbitan pedoman standar kontrak tersebut sejalan dengan upaya BI dalam rangka mendorong pendalaman pasar keuangan agar transaksi derivatif juga semakin berkembang. Nantinya, aturan yang dibungkus dalam Surat Edaran BI (SE BI) ini akan diterbitkan paling lambat Desember 2016 mendatang.

“Memang terakhir ini transaksi derivatif tidak berkembang dalam pasar uang kita,” ujar Deputi Direktur pada Departemen Hukum BI, Rika Satriana Dewi dalam acara Pelatihan Hukumonline 2016 “Transaksi Derivatif & Teknik Penyelesaian Sengketa Transaksi Derivatif” yang digelar di Jakarta, Selasa (29/11).

Menurut Rika, kurang berkembangnya transaksi derivatif belakangan ini akibat sempat ada pembatasan transaksi yang dilakukan oleh BI lantaran pada waktu itu banyak unsur spekulasi yang dilakukan dalam transaksi tersebut. Selain itu, perbankan juga melihat ada sejumlah kasus terkait transaksi derivatif yang berlanjut ke meja hijau yang membuat transaksi derivatif diakui oleh BI kurang berkembang beberapa waktu belakangan. (Baca Juga: Isu Derivatif Mencuat di Persidangan Pailit Danamon vs Esa Kertas)

Akan tetapi, kata Rika, ke depan transaksi derivatif akan berkembang kembali sejalan dengan sejumlah ketentuan yang diterbitkan oleh BI terkait lindung nilai (hedging). Bentuk aturan tersebut misalnya ada ketentuan rasio yang harus diikuti oleh industri-industri terutama yang memiliki hubungan erat dengan asing atau valuta asing tentunya agar bisa mendorong transaksi derivatif tersebut. (Baca Juga: Berlaku Awal 2017, BI: Bank Domestik Mampu Penuhi Hedging)

“Kita juga sudah membuka juga structured product yang tadinya ngga boleh, sekarang ada yang boleh. Yang soal call spread option (dalam PBI No. 18/18/PBI/2016 dan PBI No. 18/19/PBI/2016). Diharapkan kedepan ini semakin bergejolak untuk transaksi derivatifnya,” kata Rika.

Diakui Rika, upaya mendorong transaksi derivatif tidaklah mudah lantaran tidak semua bank melaksanakan transaksi derivatif terutama bank-bank kecil. Di satu sisi,  perbankan mempunyai kendala terutama dalam penyusunan kontrak, namun di sisi lain nasabah kadangkala merasa kontrak yang dibuat terlalu complicated. Alasan itulah yang melatarbelakangi BI segera menerbitkan standar kontrak yang disebut Perjanjian Induk Derivatif Indonesia (PIDI) bisa menjadi acuan pembuatan kontrak oleh para pihak.

Lewat standar kontrak inilah, nantinya PIDI menjadi referensi perjanjian yang dapat digunakan dan dilampirkan dalam SE BI mengenai Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. penyusunan ini juga disusun berdasarkan International Swaps and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement 2002. Namun disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, yakni menggunakan hukum Indonesia, asumsi transaksi antar pelaku domestik, menggunakan bahasa Indonesia, dan menggunakan IDR (rupiah) sebagai termination currency.

“Intinya kita mewajibkan bahwa semua transaksi derivatif itu ada kontraknya dan ada underlying transaksinya,” sebut lulusan LL.M dari Columbia Law School, New York itu.

Disusun sejak awal tahun 2016, dalam pembahasannya BI meminta banyak masukan dari sejumlah kalangan. Mulai dari industri perbankan, konsultan hukum, serta berkonsultasi dengan pihak ISDA sendiri. Sejauh ini, draf SE BI terkait Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah mengatur sejumlah cakupan dalam draf kontrak baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah atau asing, yakni:
Untuk Kepentingan SendiriUntuk Kepentingan Nasabah/Pihak Asing
-      Nomor kontrak
-      Tanggal transaksi dan tanggal valuta
-      Nilai nominal transaksi
-      Nama counter party
-      Mata uang (denominasi)
-      Rekening bank koresponden
-      Nomor kontrak
-      Hak dan kewajiban dari kedua belah pihak
-      Tanggal transaksi dan tanggal valuta
-      Nilai nominal transaksi
-      Pagu transaksi valuta asing terhadap rupiah
-      Jenis valuta asing yang diperjualbelikan
-      Jenis transaksi yang digunakan
-      Besarnya komisi
-      Rekening bank koresponden

“Kontrak transaksi valuta asing yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dapat berupa PIDI. Penggunakan kontrak PIDI dalam transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah merupakan tanggung jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi,” tutup Rika.

Sebagai informasi, transaksi derivatif kerap digunakan oleh para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usaha. Transaksi derivatif sendiri merupakan perjanjian penukaran pembayaran di mana pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau komoditi di masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokoknya. (Baca Juga: Ini yang Harus Diperhatikan dalam ISDA 2002)

Setidaknya terdapat tiga bagian utama dari ISDA, yakni master agreement, schedule dan confirmations. Master agreement terdiri dari 14 pasal. Mulai dari interpretasi, kewajiban para pihak seperti pembayaran dan penyerahan dana, terdapatnya pajak yang akan dipungut dari transaksi derivatif tersebut, bankruptcy hingga payment on early termination. (Baca Juga: Kesepakatan Dua Belah Pihak Penting dalam Transaksi Derivatif)

Sedangkan schedule sendiri terdiri dari persetujuan para pihak untuk tunduk kepada master agreement dan terdapatnya modifikasi terhadap master agreement yang disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk confirmations adalah hal-hal spesifik yang berlaku untuk transaksi-transaksi tertentu. (Baca Juga: Pentingnya Pemahaman ISDA Sebelum Bertransaksi Derivatif)

Dimintai tanggapannya, Partner dari firma hukum Hendra Soenardi Law Firm, Soenardi Pardi mengapresiasi rencana BI menerbitkan standar kontrak yang menjadi pedoman dalam penyusunan transaksi derivatif. Menurutnya, pedoman tersebut bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi potensi sengketa para pihak dalam implementasikan kontrak para pihak.

“Iya, saya rasa itu akan membantu mengurangi sengketa. Kalau bisa diselesaikan itu lebih baik,” kata Soenardi yang juga menjadi narasumber dalam acara yang sama.

Namun, ia mengusulkan agar BI juga membuat semacam buku putih terkait drafnya sehingga pedoman itu bukan sebatas draf kontrak melainkan juga dibuat kajian baik dari aspek legal, aspek praktik, aspek keuangan, dan yang terpenting adalah adanya penjelasan mengenai maksud dari ketentuan tersebut.

Hal itu sangat penting, kata Soenardi, agar ketika ada pihak yang mencoba melakukan penafsiran, mereka bisa melihat sejarah dibuatkan ketentuan tersebut seperti dalam ISDA 2002 yang membuat semacam petunjuk (guidance). “Jadi bukan sekadar siap dengan kontrak,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait