Gara-Gara Dikutip Jaksa, Pengacara Ahok Pertanyakan Legalitas Sikap Keagamaan MUI
Berita

Gara-Gara Dikutip Jaksa, Pengacara Ahok Pertanyakan Legalitas Sikap Keagamaan MUI

Penuntut umum berikan pendapat atas empat hal.

Oleh:
CR21
Bacaan 2 Menit
Sidang Ahok, Selasa (20/12). Foto: POOL/RES
Sidang Ahok, Selasa (20/12). Foto: POOL/RES
Dalam surat dakwaan yang dibacakan pada sidang perdana, Selasa (13/12) lalu, penuntut umum perkara dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengutip Sikap dan Pandangan Keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pengutipan itu dilakukan penuntut umum untuk melengkapi dugaan pelanggaran atas Pasal 156a huruf a dan Pasal 156 KUH Pidana.

Pengutipan dan rujukan jaksa terhadap Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI itu dikritik tim penasihat hukum Ahok. Kelompok penasihat hukum bernama Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika BTP itu mempertanyakan legalitas pengutipan itu. Sebab, Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI bukanlah sumber hukum positif yang memiliki kekuatan mengikat. Meskipun tak mengikat, penuntut umum malah menjadikannya sebagai bagian analisis hukum dalam surat dakwaan. (Baca juga: Inilah Sikap Keagamaan MUI yang Disebut Jaksa dalam Dakwaan Ahok).

Di Indonesia, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang mengikat diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Menurut Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika BTP, penuntut umum tidak dapat mengungkapkan secara jelas mengenai adanya niat atau maksud dari pidato Ahok di Kepalauan Seribu, September lalu. Padahal pidato Ahok itulah yang dianggap sebagai sumber tuduhan penistaan atau penodaan agama, dan akhirnya menyeret Ahok ke kursi pesakitan. (Baca juga: Penuntut Umum Singgung Niat Ahok).

Dalam surat dakwaan jaksa disebutkan bahwa perbuatan terdakwa yang telah mendudukkan atau menempatkan surat Al Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi atau membodohi masyarakat dalam rangka pemilihan Gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai penodaan terhadap kitab suci al-Qur’an ‘sejalan dengan’ angka 4 Sikap Keagamaan MUI. Pada dakwaan alternatif pasal 156 KUHP Jaksa kembali mengutip Sikap Keagamaan MUI angka 5 bahwa telah terjadi penghinaan terhadap ulama dan umat Islam oleh perkataan Ahok.

4 Jawaban
Dalam jawaban penuntut umum di sidang kedua ini Jaksa memberikan 4 jawaban untuk menolak eksepsi tim advokat Ahok. (Baca juga: Surat Dakwaan Ahok Hanya 7 Halaman).

Dalam jawaban pertama, mengacu prosedur yang harus dilalui dalam pasal 1, pasal 2, dan pasal 3 UU No. 1/PNPS/1965 tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU No. 1/PNPS/1965”) dimana Tim Advokat Ahok mendalilkan bahwa seharusnya Ahok mendapatkan mekanisme perintah dan peringatan keras sebelum dipidanakan menggunakan Pasal 156a KUHP, Jaksa menyatakan bahwa Tim Advokat Ahok salah memahami konstruksi hukum.

Menurut penuntut umum, perintah dan peringatan keras tersebut berlaku bagi pelanggaran pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 yang merupakan delik bersyarat. Syaratnya diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 untuk dipenuhi sebelum dapat dipidanakan. Adapun Ahok dijerat dengan pasal 156a KUHP yang memang merupakan pasal sisipan KUHP berdasarkan pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965, namun berdiri terpisah dengan ketentuan pidana formil tersendiri yang tidak ada hubungannya lagi dengan prosedur dalam UU No. 1/PNPS/1965. Sehingga tidak ada kaitannya dengan asas lex specialis diantara pasal 156a KUHP dengan  UU No. 1/PNPS/1965 mengenai delik agama. Dengan demikian pembahasan UU No. 1/PNPS/1965 harus dikesampingkan dalam tuntutan pasal 156a KUHP.

Kedua, Jaksa berpendapat bahwa pasal 156a KUHP adalah delik formil dimana tidak mensyaratkan adanya akibat yang ditimbulkan, melainkan cukup dengan memenuhi semua unsur dalam delik maka sudah dapat dipidana. Jaksa juga berargumentasi bahwa pasal 156a huruf a dan huruf b bukanlah satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan melainkan dua delik yang masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu, pasal 156a huruf b bukanlah akibat yang harus dipenuhi untuk dapat dijatuhi pidana atas pelanggaran pasal 156a. jaksa berpendapat jika huruf a dan huruf b bersifat kumulatif tentu cukup dirumuskan pembuat undang-undang dalam satu rumusan delik tanpa dipisahkan dengan huruf ataupun angka. Pada kenyataannya ketentuan ini dipisahkan dengan huruf.

Berdasarkan konstruksi ini, Jaksa menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pasal 156a KUHP harus dibaca masing-masing:

Pasal 156a huruf a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia   

Pasal 156a huruf b
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa

Ketiga,Jaksa membantah argumentasi Tim Advokat yang menilai dakwaan penuntut umum membuat akibat hukum baru dalam pemenuhan unsur pasal 156a KUHP karena menyebutkan bahwa penistaan yang diduga dilakukan Ahok ‘dalam rangka pemilihan gubernur DKI Jakarta’. Padahal penuntut umum menyebutkan kalimat tersebut bukan sebagai uraian fakta akan tujuan delik namun penjelasan peristiwa yang menyertai perbuatan yang didakwakan.

Keempat, argumentasi Tim Advokat bahwa harus dijelaskan golongan dari umat Islam mana yang sudah dihina oleh Ahok dianggap salah karena golongan yang dimaksud dalam pasal 156 KUHP ialah golongan pemeluk agama yang sudah tidak perlu lagi dibedakan dalam organisasi-organisasi pemeluk agama dalam hal ini pemeluk agama Islam.

Adapun berkenaan niat Ahok melakukan tindak pidana Pasal 156a huruf a atau Pasal 156 KUHP, penuntut umum menyatakan akan menjelaskannya dalam sidang pembuktian karena sudah masuk dalam pemeriksaan pokok perkara, bukan bagian dari tahapan eksepsi.
Tags:

Berita Terkait