Setelah Diundangkan, Inilah Nomor UU ITE Baru Hasil Perubahan
Berita

Setelah Diundangkan, Inilah Nomor UU ITE Baru Hasil Perubahan

Masyarakat harus kian cerdas menggunakan media sosial.

Oleh:
MR25
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi transaksi elektronik. Ilustrator: BAS
Ilustrasi transaksi elektronik. Ilustrator: BAS
Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah resmi tercatat di Lembaran Negara. Setelah ditandatangani Presiden, materi perubahan UU ITE itu telah dimasukkan ke Lembaran Negara Tahun 2016 No. 251. Penjelasannya pun sudah masuk ke Tambahan Lembaran Negara No. 5952, dan diundangkan sejak 25 November 2016. Kini UU ITE dikenal sebagai UU No. 19 Tahun 2016.

Perubahan UU ITE disetujui bersama DPR dan Pemerintah pada Oktober 2016 lalu. Perubahan itu dilakukan di tengah pro dan kontra karena selama pemberlakuan UU ITE (2008) cukup banyak orang yang dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka pencemaran nama baik. (Baca juga: 5 Alasan ICJR dan LBH Pers Tolak UU ITE Hasil Revisi).

Ini agak ironis karena awalnya UU ITE dimaksudkan untuk meningkatkan ekonomi Indonesia dengan cara mengatur semua transaksi yang dilakukan di dunia maya (e-commerce). Akan tetapi, seiring berkembangnnya teknologi, khusunya dimedia sosial, beberapa pasal dalam UU ini dianggap sering merugikan orang, bahkan cenderung mengancap setiap orang untuk berpendapat. (Baca juga: DPR Setujui Revisi UU ITE Jadi UU).

“Karena dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, Pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu dan relevan,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, seperti dikutip dari situs www.kominfo.go.id.

Ada beberapa perubahan penting dalam UU ITE. Pertama, menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multitafsir terhadap "ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik" pada Pasal 27 ayat 3. Perubahan UU ITE menegaskan ketentuan tersebut adalah delik aduan dan unsur pidana mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Kedua, menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp750 juta. Selain itu, menurunkan ancaman pidana ancaman kekerasan dan atau menakut-nakuti pada pasal 29 dari paling lama 12 tahun penjara menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta. (Baca juga: Perubahan UU ITE Tidak Tetapkan Batasan ‘Data Pribadi’).

Ketiga, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 ayat 4 yang mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi ke dalam Undang-Undang. Selain itu, menambahkan penjelasan pasal 5 terkait keberadaan informasi elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

Keempat, melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, yakni penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP. Selain itu, penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1 x 24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Kelima, memperkuat peran penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) UU ITE pada Pasal 43 ayat (5), dengan menambahkan kewenangan untuk memutuskan akses terkait tindak pidana teknologi informasi dan kewenangan meminta informasi dari penyelenggara sistem elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.

Keenam, menambahkan ketentuan "right to be forgotten" atau kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaan "right to be forgotten" dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Ketujuh, memperkuat peran Pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan pasal 40, yakni pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.

Melalui revisi ini, Pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum.

Revisi UU ITE diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menggunakan internet, menjaga etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, serta menghindari konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi.
Tags:

Berita Terkait