Begini Alasan Hakim Tolak Eksepsi Ahok
Berita

Begini Alasan Hakim Tolak Eksepsi Ahok

Jaksa siap hadirkan 5 hingga 6 saksi pada sidang pemeriksaan pokok perkara. Tempat persidangan pekan depan dipindahkan.

Oleh:
CR-21
Bacaan 2 Menit
Majelis hakim menolak eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya. Foto: CR-21
Majelis hakim menolak eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya. Foto: CR-21
Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara menolak nota keberatan (eksepsi) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi terdakwa kasus penistaan agama dan eksepsi tim penasihat hukum Ahok, Selasa (27/12). Sehingga, agenda sidang dengan terdakwa Ahok akan dilanjutkan ke pemeriksaan saksi-saksi. Dalam perkara ini, Ahok didakwa melanggar Pasal 156 a huruf a KUHP dan Pasal 156 KUHP.

Selain menolak nota keberatan Ahok dan pengacaranya, majelis juga menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum sah menurut hukum sebagai dasar pemeriksaan tindak pidana atas nama terdakwa, memerintahkan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara Ahok, dan menangguhkan pembebanan biaya perkara sampai dengan putusan akhir pemeriksaan perkara.

Putusan ini dijatuhkan setelah pada dua pekan lalu, Ahok bersama tim penasihat hukumnya mengajukan eksepsi atas dakwaan yang dibacakan jaksa. Kemudian, pada pekan lalu, jaksa telah membacakan jawaban atas eksepsi pengacara Ahok. (Baca Juga: Gara-Gara Dikutip Jaksa, Pengacara Ahok Pertanyakan Legalitas Sikap Keagamaan MUI)

Menurut majelis hakim, eksepsi yang dibacakan Ahok telah memasuki materi dakwaan. Hakim mengingatkan bahwa lingkup eksepsi hanya sebatas hal formal dalam dakwaan serta kewenangan mengadili yang dapat membuat dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan batal demi hukum. Majelis juga menegaskan bahwa persidangan ini telah dilakukan atas dasar prosedur hukum yaitu pelimpahan perkara yang telah lengkap dari penuntut umum untuk diadili, bukan atas dasar tekanan massa.

Dalam putusan sela ini, empat argumentasi eksepsi pengacara Ahok, yakni Tim Advokat Bhineka Tunggal Ika juga ditolak oleh majelis hakim. Pertama, majelis hakim menilai bahwa jaksa telah memperhatikan legalitas UU No. 1/PNPS/1965 tentang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU No. 1/PNPS/1965”). Hakim menolak argumentasi eksepsi Tim Advokat Ahok bahwa penuntut umum mengabaikan keberadaan UU No. 1/PNPS/1965 dengan melompati salah satu prosedur pada UU No. 1/PNPS/1965 yang menjadi dasar hadirnya Pasal 156 a KUHP sebagai pasal sisipan.

Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 yang menyisipkan pasal 156 a KUHP tidak berkaitan sama sekali dengan mekanisme peringatan keras yang diatur dalam pasal 1 vide pasal 2 ayat 1 UU No. 1/PNPS/1965. Hakim berpendapat mekanisme peringatan keras  hanya berlaku khusus bagi pelanggar pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965.

Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajarkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/PNPS/1965 menyebutkan “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”.

Adapun Ahok didakwa alternatif dengan Pasal 156a huruf a KUHP dan Pasal 156 KUHP. Oleh karena itu tidak berlaku mekanisme peringatan keras bagi Ahok untuk dapat diajukan tuntutan pidana atas dugaan pelanggaran kedua pasal tersebut. (Baca Juga: Simak 4 Argumentasi Penting dalam Eksepsi Pengacara Ahok)

Kedua, konstruksi atas Pasal 156a KUHP yang dibuat jaksa sudah benar yaitu sebagai delik formil.  Pasal 156a KUHP huruf a dan b menyebutkan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tim Advokat Ahok berpendapat rumusan huruf (a) dan (b) adalah satu kesatuan tidak terpisahkan sebagai delik materil yang berlaku doktrin bahwa tindak pidana hanya akan terjadi dengan adanya akibat dari perbuatan itu, dalam hal ini ‘orang menjadi tidak beragama’. Namun hakim berbeda pendapat dan membenarkan argumentasi jaksa bahwa Pasal 156 a huruf a dan Pasal 156 a huruf b berdiri sendiri-sendiri yang dapat diajukan terpisah sesuai perbuatan yang dilanggar.

Ketiga, jaksa dinilai telah menyusun dakwaan secara cermat, jelas, dan lengkap berdasarkan doktrin yang berlaku atas Pasal 143 KUHAP. Dakwaan penuntut umum telah memenuhi syarat cermat yang penuh ketelitian, tidak sembarangan, hati-hati, kejelasan isi yang tidak kabur, tanpa keraguan, serta tidak perlu ditafsirkan lagi dan juga lengkap berkaitan dengan uraian identitas terdakwa, locus delicti dan tempus delicti, hingga alasan dakwaan.

Adapun keberatan Tim Advokat Ahok atas tidak dijelaskannya akibat dari perbuatan Ahok dianggap tidak relevan karena dakwaan menggunakan delik formil dimana cukup menjelaskan perbuatan yang dilanggar. Oleh karena itu, tidak ada kaitan sama sekali dengan ‘akibat’ apapun yang harus dijelaskan penuntut umum dalam dakwaan.

Keempat,mengenai keberatan Tim Advokat Ahok atas ketidakjelasan subjek korban dalam dakwaan alternatif Pasal 156 KUHP, majelis hakim kurang memahami istilah yang dimaksud oleh Tim Advokat Ahok. Dalam Bahasa Indonesia kata subjek bermakna pelaku, adapun korban adalah makna dari kata objek. Hakim juga menganggap bahwa argumentasi ini sudah memasuki pokok perkara sehingga akan diperiksa nanti bersama dengan pemeriksaan pokok perkara.

Saksi dan Sidang Pindah
Sidang pun dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dari penuntut umum. Ketua tim jaksa, Ali Mukartono mengatakan, telah menyiapkan sejumlah saksi untuk dihadirkan pada sidang berikutnya. Tapi sayangnya, ia enggan menjelaskan lebih rinci siapa saja saksi-saksi yang akan dihadirkan tersebut.

“Saya timbang-timbang dengan tim, bahwa antara sekitar 5 atau 6 orang lah. Belum (ada nama), baru pertimbangkan waktunya,” ujar Ali kepada Hukumonline.

Sebelum menutup persidangan, majelis hakim mengumumkan agenda persidangan pekan depan yakni pemeriksaan saksi-saksi. Dalam sidang tersebut, setelah memperoleh izin dari Ketua Mahkamah Agung, bahwa pemeriksaan saksi-saksi dalam persidangan dengan terdakwa Ahok dilaksanakan pada 3 Januari 2017 dan berpindah lokasi ke Auditorium Kementerian Pertanian di Jalan RM Harsono, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. (Baca Juga: Ketatnya Sidang Ahok dan Skenario Pengamanan)

Pemindahan lokasi atas pertimbangan agar dapat menampung lebih banyak pengunjung sidang serta mengurangi gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Seperti diketahui persidangan di Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat itu, telah membuat gangguan lalu lintas selama jalannya persidangan karena dipadati massa yang berunjuk rasa di luar gedung pengadilan. Selain itu daya tampung ruang sidang yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya pengunjung sidang Ahok.
Tags:

Berita Terkait