Begini Bantahan Pemerintah Soal Uji Pasal Penggusuran
Berita

Begini Bantahan Pemerintah Soal Uji Pasal Penggusuran

Pemohon menyayangkan tindakan kesewenangan pemerintah daerah dalam hal penggusuran lahan atau rumah tanpa memberi kesempatan warga membela diri dan menjelaskan riwayat tanah yang ditempati.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Tindakan penggusuran oleh aparat. Foto: RES (Ilustrasi)
Tindakan penggusuran oleh aparat. Foto: RES (Ilustrasi)
Pemerintah menganggap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Prp Tahun 1960  tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya telah memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil atas kepemilikan tanah yang sah. Sebaliknya, memberi sanksi pidana kepada pihak-pihak yang secara tidak sah dan melawan hukum menguasai tanah milik orang lain tanpa izin yang berhak.

“Perppu ini juga membuka kesempatan pihak-pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan melalui peradilan umum, seperti kasus yang dialami Para Pemohon,” ujar Staf Ahli Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Iing R Sodikin Arifin saat mewakili pandangan Pemerintah dalam sidang uji materi Perppu 51 Tahun 1960 di Gedung MK, Selasa (29/11).              

Sebelumnya, tiga warga korban penggusuran di Jakarta yakni Rojiyanto, Mansur Daud P, dan Rando Tanadi mempersoalkan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) butir a, butir b, butir c, dan butir d, serta Pasal 6 ayat (2) Perppu tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

Mereka dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut lantaran tidak mendapat ganti kerugian saat rumahnya digusur paksa oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sebab, beleid ini seolah-olah memberi wewenang pemerintah daerah untuk “menyerobot” kewenangan peradilan karena setiap sengketa tanah tidak melalui lembaga peradilan terlebih dahulu, tetapi faktanya langsung dieksekusi oleh Pemprov DKI Jakarta. (Baca juga:  Korban Gusuran Gugat UU Larangan Penggunaan Tanah Tanpa Izin)

Padahal, kepemilikan tanah Para Pemohon yang sudah mendayagunakan tanah tersebut dalam jangka waktu lama sebenarnya dilindungi beberapa pasal UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Apalagi, penelantaran tanah (oleh negara) dapat mengakibatkan hapusnya kepemilikan yang diatur Pasal 1967 KUHPerdata. 

Ironisnya, beberapa kasus penggusuran paksa, selain ada unsur kriminalisasi, pemerintah daerah sebagai pelaku penggusuran paksa tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sejalan dengan asas publisitas hukum agraria (Pasal 19 ayat (4) UUPA). Padahal, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum tidak mengatur norma pidana. Karena itu, Para Pemohon meminta MK menghapus berlakunya pasal-pasal tersebut karena bertentangan UUD 1945 Tahun 1945.

Sodikin menjelaskan Perppu No. 51 Tahun 1960 ini juga amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyebut “Bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Karena itu, penguasaan Negara ini salah satunya melindungi pemegang hak atas tanah agar tertib dalam pemakaian hak atas tanah. (Baca juga: Korban Penggusuran Gugat PT KAI).

“Ada dua jenis pendudukan tanah yakni pendudukan yang sah dan tidak sah seperti diatur Perppu ini,” kata Sodikin.

Ditegaskan Sodikin, larangan penguasaan atau pemakaian tanah tanpa izin yang berhak tidak hanya saat negara dalam keadaan bahaya (darurat), tetapi juga berlaku ketika negara dalam keadaan damai. Aturan ini untuk mencegah adanya tindakan mengambil hak seseorang, seperti menempati tanah atau rumah orang lain yang bukan haknya sekaligus dikenakan sanksi pidana bagi pelanggarnya.           

Pemerintah membantah Perppu ini mengandung unsur kriminalisasi terhadap korban penggusuran sekaligus menghadapi sengketa lahan di pengadilan. Sebab, ada proses musyawarah terlebih dahulu dalam hal penyelesaian sengketa lahan/tanah garapan bagi warga dan pemerintah daerah.

“UU No.2 Tahun 2012 tidak relevan dijadikan dalil permohonan karena fokus pengujian ini terkait perlindungan penguasaan tanah yang tidak sah,” tegasnya.

Pihaknya berharap MK menolak permohonan ini karena pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan UUD 1945 Tahun 1945. “Setidak-tidaknya permohonan ini tidak dapat diterima karena menyangkut constitutional complaint, implementasi norma yang bukan kompetensi MK untuk mengujinya, melainkan kompetensi pengadilan umum,” katanya. (Baca juga: KPK Tanyakan Sanusi Soal Penggusuran Kalijodo Dibiayai Swasta).            

Menyayangkan
Usai persidangan, salah satu kuasa hukum Para Pemohon dari LBH Jakarta, Matthew Michele Lenggo mempertanyakan Pasal 167 KUHP sudah mengatur tindak pidana penyeborotan tanah, tetapi dalam Perppu No. 51 Tahun 1960 diatur lagi. “Ini kan tumpah tindih, kita mau pakai yang mana, ini kan menjadi tidak efektif dan tidak pasti,” kata Matthew di Gedung MK.     

Dia mengkritik pandangan Pemerintah yang menyebut Perppu ini memberi kesempatan masyarakat men-challenge (keberatan ke pengadilan) atas keputusan penguasa daerah dalam hal tindakan penggusuran. Sebab, Perppu ini sebenarnya tidak mengatur mekanisme pengajuan keberatan/gugatan ke pengadilan sebelum dilakukan tindakan penggusuran.     
“Perppu ini tidak mengatur ‘Rumah baru bisa dibongkar apabila sudah ada putusan pengadilan’, justru disebutkan ‘kalau diketahui ada pemakaian tanah tanpa izin yang berhak/kuasanya, penguasa daerah dapat sewaktu-waktu menertibkan. Rata-rata warga yang kita dampingi, mereka langsung dikasih tahu Pemerintah ‘Hei Kamu penghuni liar, kamu harus ‘cabut’, ini tanah negara, dasar hukumnya, Perppu 51 Tahun 1960,” bebernya.

Dia menyayangkan tindakan kesewenangan pemerintah daerah dalam hal penggusuran lahan atau rumah tanpa memberi kesempatan warga membela diri dan menjelaskan riwayat tanah yang ditempati. “Kenapa tiba-tiba Pemerintah menggusur rumah warga tanpa diberi kesempatan dulu, dicek dulu, sudah berapa lama mereka tinggal? At least, ditanya apa mereka punya surat girik atau tidak? Ini nggak pernah ditanya,” keluhnya.   

Padahal, kata dia, UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dikenal asas penguasaan fisik tanah dalam kepemilikan hak atas tanah. Artinya, apabila seseorang sudah menguasai dan memanfataatkan tanah tersebut lebih dari 25-30 tahun harus dianggap sebagai pemilik tanah yang sah. Sebab, dalam hukum agraria tidak selalu (mutlak) bicara soal kepemilikan sertifikat, tetapi juga melihat penguasaan fisik tanah.

“Misal, Anda punya tanah bersertifikat, tetapi ditinggal (ditelantarkan) tanah itu selama 20-30 tahun, hak Anda atas tanah itu hilang/hapus meski punya sertifikat. Ini juga diatur Pasal 1963-Pasal 1967 KUHPerdata terkait daluwarsa,” kata Matthew.

Tags:

Berita Terkait