Diskresi Penegak Hukum dalam RKUHP
Berita

Diskresi Penegak Hukum dalam RKUHP

Tak hanya diskresi yang luas bagi hakim. Bahkan menimbulkan ketidakpastian ancaman pidana terhadap masing-masing perbuatan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP. Foto: SGP
Buku KUHP. Foto: SGP
Pembahasan Buku ke-I Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah rampung dan diketuk oleh Panja dan pemerintah. Meski masih menyisakan sejumlah perdebatan, Panja bersama pemerintah terus melaju ke pembahasan Buku ke-2 RKUHP. Dalam RKUHP, aparat penegak hukum dinilai diberikan keleluasaan diskresi, khususnya bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.

Peneliti senihor Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Rifqi S Assegaf, berpandangan penegak hukum khususnya hakim mendapat keleluasaan dalam menjatuhkan putusan. Sebab, hukuman yang diberikan majelis hakim dapat diubah dengan tidak menjadi hukuman badan, namun berupa denda.

Rifqi menunjuk Pasal 56 ayat (2) RKUHP. Ayat (2) menyatakan, Ringannya perbuatan, keadaan pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.

Rumusan pasal tersebut tentu memberikan diskresi yang terlampau luas bagi hakim. Menjadi khawatir, tak adanya pembatasan terhadap jenis perbuatan. Sementara, RKUHP telah memberikan pilihan jalan keluar terhadap pelaku kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) tersebut. Yakni, hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pidana percobaan, sanksi non penjara atau tindakan. (Baca Juga: Disayangkan, Tindak Pidana Prostitusi Terhadap Anak Tak Masuk Buku II RKUHP)

Rumusan pasal lainnya yang dipandang memberikan diskresi yakni Pasal 59 ayat (1) menyebutkan, “Jika seseorang melakukan tindak pidana yan diancam dengan pidana penjara, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 maka orang tersebut dijatuhi pidana denda”.

Bagi Rifqi, rumusan pasal tersebut memberikan diskresi yang luas bagi hakim. Bahkan menimbulkan ketidakpastian ancaman pidana terhadap masing-masing perbuatan. Ia menilai bila memang perbuatan pidana layak diancam hukuman pidana pokok bersifat piha antara penjara dan denda, maka diintegrasikan dalam pasal terkait perbuatan pidananya. Ia mengusulkan penghapusan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) dari RKUHP. (Baca Juga: Hukum Pidana Tak Dapat Sentuh Seseorang Sebelum Terdapat Tindak Pidana)

“RKUHP kita kurang jelas berangkat dari mana pemidanaan. Dengan membrerikan diskresi begitu luas bagi aparat penegak hukum. Tetapi dengan fakta sosial yang ada, justru lebih buruk dari KUHP yang ada,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang digelar LeIP bertajuk, ‘Pengaturan terkait Pedoman Pemidanaan dan Ancaman Hukuman Maksimum dan Minimum dalam RKUHP’ di Jakarta, Kamis (22/12).

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Timur, R Narendra Jatna, berpandangan tidak tepat dengan menggunakan frasa diskresi. Menurutnya, penegak hukum melakukan tugasnya sesuai dengan rule of law yang berlaku. “Menurut saya tidak tepat kalau menggunakan kata diskresi. Bagaimana penegak hukum melakukan kebijakan, itu kan sesuai rule of law. Ungkapan diskresi itu tidak tepat,” ujarnya. (Baca Juga: Ini Sejumlah Catatan Terhadap Buku II RKUHP)

Ia mengaku heran dengan kondisi masyarakat. Pasalnya penegakan hukum sudah sesuai dengan hukum acara. Narendra menunjuka penyidikan yang tidak boleh dibuka ke publik. Bahkan ironi, kata Narendra, penyelidikan pun dibuka dengan melakukan gelar perkara terbuka. Menurutnya pelajaran yang mesti diambil yakni sebagai pengingat KUHAP bahwa diskresi dimaknai menjadi pertimbangan personal. Oleh sebab itu, dalam pembahasan Revisi KUHAP nantinya mesti diatur ketat.

“Penyidikan kita diminta terbuka. Padahal di Italia, membuka hasil penyidikan itu pidana. Masyarakat kita ini perlu ditanya maunya gimana,” ujar Narendra yang juga pengajar hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Anugerah Rizki Akbari, berpandangan penjelasan rincian dalam Pasal 56 RKUHP tidak bersifat limitatif. Dengan kata lain, hakim dapat menambahkan pertimbangan lain di luar ayat (1). Hal itu menjadikan hakim sedemikian leluasa dalam menjatuhkan pilihan hukuman terhadap seseorang terpidana.

Ia berpandangan penyusun RKUHP menginginkan merumuskan sistem baru. Namun banyak cabang yang masih menyisakan perdebatan akademik justru dimasukan dalam RKUHP. Ia menegarai bila tetap dipaksakan penerapan RKUHP justru bakal mempersulit pengoperasionalan penegak hukum terhadap Buku ke-I RKUHP.

Tags:

Berita Terkait