6 Persoalan Korporasi Sebagai Subjek Tipikor Versi Kejaksaan
Utama

6 Persoalan Korporasi Sebagai Subjek Tipikor Versi Kejaksaan

Pembuktian modus korupsi korporasi lebih rumit.

Oleh:
CR22
Bacaan 2 Menit
6 Persoalan Korporasi Sebagai Subjek Tipikor Versi Kejaksaan. Foto: CR22
6 Persoalan Korporasi Sebagai Subjek Tipikor Versi Kejaksaan. Foto: CR22
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang kejahatan korporasi tengah digodok. Kasubdit HAM Berat Direktorat Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Undang Mugopal, menilai salah satu alasan pembahasan Perma tersebut lantaran belum adanya norma yang mengatur tentang tata cara pemeriksaan korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi (Tipikor).

Melalui kajiannya, lanjut Mugopal, Kejaksaan mengidentifikasi setidaknya ada enam persoalan jika korporasi dianggap sebagai subjek Tipikor. Pertama, karena belum adanya hukum acara yang mengatur sehingga Kejaksaan kesulitan menentukan siapa yang berhak mewakili korporasi dalam dalam proses hukum perkara Tipikor. (Baca Juga: Ketua MA: Perma Kejahatan Korporasi Tinggal Finalisasi)

“Karena di situ, selain pengurus, yang lainnya berhak mewakili. Pertanyaanya, apakah penasihat hukumnya? Sedangkan pernah terjadi di Banjarmasin, ketika yang mewakili itu lawyer, dia kan sebagai terdakwa di situ. Pada saat mau dihukum, dia mengundurkan diri dari lawyer, jadi repot juga,” terang Mugopal.

Kedua, apabila suatu korporasi yang dijatuhkan pidana denda dan uang pengganti tidak mampu membayar. Menurut Mugopal, untuk masalah ini, jawabannya bisa menggunakan Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, yakni dengan menyita aset korporasi tersebut. Namun, hal ini ternyata menimbulkan persoalan berikutnya.

Persoalan ketiga, jika suatu korporasi yang dijatuhkan pidana denda dan uang pengganti dalam keadaan pailit. Bahkan telah ditunjuk kurator untuk dapat dilakukan perampasan aset. Hal ini hanya bisa menyangkut apabila korporasi tersebut dihukum.

Masalah keempat, apakah penyertaan yang terdapat dalam Pasal 55 KUHP dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara satu korporasi dengan korporasi yang lain. Khususnya, dalam hal induk perusahaan dengan anak perusahaan atau hubungan konsorsium ataupun kerja sama operasional?

“Seperti yang kita ketahui kan dalam korporasi itu biasanya ada holding tuh, kemudian anak perusahaan. Kalau anak perusahaannya ini melakukan kejahatan, apakah bisa penyertaannya itu dimasukkan juga kepada holdingnya,” kata Mugopal. (Baca Juga: Tips Direksi dan Komisaris Hindari Korupsi dalam Aksi Korporasi)

Persoalan kelima, lanjut Mugopal, dalam hal adanya pihak atau orang yang menjadi directing mind yang bukan merupakan pengurus, komisaris, pemegang saham yang sesuai dengan AD/ART. Ia mempertanyakan, apakah korporasi yang digunakan oleh directing mind itu dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini kerap ditemui Kejaksaan pada saat menindak korporasi.

Sedangkan masalah yang keenam, dalam hal korporasi berbadan hukum yang sahamnya dimiliki publik (go public) melakukan tindak pidana korupsi. “Apakah asetnya dapat dirampas sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor? Apakah aset yang telah dimiliki oleh masyarakat luas ini, bisa disita? Kalau bisa, bagaimana caranya?” tanyanya.

Meski begitu, dalam menindak korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, kata mantan Kajari Sidoarjo ini, sejumlah upaya telah dilakukan Kejagung. Mulai dari mengeluarkan petunjuk terhadap penanganan perkara korporasi seperti surat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus No.B-036/A/Ft.1/06/2009 tanggal 29 Juni 2009, Perihal: Korporasi sebagai Tersangka.

Hingga menerbitkan Peraturan Jaksa Agung RI No: PER-028/A/JA/10/2014, tanggal 1 Oktober 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan yang terakhir. Untuk memperkaya pengetahuan jaksa, Kejagung juga telah melakukan in class training/pendidikan dan pelatihan dengan mengundang beberapa Guru Besar Hukum Pidana. Sehingga, para jaksa lebih memahami korporasi sebagai subjek hukum pidana.

Sejalan dengan itu, Mugopal mengapresiasi langkah MA yang tengah membahas Perma Kejahatan Korporasi bersama stakeholder lain. Menurutnya, sinkronisasi dan harmonisasi antar penegak hukum dapat menghindari terjadinya multitafsir dalam penerapan korporasi sebagai subjek hukum. (Baca Juga: Segera Terbit! Hukum Acara Penanganan Kejahatan Korporasi)

Biasanya, lanjut Mugopal, modus tindak pidana korupsi dalam korporasi beragam. Mulai dari, korporasi dijadikan tempat menampung hasil korupsi, korporasi didirikan untuk membantu transaksi korupsi, direksi, dewan komisaris, atau pegawai terlibat korupsi, korporasi dimanfaatkan oleh pengendali untuk korupsi, berkolusi atau menyuap pejabat negara yang korupsi hingga transaksi korporasi yang mengandung unsur korupsi.

Di tempat yang sama, Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Indra Safitri mengatakan, lebih rumit membuktikan modus korupsi korporasi. Ini dikarenakan setiap tindakan korporasi selalu dipayungi oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berdiri sendiri.

“Jadi kalau misalnya oleh penyidik ditemukan ada aliran dana yang keluar dari perseroan kepada satu pihak, boleh jadi (aliran dana) itu tidak berdiri sendiri sebagai bagian dari suap, melainkan bagian dari pemenuhan kewajiban,” tutup Indra.
Tags:

Berita Terkait