Penguatan Peraturan Pemerintah, Kunci Perjelas Arah UU ITE Terbaru
Utama

Penguatan Peraturan Pemerintah, Kunci Perjelas Arah UU ITE Terbaru

Praktisi hukum memberi sejumlah catatan terhadap norma yang diatur dalam UU ITE hasil revisi. Kuncinya lewat Peraturan Pemerintah (PP).

Oleh:
CR-22/NNP
Bacaan 2 Menit
Ahmad Maulana (paling kiri), Zacky Zainal Husein (kedua dari kiri) dan Teguh Arifiyadi (paling kanan). Foto: ALV
Ahmad Maulana (paling kiri), Zacky Zainal Husein (kedua dari kiri) dan Teguh Arifiyadi (paling kanan). Foto: ALV
Revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) diakui menimbulkan pertanyaan dari banyak kalangan. Hal ini diutarakan oleh Direktur Penyidikan dan Penindakan Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Teguh Arifiyadi pada acara diskusi Hukumonline bertajuk “Arah Kebijakan Penyelenggaraan Teknologi Informasi di Indonesia Pasca Revisi UU ITE” pada Senin (5/12).

“Di awal, revisi Undang-undang ITE fokus pada Pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang pencemaran nama baik, hal ini kemudian berubah saat pembahasan bersama DPR karena banyak terdapat masukan di dalamnya”, tegasnya.

Kata Teguh, tujuan utama dari revisi UU ITE adalah penguatan peran pemerintah dan memperbaiki kesalahan dalam penerapan pasal 27 ayat (3) tersebut. poin utama adalah penegasan istilah ‘mendistribusikan’, ‘mentransmisikan’, dan ‘membuat dapat diaksesnya’ informasi dan/atau dokumen elektronik.

Lewat revisi UU ITE ini, Kominfo ingin menegaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘mendistribusikan’ adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik.

Sementara, maksud dari ‘mentransmisikan’ adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik. Sedangkan,  maksud ‘membuat dapat diakses’ adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

“Pemerasan dan/atau pencemaran pada Pasal 27 ayat (4) mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan,” jelasnya.

Selain itu, hal lain yang menjadi konsentrasi Kominfo dalam menyiapkan naskah revisi UU ITE adalah upaya penguatan peran pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lalu, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memeirntahkan kepada penyelengggara system elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. “Penegasan cakupan kewenangan pemerintah dalam memfasilitasi pemanfaatan IT termasuk tata kelola tekonologi informasi yang aman, beretika, cerdas, kreatif, produktif, dan inovatif,” sebutnya.

Hadir juga sebagai narasumber, Partner dari firma hukum Assegaf Hamzah & Partners, Zacky Zainal Husein. Ia memiliki sejumlah catatan mengenai arah kebijakan penyelenggaraan teknologi informasi di Indonesia melalui revisi UU ITE ini. (Baca Juga: Begini Normalisasi Situs yang Diblokir Kemenkominfo)

Pertama, revisi UU ITE ini sangat baik dalam hal memperjelas siapa saja yang termasuk sebagai penyelenggara sistem elektronik. Dalam UU ITE yang lama, cakupan penyelenggara sistem elektronik tidak diatur begitu jelas.“Ini jadi jelas siapa subjek hukum dari Revisi UU ITE ini,” kata Zacky.

Dalam revisi UU ITE dinyatakan bahwa penyelenggara sistem elektronik adalah “Setiap orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya atau keperluan pihak lain.”

Satu hal menarik dalam pasal tersebut adalah mengenai keikutsertaan negara sebagai penyelenggara sistem elektronik. Kata Zacky, di Malaysia misalnya, regulasi di sana tidak mengikutsertakan negara sebagai pihak. Di sini, revisi UU ITE ini sedikit berbeda dimana regulasi terbaru ini bisa diaplikasikan buat negara, lembaga publik, hingga swasta. Namun, ada beberapa frasa yang mestinya diperjelas pada pasal tersebut seperti ‘menyediakan’, ‘mengelola’, dan ‘mengoperasikan’.

“Jadi bagaimana sebetulnya sistem elektronik bisa terkena karena variasi tiga hal yang mana?” katanya.

Akan tetapi, karena ada semacam perluasan cakupan penyelenggara sistem elektronik, hal itu sejalan juga dengan kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul bagi penyedia sistem elektronik terkait PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Permenkominfo Nomor 36 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik.

“Misalnya sebagai pelayanan publik harus ada kewajiban registrasi pada Permen Nomor 36 yang diatur,” katanya.

Catatan kedua, mengenai bagaimana peranan pemerintah dalam revisi UU ITE ini. Pasal 40 mengatur peran pemerintah dalam hal melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik. Yang menjadi pertanyaan adalah terkait frasa pada Pasal 40 ayat (2a) yang  menyebut frasa ‘muatan yang dilarang’ dan Pasal 40 ayat (2b) yang menyebut frasa ‘muatan yang melanggar hukum’. (Baca Juga: Perubahan UU ITE Tidak Tetapkan Batasan “Data Pribadi”)

“Jadi ini seperti ada dua rujukan, ini apakah keduanya atau salah satunya saja yang dilakukan pemerintah. Nah ini apa jadinya objek yang dilarang oleh pemerintah,” tanyanya.

Merujuk ke Pasal 27 UU ITE, dinyatakan muatan yang dilarang atau melanggar hukum antara lain melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman. Selain itu, Pasal 28 dan Pasal 29 UU ITE diatur muatan yang dilarang seperti menyebarkan berita bohong, menimbulkan rasa kebencian, SARA, berisi ancaman kekerasan.

Selain itu, Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif juga fokus melarang konten internet negatif terutama yang memuat pornografi dan kegiatan ilegal. Hal yang sama juga diatur SE Menkominfo Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over the Top) yang melarang konten bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, SARA, mendorong melakukan tindakan melawan hukum, narkotika, ujaran kebencian (hate speech).

“Permen itu fokus ke internet. Nah, kalau informasi elektronik tentu lebih dari sekedar situs internet apakah ini akan ada target yang dimonitor juga. Satu hal, dalam SE, hal ini juga diatur muatan yang dilarang yang bertentangan,” sebutnya.

Catatan Zacky, wewenang pemutusan akses dapat sendiri atau melalui penyelenggara. Praktiknya, lazim dilakukan oleh Internet Service Provider (ISP). Di sini belum jelas, bagaimana sebetulnya mekanismenya karena akan muncul pertanyaan apakah ISP punya hak untuk dapat informasi lebih lengkap atau hanya sekedar mengikuti perintah untuk memutus. “Memang ini akan diatur dalam PP. semoga hal ini akan diperjelas disana,” katanya.

Ketiga, mengenai Right to be Forgotten dimana ada tiga tambahan ayat dalam reviisi UU ITE ini. Yang menjadi catatan baginya adalah mengenai ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) yang menyebut penghapusan konten berdasarkan permintaan ‘orang yang bersangkutan’ atau ‘penetapan pengadilan’. “Ini apakah permintaan saja atau plus penetapan pengadilan baru bisa dihapuskan?,” katanya.

Asumsinya, karena ini terkait dengan sesuai informasi yang tidak relevan. Kuncinya ada di pengadilan. Artinya, harus ada permintaan dari seseorang dan penetapan pengadilan. Selain itu, kalau terkait dengan data pribadi, bagaimana dengan definisi data pribadi dan termasuk dengan pengecualiannya. Dalam rancangan RUU Perlindungan Data Pribadi, tercantum pengecualian mengenai apa yang bisa dihapus atau tidak. “Misalnya terkait dengan kegiatan jurnalistik itu tidak bisa dimintakan,” tutupnya.

Menanggapi catatan itu, Teguh menjelaskan bahwa konsep Right to be Forgotten sebetulnya tidak pernah dipikirkan oleh Kominfo. Artinya, Kominfo belum pernah melakukan kajian detil dan mendalam tentang konsep tersebut. Sehingga, ada satu pasal yang mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman teknisnya yang lebih rinci. (Baca Juga: Kemenkominfo Komitmen Promosikan Whitelist Situs Bagi Anak)

“Idealnya sebuah norma dalam UU baru bisa dijalankan ketika mekanismenya sudah ada dalam peraturan di bawahnya. Tapi bukan berarti norma dan pasal tersebut tidak berlaku, tapi tetap berlaku. Mengenai bagaimana berlakunya, itu diatur secara internal,” kata Teguh.
Tags:

Berita Terkait