KPK-TNI Pastikan Tak Bentuk Tim Koneksitas Tangani Dugaan Suap Proyek Bakamla
Berita

KPK-TNI Pastikan Tak Bentuk Tim Koneksitas Tangani Dugaan Suap Proyek Bakamla

Tapi, KPK dan TNI akan tetap berkoordinasi, seperti dalam pertukaran informasi, serta akses pemeriksaan saksi-saksi dandokumen.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Meski nanti ditemukan dugaan keterlibatan oknum militer dalam kasus suap proyek Badan Keamanan Laut (Bakamla), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memilih untuk tidak membentuk tim koneksitas. Kedua lembaga akan menangani kasus tersebut secara terpisah sesuai kewenangan masing-masing.

Padahal, apabila mengacu KUHAP, UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, serta Memorandum of Understanding (MoU) KPK-TNI yang ditandatangani tahun 2005 dan diperbaharui 2012 lalu, pembentukan tim koneksitas sangat dimungkinkan jika terdapat perkara korupsi yang diduga dilakukan bersama-sama pihak yang tunduk dengan peradilan militer.

Namun, menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, sejauh ini, KPK dan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI tidak akan membentuk tim koneksitas, tetapi tetap melakukan koordinasi. Ia beralasan, pihak KPK tidak ingin gegabah dalam menangani sebuah perkara, karena harus mempertimbangkan pilihan mana yang lebih tepat secara hukum.

"Ada komitmen dari Pom TNI bahwa jika memang ditemukan ada indikasi-indikasi pihak-pihak yang menjadi kewenangan TNI, maka penanganannya akan dipisah atau ditangani sendiri oleh POM TNI. Namun, kami tetap melakukan koordinasi, bahkan pertukaran informasi terkait dengan penanganan perkara ini," katanya di KPK, Kamis (22/12). (Baca Juga: KPK Tetapkan Pejabat Bakamla Sebagai Tersangka Suap)

Febri mengungkapkan, KPK menangani empat orang tersangka, yaitu ESH (Eko Susilo Hadi), mantan Plt Sekretaris Utama (Sestama) yang juga menjabat Deputi Bidang Informasi dan Hukum Kerja Sama Bakamla, Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia FD (Fahmi Darmawansyah), serta anak buah FD, HS (Hardy Stefanus) dan MAO (Muhammad Adami Okta).

Eko terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK setelah diduga menerima suap sejumlah Rp2 miliar dari Fahmi, Hardy, dan Muhammad Adami terkait proyek Pengadaan Monitoring Satelit Bakamla dengan nilai pagu paket Rp402,71 miliar yang kemudian anggarannya dipangkas menjadi Rp200 miliar.

Uang suap Rp2 miliar itu diduga merupakan bagian comitment fee 7,5 persen atau setara Rp15 miliar dari nilai anggaran proyek. Eko yang menjabat sebagai Plt Sestama Bakamla bertindak selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Sementara, PT Melati Technofo Indonesia adalah pemenang tender Pengadaan Monitoring Satelit Bakamla.

Atas perbuatannya, Eko disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a, Pasal 12 ayat (1) huru b, atau Pasal 11 UU Tipikor. Di lain pihak, Fahmi, Hardy, dan Muhammad Adami selaku tersangka pemberi suap dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Walau tidak membentuk tim koneksitas, Febri mengaku KPK dan Puspom TNI akan tetap berkoordinasi. "Bahkan, kalau dibutuhkan saksi-saksi, keterangan-keterangan lain, informasi, dokumen segala macam, pihak TNI mengatakan akan support. Tentu, ini jadi komitmen dua lembaga untuk menangani sesuai dengan kewenangannya masing-masing," ujarnya.

Senada, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Wuryanto mengatakan, terkait dugaan suap proyek Bakamla yang di-OTT KPK beberapa waktu lalu, TNI sangat berterima kasih kepada KPK jika betul ada oknum TNI yang terlibat. Artinya, sambung Wuryanto, TNI telah terbantu dalam upaya bersih-bersih TNI dari segala bentuk pelanggaran.

"Puspom TNI telah proaktif koordinasi dengan KPK untuk mengungkap keterlibatan oknum tersebut. Masalah tidak ada (tim) koneksitas, semua berdasarkan aturan hukum yang berlaku, tapi Puspom TNI tetap menindaklanjuti hal tersebut secara profesional, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi," tuturnya saat dikonfirmasi hukumonline, Jumat (23/12).

Walau isu keterlibatan oknum TNI dalam kasus dugaan suap proyek Bakamla sudah mencuat sejak beberapa hari lalu, Wuryanto memastikan, hingga kini belum ada oknum TNI yang ditetapkan Puspom TNI sebagai tersangka. Ia mengaku, Puspom TNI masih melakukan pengumpulan barang bukti dan pemeriksaan saksi-saksi. (Baca Juga: KPK OTT Pejabat Bakamla Berinisial ESH, Nilai Proyek Cukup Signifikan!)

Untuk diketahui, KUHAP sudah mengatur tentang tata cara koneksitas dalam Pasal 89 sampai Pasal 94. Bahkan, secara khusus, UU KPK dalam Pasal 42 mengatur, KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer.

Ketentuan dalam UU KPK ini diperkuat pula dengan adanya MoU KPK-TNI yang ditandatangani pimpinan kedua lembaga pada 2005 dan diperbaharui pada 2012. Kala itu, pimpinan kedua lembaga bersepakat mengenai koordinasi dan pengendalian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana yang ditentukan Pasal 42 UU KPK.

Lantas bagaimana ketentuan koneksitas di dalam KUHAP? Pada prinsipnya, Pasal 89 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oknum militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan lingkungan peradilan umum, kecuali Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman memutuskan perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Kemudian, Pasal 89 ayat (2) menyatakan, penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.

Pasal 6 sendiri mengatur, penyidik adalah : a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 89 ayat (3) menentukan, tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

Adapun mengenai tata cara untuk memeriksa dan mengadili perkara hasil tim koneksitas termuat dalam Pasal 94 KUHAP. Pasal 94 ayat (1) mengatur, dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
Pasal 94 KUHAP
(2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang
(3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding

Sebelum kasus Bakamla, sebenarnya sudah ada beberapa contoh kasus yang pernah ditangani secara koneksitas antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan TNI. Seperti, pada 2006, Kejagung dan TNI membentuk tim koneksitas untuk mengusut dugaan korupsi pembelian helikopter Mi-17 di Departemen Pertahanan/TNI Angkatan Darat yang merugikan negara AS$3,24 juta. (Baca Juga: Kejaksaan Lepas Tangan OTT Jaksa di Bakamla)

Pada 2001, Kejagung dan TNI juga pernah membentuk tim koneksitas untuk menyidik dugaan korupsi proyek technical contract assistance (TAC) Pertamina-PT Ustraindo Petro Gas yang merugikan negara AS$23,2 juta dan melibatkan mantan Menteri Pertambangan dan Energi Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita, meski kasus itu tidak sampai ke pengadilan.
Tags:

Berita Terkait