Mantan Hakim Agung Analisis Revisi UU Antimonopoli, Berikut Poin-Poinnya
Utama

Mantan Hakim Agung Analisis Revisi UU Antimonopoli, Berikut Poin-Poinnya

Masalah yurisdiksi dan kewenangan KPPU ramai diperdebatkan di kalangan pakar persaingan usaha.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Buku Hukum Persaingan Usaha di Indonesia karya Susanti Adi Nugroho. Foto: MYS
Buku Hukum Persaingan Usaha di Indonesia karya Susanti Adi Nugroho. Foto: MYS
Rencana Pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli) terus bergaung. Tak hanya KPPU, kalangan pelaku bisnis pun sudah membuat catatan-catatan penting terkait revisi itu.

Gaung perubahan semakin terdengar karena revisi UU Antimonopoli masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2017. Salah satu yang mendapat perhatian adalah penguatan kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). (Baca juga: Pengusaha Muda Dukung Penguatan Fungsi KPPU).

Mantan Hakim Agung, Susanti Adi Nugroho, juga punya catatan penting terkait rencana revisi UU Antimonopoli. Selama menjadi hakim agung, Susanti memang termasuk hakim agung yang sering menangani kasus bisnis, termasuk persaingan usaha. Bahkan ia berhasil menulis sebuah buku tebal berjudul ‘Hukum Persaingan Usaha di Indonesia’.

Dalam sebuah acara yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan di Jakarta, Rabu (14/12), Susanti mengungkapkan 11 analisis berkaitan dengan ide perubahan UU Antimonopoli. Berikut 11 hal yang perlu diperhatikan menurut analisis hakim agung yang purnabakti pada 2008 itu. (Baca juga: UU Persaingan Usaha Diubah, Pahami Lima Fokus Revisi).

Pertama, adanya kemungkinan pemindahan sengketa persaingan usaha ke yurisdiksi pengadilan niaga. Menurut Susanti, sengketa persaingan usaha erat kaitannya dengan faktor ekonomi, sehingga pengadilan niaga lebih cocok untuk menyelesaikan upaya hukum keberatan terhadap putusan KPPU. Ia beralasan beban kerja pengadilan negeri sudah cukup padat, sehingga perkara-perkara khusus yang sangat kompleks perlu ditangani peradilan khusus. Hakim ad hoc-nya pun bisa direktur dari profesional yang memahami hukum persaingan usaha. Langkah hukum lanjutan tinggal menyesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU).

Kedua, keterpisahan antara lembaga penyidik, penuntut dengan lembaga pemutus. Saat ini, lanjut Susanti, hukum acara yang berlaku di KPPU adalah KPPU sebagai pemutus tingkat pertama, PN sebagai upaya keberatan, dan Mahkamah Agung (MA) sebagai upaya kasasi. Kini muncul keinginan agar penyidikan, penuntutan, dan pemutus sengketa persaingan usaha tidak berada pada satu lembaga KPPU.(Baca juga: 11 Catatan Kritis Pengusaha untuk Revisi UU Antimonopoli).

Susanti menjelaskan saat UU Antimonopoli mulai berlaku, kemampuan hakim di bidang persaingan usaha belum memadai. Padahal sengketa persaingan usaha sarat dengan pertimbangan ekonomi. Pada perkembangannya, sistem ini menjadi tidak dikehendaki masyarakat karena dikhawatirkan KPPU menjadi lembaga super body. “Keadaan ini dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan kedudukan pelaku usaha dan masyarakat konsumen, yang akan berakibat merugikan pihak pelaku usaha,” ujarnya.

Ketiga, kerahasiaan identitas pelapor. Pasal 63 RUU Antimonopoli menyebutkan Komisi menjaga kerahasiaan identitas pelapor. Pada mulanya maksud ini baik, namun berkembang menjadi penyalahgunaan oleh pelapor untuk merugikan pesaing. Demi asas keadilan, sebaiknya semua laporan disertai identitas dan alamat jelas pelapor dan dokumen-dokumen pendukungnya. (Baca juga: Revisi UU Antimonopoli Akomodasi Konsep Justice Collaborator).

Keempat, terbatasnya waktu proses keberatan. Dalam RUU Antimonopoli jangka waktu keberatan adalah 45 hari. Jika ada pemeriksaan saksi tambahan atau ahli maka pemeriksaannya dialihkan ke KPPU. Klausula ini bisa menimbulkan masalah karena bagaimanapun KPPU akan berusaha mempertahankan putusannya. Susanti mengusulkan tambahan waktu dalam proses keberatan sehingga tambahan keterangan saksi yang diminta dapat dilakukan sendiri oleh pengadilan.

Pasal 85 ayat (3) RUU Antimonopoli menyebutkan keberatan dapat diajukan jika terlapor telah membayar 10 persen dari denda yang dijatuhkan KPPU. Bagaimana jika kemudian putusan KPPU dibatalkan dalam proses keberatan atau kasasi? Menurut Susanti, klausula ini akan menyulitkan dalam proses pengembalian.

Kelima, perluasan yurisdiksi dan kewenangan KPPU. Dalam Pasal 35 (h) RUU Antimonopoli, KPPU meminta bantuan kepada Kepolisian atau instansi lain untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap pelaku usaha yang tidak kooperatif memberikan dokumen, surat, atau alat bukti lain. Masalah perluasan yurisdiksi ini menurut Susanti Adi menjadi pembahasan yang ramai di antara pakar.

“Jika perluasan kewenangan ini akan tetap diberikan perlu adanya penjelasan dalam perkara yang bagaimana, dan bagaimana mekanismenya, serta siapa yang melaksanakan. Perlu dikaji lebih lanjut, jika yurisdiksi untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan diperluas seperti halnya penyidik KPK tidak menimbulkan dampak negatif sebab KPPU adalah lembaga quasi judicial,” terangnya.

Keenam, perubahan maksimum denda. Pasal 87 huruf f RUU menyebutkan pengenaan denda dengan setinggi-tingginya 30 persen dari nilai penjualan dalam kurun waktu pelanggaran. Nilai denda ini dinilai Susanti terlalu tinggi karena nilai penjualan tidak mencerminkan keuntungan dan juga bisa melebihi modal. Jika digunakan nilai maksimum rupiah tidak dikehendaki, bisa memakai kelipatan dari nilai keuntungan yang diperoleh dalam kurun waktu pelanggaran.

Selain itu, Pasal 88 RUU Antimonopoli tentang ancaman hukuman dengan hingga Rp2 triliun atau pidana selama-lamanya dua tahun bagi terlapor yang tidak melaksanakan putusan KPPU yang sudah berkekuatan hukum tetap juga dinilai terlalu tinggi. Menurut Susanti, sebaiknya menggunakan acara yang biasa yakni eksekusi melalui pengadilan.

Ketujuh, standar pembuktian adanya pelanggaran. Pasal 69 ayat (2) RUU Antimonopoli juncto Pasal 72 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 menyebutkan alat bukti pemeriksaan KPPU adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha. Alat bukti ini, lanjut Susanti Adi, sesuai dengan Pasal 184 KUHAP dalam pembuktian perkara pidana. Dengan demikian, prinsip pembuktian dalam perkara persaingan usaha sama dengan perkara pidana yang tentunya wajib mengacu pada Pasal 183 KUHAP yaitu minimal dua alat bukti yang sah.

“Jika konsisten dengan prinsip pembuktian di atas, untuk dapat dinyatakan adanya pelanggaran, maka bukti petunjuk yang seringkali dipersamakan dengan bukti tidak langsung wajib diikuti dengan alat bukti lain yang berkaitan. Pembuktian dalam perkara pelanggaran persaingan usaha salah satunya adalah bukti petunjuk, bukan indirect evidence,” imbuhnya.

Kedelapan, kode etik dan lembaga pengawas KPPU. Berdasarkan Pasal 53 dan 54 RUU, kode etik dan pembentukan majelis kehormatan sebagai lembaga pengawas KPPU terdiri dari satu orang unsur anggota KPPU, dua orang unsur professional, dan dua orang unsur akademisi. Lembaga pengawas ini diharapkan dapat mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan dan merupakan lembaga yang terpisah, bukan bersifat ad hoc. (Baca juga: Revisi UU Antimonopoli, Pengusaha Usulkan Dewan Pengawas KPPU).

Kesembilan, masa jabatan Komisioner KPPU. Pasal 42 RUU Antimonopoli menyebutkan anggota KPPU dipilih DPR berdasarkan usulan dari Presiden untuk waktu tertentu, misalnya lima tahun. Menurut Susanti Adi, sebaiknya masa jabatan KPPU adalah tetap, sampai usia pensiun tertentu. Jika masa jabatan pemutus dibatasi, dikhawatirkan hasil putusan cenderung ditargetkan.

“Penanganan sengketa persaingan usaha tidak mudah apalagi dengan perkembangan bisnis yang makin maju, maka trik pelanggaran juga makin berkembang sehingga dibutuhkan anggota KPPU yang professional,” ia memberi alasan.

Kesepuluh, perubahan notifikasi merger. Merger yang berkaitan dengan pelanggaran UU Antimonopoli mencakup pengertian yang luas, termasuk juga penggabungan, peleburan atau pengambilalihan. Perubahan notifikasi dalam Pasal 29 RUU Antimonopoli dinilai positif karena jika post-notifikasi KPPU membatalkan merger tersebut, akan sulit mengembalikan kepada keadaan semula. (Baca juga: Mau Merger dan Akuisisi? Ini Syarat dari KPPU).

Keebelas, perlu dievaluasi hukum persiangan usaha setelah 16 tahun dijalankan di Indonesia. Materi muatan RUU Antimonopoli diharapkan dapat disesuaikan dengan prinsip-prinsip penerapan hukum persaingan usaha yang berlaku secara universal. Juga perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas putusan KPPU terhadap perekonomian negara pada umumnya, serta, mengkoreksi definisi atau ketentuan umum lain yang tidak tepat untuk memberikan kepastian hukum.
Tags:

Berita Terkait