Pemerintah Bahas Aturan Teknis Konvensi Ketenagakerjaan Maritim
Berita

Pemerintah Bahas Aturan Teknis Konvensi Ketenagakerjaan Maritim

Pembahasan dilakukan antar kementerian dan lembaga pemerintahan terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kapal di laut. Foto: MYS
Ilustrasi kapal di laut. Foto: MYS
Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006 telah diratifikasi melalui UU No. 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006. Pada bagian Penjelasan UU No. 15 Tahun 2016 disebutkan Pemerintah wajib menyusun pedoman yang dijadikan panduan bagi pemilik kapal serta awak kapal laut dan pelaut. Pedoman itu mengatur antara lain perlindungan syarat dan kondisi kerja, perekrutan dan penempatan, pelatihan dan kompetensi kerja, dan penegakan hukum.

Plt. Dirjen Pembinaan, Pengawasan Tenaga Kerja dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan, Maruli Apul Hasoloan, mengatakan setelah konvensi itu diratifikasi Pemerintah berencana menerbitkan peraturan teknis. Saat ini masih dilakukan pembahasan antar kementerian dan lembaga pemerintah terkait: Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Hukum dan HAM. (Baca juga: Indonesia Ratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, Apa Pentingnya?)

“Untuk bidang ketenagakerjaan, peraturan teknis itu perlu menjelaskan bagaimana persyaratan dan kondisi kerja misalnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3),” kata Maruli di Jakarta, Kamis (01/12).

Terpisah, Kepala Bidang Advokasi dan HAM Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), Imam Syafii, mengatakan pelaut dan awak kapal menyambut baik ratifikasi tersebut. Ia berharap ratifikasi bisa diimplementasikan segera guna mendorong kesejahteraan pelaut dan awak kapal. Dari berbagai persoalan yang selama ini dihadapi pelaut dan awak kapal salah satunya soal ketenagakerjaan.

Imam berharap melalui ratifikasi konvensi tersebut Kementerian Ketenagakerjaan bisa berperan melakukan pengawasan. Menurutnya perjanjian kerja laut yang dikantongi para pelaut hanya mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Kedua regulasi itu tidak memberi perlindungan yang memadai terhadap pelaut. (Baca juga: Ini yang Harus Diketahui dalam Mendirikan Perusahaan Pengangkutan Laut).

Akibatnya, ketika terjerat kasus, pelaut seperti dipingpong. Misalnya, melaporkan masalah upah yang tidak dibayar kepada pihak Kementerian Perhubungan, mereka beralasan itu ranah Kementerian atau Dinas Ketenagakerjaan. Padahal proses perizinan terkait pelaut dan izin perusahaan selama ini jadi ranah Kementerian Perhubungan. Hal itu menyebabkan persoalan ketenagakerjaan yang sering dihadapi pelaut dan awak kapal tidak pernah diselesaikan secara tuntas. (Baca juga: Maritime Court, Khusus Penegakan Hukum di Laut).

Imam mengatakan selama ini hak-hak pelaut dan awak kapal sebagai pekerja kerap terabaikan. Oleh karenanya dengan ratifikasi konvensi itu pihak Kementerian dan Dinas Ketenagakerjaan bisa melakukan pengawasan di bidang kemaritiman. Misalnya, perjanjian kerja laut antara pelaut dan pengusaha selain diketahui syahbandar juga perlu keterlibatan Kementerian atau Dinas Ketenagakerjaan.

“Banyak pelaut yang selama ini kebingungan ketika menghadapi masalah ketenagakerjaan seperti upah yang tidak dibayar,” ujar Imam.

Tak jauh beda seperti pekerja/buruh yang bekerja di darat, Imam menyebut pelaut dan awak kapal juga mengalami persoalan upah. Misalnya, ada pelaut yang berpengalaman puluhan tahun hanya menerima upah pokok Rp650 ribu per bulan. Lewat ratifikasi tersebut diharapkan pemerintah membuat standar upah minimum bagi pelaut dan awak kapal.

Tentu saja standar upah bagi pelaut itu tidak sama seperti upah minimum provinsi (UMP), besarannya harus lebih tinggi karena kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi pelaut berbeda dengan pekerja/buruh pada umumnya. Menurut Imam tidak mudah menjadi pelaut karena wajib mengantongi sejumlah sertifikat yang biayanya tidak murah.

Selain itu ada pandangan yang menyebut ratifikasi itu hanya berlaku bagi pelaut dan awak kapal yang bekerja di kapal asing. Menurut Imam konvensi itu memungkinkan negara yang meratifikasi untuk menyesuaikan ketentuan yang termaktub dalam konvensi tersebut dengan kondisi negaranya.

Jika perusahaan pelayaran lokal belum mampu memenuhi ketentuan dalam konvensi tersebut seperti upah layak, Imam mengusulkan agar pemerintah mencari terobosan tanpa merugikan pelaut dan awak kapal. Misalnya, mengacu ketentuan ILO upah terendah bagi pekerja di bidang kemaritiman yakni 614 dollar AS. “Soal standar upah pemerintah bisa mengelar pembahasan bersama asosasi pengusaha pelayaran dan perwakilan organisasi pelaut,” tukas Imam.

Imam mengingatkan konvensi ini hanya berlaku untuk pelaut di kapal niaga. Untuk kapal ikan diatur melalui Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007. “Kami mendorong pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No.188 agar hak-hak pelaut di kapal ikan terlindungi,” pungkasnya. (Baca juga: Buruh Laporkan Pemerintah ke ILO).
Tags:

Berita Terkait