Arsul Sani, Menapaki Dunia Advokat hingga Melenggang ke Parlemen
Berita

Arsul Sani, Menapaki Dunia Advokat hingga Melenggang ke Parlemen

Kerinduan beracara di pengadilan selalu ada karena profesi advokat sudah mandarah daging.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Menjadi advokat bagi kebanyakan orang adalah membela klien. Namun bagi sebagian advokat, berkiprah di bidang hukum tak cukup hanya membela klien. Setidaknya, ada kepentingan masyarakat luas yang perlu diadvokasi. Itu menjadi sekelumit motivasi bagi seorang Arsul Sani sehingga menerjunkan dirinya ke dunia politik.

Dunia hukum dan politik memang kerap beririsan ketika berbicara soal legislasi. Sebab, hukum merupakan produk politik. Dunia advokat dan politik, merupakan profesi yang dijajaki anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) itu, Arsul Sani. Menjadi anggota dewan, profesi advokat mesti ditanggalkan selama menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara.

Pikiran Arsul Sani seolah berputar puluhan tahun silam, selepas menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Tepatnya,1987 silam. Beragam aktivitas di bidang hukum dia jalani. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menjadi tempat persinggahan awal Arsul menapaki keilmuannya di bidang hukum, pasca hengkang dari FHUI. Dua tahun Arsul mengabdikan dirinya di LBH Jakarta, antara lain membela para aktivis Islam yang ditangkap pasca insiden Tanjung Priok di era 80-an.

Menimba ilmu dari advokat senior Adnan Buyung Nasution pun dia jajaki kala itu. Ya, Arsul membantu menyelesaikan perkara-perkara yang ditangani kantor advokat mendiang Buyung ‘si pria berambut putih’ kala itu. Di penghujung 1989, Arsul hengkang dan berlabuh ke kantor hukum Gani Djemat and Partners. Umumnya, terhadap kepentingan masyarakat yang lebih besar hanya menjadi ketertarikan bagi sedikit profesional lawyer. Begitu kata Arsul.

Misalnya, kepedulian terhadap penyusunan sebuah UU. Namun, tidak demikian dengan Arsul. Pria asal Pekalongan itu pun tak puas dengan profesi yang dijalaninya, advokat. Ia berkiprah di dunia Pendidikan dengan menjadi pengurus Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) Al Azhar Rawamangun Jakarta Timur sejak 1996. Bahkan menjadi Corporate Director PT Tupperware Indonesia. (Baca Juga: Ferdian Sutanto, Advokat Muda yang Termotivasi Pesan Orang Tua)

“Kita tahulah kalau di komersial sektor itu cuma urusan cari duit buat kita sendirilah,” ujar Arsul kepada hukumonline.

Arsul pun sempat berlabuh di Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum (LPBH) Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Arsul kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua LPBH PBNU. Dunia politik bagi Arsul bukanlah barang baru. Memiliki darah politisi dari sang ayah Abdullah Fadjri, membuncah Arsul berkecimpung di partai berlambang Ka’bah.

Sang ayah merupakan Ketua DPC PPP Kabupaten Pekalongan plus satu dari sekian deklarator PPP di Jawa Tengah. Ajakan bergabung menjadi politisi PPP muncul dari Lukman Hakim Saifudin -kala itu menjabat Wakil Ketua MPR dan Wakil Ketua Umum PPP-. Arsul berpikir keras menerima tidaknya pinangan PPP melalui Lukman. (Baca Juga: Iman Brotoseno, Lebih Memilih Jadi Sutradara Ketimbang Lawyer)

Ajakan Lukman belakangan bak gayung bersambut. Permintaan Lukman kala itu agar Arsul membenahi bidang hukum di LBH PPP. Hingga akhirnya, Arsul didapuk menjadi Ketua LBH PPP periode 2011-2015. Menerima ajakan Lukman bukan tanpa syarat. Yakni, Arsul bersedia menangani perkara, sepanjang tidak terkait dengan kasus korupsi. Sepanjang menjadi advokat, Arsul pantang menangani perkara korupsi. Begitu prinsip yang dipegang teguh Arsul selama menjadi advokat.

“Jadi saya mau di PPP memberikan bantuan hukum untuk kasus-kasus yang menyangkut kebutuhan bantuan hukum yang dihadapi masyarakat dan kader-kader PPP, tetapi tidak unutk perkara korupsi. Kalau perkara itu (korupsi, red), silakan dengan yang lain, saya tidak mau turun menangani,” ujarnya.

Meski kini berkecimpung di dunia politik, Arsul tetap fokus pada bidang hukum. Buktinya, Arsul ditempatkan di Komisi DPR yang membidangi hukum. Acapkali penyusunan Rancangan Undang-Undang yang terbilang berat, Arsul selalu berada di deretan nama tim Panja maupun Pansus. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), misalnya.

Bagi Arsul, sarjana hukum mesti berbuat lebih besar dari hanya membela klien di persidangan pengadilan. Arsul pun diminta mencalonkan diri maju dalam Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2014. Awalnya Arsul emoh menerima permintaan dari partainya. Pertimbangan karena sedang menyelesaikan program doktor di Glasgow Caledonian University sejak 2012. (Baca Juga: Muthia Zahra Feriani: Pengusaha Muda, Bermodal Ilmu Hukum)

Alasannya, ia mesti fokus menyelesaikan studinya yang sudah setengah jalan. Makanya Arsul membutuhkan konsentrasi menyelesaikan desertasinya sudah ditulis sebanyak 180 halaman dari jumlah total 300 halaman. Namun karena dorongan kuat dari kolega dan partai tempatnya bernaung, Arsul pun menerima dengan maju sebagai Caleg dengan syarat daerah pemilihan mesti asal tanah kelahirannya, Pekalongan. Nasib baik menyapa Arsul. Ia terpilih sebagai anggota DPR periode 2014-2019.

Arsul sadar menjadi anggota dewan berdampak buruk terhadap studinya di Glasgow Caledonian University, bakalan terlantar. Sebab riset-riset dalam menyelesaikan disertasinya bakal berbenturan dengan kerja-kerja sebagai anggota dewan. Arsul mengatakan tak ingin setengah hati dalam melakukan sesuatu. Makanya ketika pilihan menjadi politisi dan anggota dewan ditempuh, maka fokus Arsul lebih ke kepentingan masyarakat. Konsekuensinya studinya terabaikan.

“Karena saya ada di dunia profesional biasa serius, dan tidak setengah-setengah. Jadi saya sungguh-sungguh bekeja, tapi program doktor saya berantakan,” ujarnya.

Meski belum dinyatakan drop out dari kampus tempatnya menempuh gelar doktor, Arsul masih memiliki waktu hingga 2018 untuk menyelesaikan program gelar doktornya. Namun begitu, Arsul seolah menyerah dengan kesibukannya sebagai politisi. Khususnya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP.

“Tapi saya rasa tidak mungkin selesaikan. Makanya saya mau exit saja. Nanti saya pindah saja ke universitas lain mungkin di erapa atau Malaysia. Tapi kita pikirkan nanti saja. Pasti saya kejar (gelar doktor, red),” ujarnya.

Pilihan Rugi
Menjalani hidup mesti memilih. Penghasilan sebagai anggota dewan dan politisi tak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Tiga tahun menjadi anggota dewan, penghasilannya tidak sebesar saat menjadi advokat maupun Corporate Director PT Tupperware Indonesia. “Jadi penghasilan saya di DPR itu tidak ada separuhnya. Penghasilan nettnya tidak ada separuhnya. Ini pilihan rugi bagi saya secara ekonomis,” katanya.

Arsul menyebut menjadi politisi dan anggota dewan ditelisik dari penghasilan adalah pilihan rugi secara ekonomis. Namun bagi anggota dewan yang memiliki penghasilan lebih dari sekedar gaji sebagai anggota dewan mesti menjadi tiga hal. Antara lain menjadi pengusaha rekanan di kementerian yang menjadi mitra kerja Komisi di DPR.

Menurut Arsul, membela klien dan kepentingan masyarakat yang lebih luas terdapat titik kesamaan. Arsul memaparkan enggan membela klien yang sudah jelas bersalah total. Misalnya klien seorang debitur bank yang minta dibebaskan dari jeratan utang dengan cara apapun. Yakni adanya celah dengan cacatnya dokumen hukum.

“Saya tidak mau. Tetapi kalau klien minta tidak dizolimi sama bank, sudah bunga berbunga kena denda pinalti dan sebagainya, itu boleh. Jadi harus ada bingkainya,” ujarnya.

Sedangkan klien bagi politisi di parlemen adalah masyarakat luas. Namun memang di balik kepentingan masyarakat terdapat kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Misalnya RUU Pertembakauan yang menuai pro dan kontra. Menurutnya kepentingan petani tembakau mesti diakomodir. Begitu pula dengan kepentingan pegiat kesehatan dari bahaya asap rokok.

“Dua kepentingan ini sama-sama kepentingan umum. Tetapi dua kelompok ini ada kelompok berkepentingan. Caranya, harus ada pembatasan impor tembakau di RUU itu. Klaau tidak ada pembatasan impor tembakau, maka bulshitlah kita mau mensejahterakan petani tembakau,” ujarnya.

Ia menilai dunia advokat membela kepentingan klien dengan tidak menyimpang dari aturan hukum, nurani dan etika. Sama halnya dengan kepentingan masyarakat luas yang tidak boleh mengorbankan elemen lain. “Makanya kita buat keseimbangan,” imbuhnya.

Menjadi anggota dewan dan politisi partai tidak berarti tak beracara. Tak dipungkiri, kerinduan membuncah bagi Arsul untuk dapat beracara di pengadilan. Namun sejak ditunjuk sebagai satu dari lima belas orang tim kuasa hukum DPR, Arsul masih dapat melaksanakan tugas-tugas pembelaan layaknya seorang advokat.

Hanya saja, Arsul lebih banyak beracara di Mahkamah Konstitusi. Nama Arsul tercapat dari leima belas anggota Komisi III yang ditunjuk pimpinan DPR menjadi kuasa hukum DPR. Dengan demikian, terhadap pihak-pihak lain yang melakukan gugatan terhadap DPR, maka Arsul bersama empat belas orang lainnya bakal turun tangan. “Kerinduan itu selalu ada, karena advokat sudah mandarah daging,” ujarnya.

Arsul menunjuk UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Menurutnya ketika menjadi anggota dewan, maka profesi yang dijalani sebelumnya mesti dinonaktifkan. Menurutnya dengan kerap beracaran di MK terkait dengan uji materi yang diajukan pemohon mengobati kerinduannya akan beracara di pengadilan.

“Jadi kerinduan terhadap profesi advokat itu tidak hilang. Yang tidak boleh saya melakukan profesi commercial lawyer.  Kan kalau uji materi, DPR didengar di MK, kan DPR juga sering digugat di pengadilan,” imbuhnya.

Setelah ‘kalah’ dengan kesibukan sebagai anggota dewan dan politisi, Arsul meneguhkan pilihannya untuk kembali mengejar program gelar doktornya yang terbengkalai. Bila tidak lagi menjadi anggota dewan maupun politisi, dunia advokat secara profesional pun bakal kembali digeluti.

Hanya saja, Arsul bakal lebih selektif menjadi penasihat atau kuasa hukum. Misalnya menjadi panasihat hukum tetap di perusahaan. Menurutnya menyandang gelar doktor nantinya dan menekuni dunia advokat secara profesional dapat dijalani berbarengan. Arsul berkeinginan setelah menyandang gelar doktor, selain menjalani dunia advokat pun bakal mengajar.

“Dua-duanya akan balik (mengejar gelar doktor dan kembali ke dunia advokat, red). Tetapi dengan tekad akan menyelesaikan gelar doktor. Saya ingin mengajar setelah gelar doctor saya selesai,” ujarnya.

Menerapkan ilmu hukum yang dimiliki dalam dunia akedemisi dapat berjalan beriringan. Alasan keinginanya mengajar ilmu hukum, karena Arsul ingin menularkan ilmu yang bermanfaat bagi banyak orang, khususnya di bidang hukum. “Karena ilmu bermanfat maka harus mengajar. Yang benar, advokat itu harus banyak mengajar. Apalagi kalau advokat litigasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait