Korupsi Masih ‘Menghantui’ Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur
Berita

Korupsi Masih ‘Menghantui’ Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur

Pakar hukum usul penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bisa lebih ditegaskan dalam rangka mengawal setiap proses pengadaan tanah mulai dari perencanaan hingga penyerahan hasil.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Dari Kiri, Iwan Nurdin, Yenti Ganarsih, Thamrin A Tomagola dan Suparjo Sujadi saat menjadi pembicara di acara seminar Yang bertemakan
Dari Kiri, Iwan Nurdin, Yenti Ganarsih, Thamrin A Tomagola dan Suparjo Sujadi saat menjadi pembicara di acara seminar Yang bertemakan
Pemerintah kesulitan mendapatkan lahan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Sejumlah regulasi bahkan sengaja diterbitkan untuk mengatasi problem tersebut. Hasilnya masih belum signifikan, problem pengadaan tanah untuk lahan infrastruktur malah semakin berlarut.

Pakar Anti Pencucian Uang dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Yenti Garnasih mengatakan bahwa celah korupsi menjadi problem pengadaan tanah terkait infrastruktur lainnya yang pada kenyataannya masih harus dihadapi dalam penerapannya. Problem tersebut sekaligus menambah daftar panjang sengkarut masalah pengadaan tanah lainnya yang tidak boleh dianggap sepele.

“Masalah yang membuka celah koruptif, yaitu adalah penyalahgunaan kewenangan atau melawan hukum,” kata Yenti kepada Hukumonline usai menjadi narasumber dalam Seminar Nasional “Mengurai Hambatan Lahan dalam Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Nasional Sebagai Komitmen Nawacita” yang diprakarsai Kaukus Muda Indonesia (KMI) di Jakarta, Rabu (21/12).

Menurut Yenti, pertanggungjawaban pidana sejatinya tidak berdiri sendiri. Umumnya, diawali dengan pelanggaran ketentuan di bidang pertanahan. Pelanggaran di sini bisa berupa tindakan sifat melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi menimbukan adanya kerugian keuangan negara. Bila hal ini terjadi, Yenti memastikan pembangunan infrastruktur akan berdampak.

Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) lazimnya akan turut melibatkan sejumlah pihak, antara lain pemerintah yang memiliki prakarsa, masyarakat sebagai penerima ganti kerugian dalam penggantian pengadaan lahan, dan pengembang proyek infrastruktur. (Baca Juga: Penting! Begini Caranya Maknai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor)

“Itu selalu terjadi, disinilah rawan terjadinya korupsi. Misalnya Hambalang ternyata tanah itu tidak layak, permasalahan ini kan bagaimana BPN waktu itu, bagaimana izin dari Bupati kok diizinkan, di belakang itukan ada masalah korupsi besar, nah inikan juga termasuk yang harus menjadi concern pemerintah,” kata Yenti menjelaskan.

Bagi Yenti, setiap rencana pembangunan termasuk pembangunan ekonomi sekalipun sudah sepatutnya dipagari agar anggaran yang diperuntukan tidak bocor. Sebab, hampir setiap kegiatan pembangunan yang sejatinya mementingkan unsur kepentingan umum malah berakhir sebagai sebuah ‘proyek’ belaka. Pihak-pihak yang mencoba mencari keuntungan selalu ada, menyelinap pada setiap proyek tersebut. (Baca Juga: 3 Aspek Hukum Terkait Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur)

Oleh karenanya, Yenti menegaskan pentingnya menjaga setiap rencana pembangunan yang diprakarsai pemerintah demi kepentingan umum dengan penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut. Fokus yang perlu dipertegas pun tak cuma penanganan dari hilir semata melainkan dari mulai hulu juga mulai diperhatikan. Sebab, penyelesaian pada hilir tidak akan menyelesaikan pangkal permasalahan yang muncul di hulu.

“Saya ingin jangan sampai pihak negara bisa kecolongan, mereka harusnya bisa membuat satu kajian, satu peta, dan data dari BPN yang akurat soal tanah mana yang akurat, tanah mana yang tidak sengketa. jangan kita ngga hati-hati begitu penerima ternyata bermasalah lalu uangnya hilang pemerintah angkat tangan. Itu namanya bicara di hilir. Kita akan memberantas dari hulu ke hilir. Ini untuk mencegah korupsi,” paparnya.

8 Januari 2016 kemarin, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Poin penting dari aturan itu adalah Presiden meminta para Menteri Kabinet Kerja, Jaksa Agung, Kapolri, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan, Kepala Lembaga Pemerintah non Kementerian, Gubernur dan Bupati/Walikota mendukung pelaksanaan proyek strategis nasional sesuai fungsi dan kewenangannya masing-masing. (Baca Juga: Jokowi Minta Kapolri dan Jaksa Agung Dahulukan Proses Administrasi Ketimbang Pidana)

Dari sembilan butir, salah satu butir yang menarik adalah instruksi Presiden kepada Jaksa Agung dan Kapolri untuk mendahulukan proses administrasi pemerintahan sebagaimana UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek strategis nasional. Terkait dengan regulasi itu, Yenti menilai tindak pidana terutama tipikor mestinya tetap dilakukan penegakan.

“Kalau tidak ada penyalahgunaan kewenangan dan melawan hukum, (maka) tidak ada kerugian negara. Tapi kalau ada penyalahgunaan kewenangan, mesti muncul kerugian negara. Kalau ada melawan hukum, mesti (juga) ada kerugian negara. Jadi supaya sejalan kita harus ciptakan pemerintahan yang baik dimana pembangunan itu bisa dijalankan tanpa melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” tukas Yenti.

Di tempat yang sama, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin mengamini bahwa soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih menyisahkan sejumlah masalah besar dalam implementasinya, seperti perilaku koruptif. Berbagai modus koruptif dilakukan seperti melakukan mark up harga, pemalsuan ukuran tanah, bahkan pemalsuan dokumen, hingga keterlibatan oknum pemerintah yang menakut-nakuti masyarakat dengan tindak kekerasan.

“Prinsip ganti kerugian itu masih dominan, jadi belum menjadi relokasi, penyertaan modal, belum menjadi resettlement. Semua orang bicara hanya ganti kerugian,” kata Iwan saat ditemui usai acara yang sama.

Celah koruptif itu ditengarai bermula dari sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Misalnya terkait kelembagaan yang masih belum berubah. Lembaga yang berwenang mengurusi pengadaan tanah masih dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah (Pemda) dimana penentuan harga dilakukan oleh appraisal. Sementara, lembaga atau pihak yang membutuhkan tanah tersebut hanya menunggu sampai tanah tersebut siap dibangun. (Baca Juga: Ini Aturan Terbaru Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum)

“Padahal prinsip B to B itu kan tidak begitu, yang butuh tanah itu yang cari. Nah ini prinsip penetapan lokasi harusnya untuk kepentingan umum, ternyata tangannya malah terlalu banyak dan korupsinya malah terlalu banyak,” kata Iwan.

Selain itu, kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 juga tidak diutamakan. Pembangunan untuk kepentingan umum seharusnya memiliki ciri-ciri setidaknya tiga hal, yakni lintas batas segmen sosial, utamanya bukan untuk mencari keuntungan (profit), dan dibiayai, dibangun, dan dijalankan oleh badan pemerintah. Sayangnya, ciri-ciri tersebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 ‘dicampur’ dengan koridor kepentingan bisnis dimana rencana pembangunan justru kerap disederhanakan menjadi ‘proyek’ infrastruktur.

“Dari Regulasi, kelembagaan dan implementasi di lapangan saya melihat pak Jokowi harus merubah karena dia menekankan proyek infrastruktur beda dengan rezim sebelumnya. Ini citra yang akan dia bangun, makanya harus dibenahi,” papar Iwan.

Sebaliknya, Direktur Pembinaan Pengadaan dan Penetapan Tanah Pemerintah pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN,  Ali Rintop Siregar menilai bahwa UU Nomor 2 Tahun 2012 justru menjadi jalan keluar bagi pemerintah dalam upaya melakukan pengadaan lahan bagi pembangunan infrastruktur. Pengaturan percepatan waktu penyelesaian tanah menjadi satu hal yang dipuji dari aturan ini.

“Ini jadi ada patokan waktu dalam menyelesaikan,” kata Ali.

Ali menambahkan bahwa contoh sukses pengadaan tanah terjadi di Bandar Udara Kulon Progo dan jalan tol Jawa yang bisa diselesaikan tidak lebih dalam waktu satu tahun. ambil satu contoh misalnya, Bandara Kulon Progo hanya butuh waktu 9 bulan atau 260 hari untuk proses pembebasan lahan. Menurutnya, hambatan yang banyak terjadi lantaran masyarakat menolak melepaskan tanahnya serta sulitnya menyiapkan dokumen perencanaan untuk pengadaan tanah tersebut.

Sementara itu, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada Kementerian PUPR, Heri Tri Saputra menilai bahwa pengadaan lahan tak hanya bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada satu kementerian atau lembaga. Sebab, tidak semua tanah misalnya menjadi kewenangan dari BPN. Ada kalanya sebidang tanah misalnya hutan menjadi kewenangan dari Kementerian Agraria dan Lingkungan Hidup (KLHK).

“Ini butuh dukungan dari Kementerian ATR/BPN dan Kehutanan (KLHK),” kata Heri.
Tags:

Berita Terkait