Pro dan Kontra Arah Kebijakan UU ITE Baru
Seribu Wajah UU ITE Baru:

Pro dan Kontra Arah Kebijakan UU ITE Baru

Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di dunia maya dinilai mengalami kemunduran.

Oleh:
CR21/RFQ
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi hukumonline soal UU ITE baru. Foto: ALV
Acara diskusi hukumonline soal UU ITE baru. Foto: ALV
Sejak disahkan pada 2008, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(ITE) telah menjerat berbagai kalangan pengguna internet, terutama dalam sangkaan pelanggaran Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik.

Kasus pelanggaran UU ITE yang pertama kali menyedot perhatian publik adalah kasus Prita Mulyasari pada 2009. Dia ditangkap dan ditahan atas dakwaan pencemaran nama baik dengan menulis e-mail terkait pelayanan RS Omni International, dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

Delapan tahun berlalu, pemerintah akhirnya mengusulkan revisi UU ITE dengan berbagai penyempurnaan. Hal ini merespon berbagaijudicial review atas UU ini ke MK karena berbagai ketentuannya dinilai terlalu ‘karet’ dan cenderung mudah mengkriminalisasi pengguna internet. (Baca Juga: 2 PP Pelaksana UU ITE Ini Krusial, Harus Segera Dibuat Pemerintah!)

Meski UU No. 11 Tahun 2008 telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016,  arah kebijakan politik hukum dan hak asasi manusia (HAM) pemerintah dinilai malah mengalami kemunduran. Tapi bagi kalangan legislatif, UU ITE teranyar justru memberikan kelonggaran terhadap masyarakat yang tersandung kasus pencemaran nama baik melalui dunia maya untuk tidak dilakukan penahanan di tingkat penyidikan.

Anggota Komisi I DPR Sukamta berpandangan arah kebijakan politik hukum dalam revisi UU ITE lebih ke arah membentuk bangsa yang beradab. Ia berpendapat spirit utama dari ruh UU ITE hasil revisi setidaknya terdapat dua hal, yakni aspek masyarakat dan pemerintah. Menurutnya, ditelisik dari aspek masyarakat, yakni agar adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat secara santun.

Selain itu, masyarakat dapat menikmati internet secara sehat terjaga dengan baik. Kebebasan berpendapat memang dijamin oleh konstitusi maupun UU lain sebagai aturan turunan. Namun, sejatinya pula tak boleh melanggar hak orang lain ketika menyatakan pendapat di muka umum, berperilaku buruk, apalagi menyerang orang lain dengan fitnah. (Baca Juga: Konsep Right to be Forgotten Tak Berlaku untuk Produk Jurnalistik?)

Sedangkan dari sisi pemerintah, penegak hukum kini tidak mudah melakukan penahanan terhadap pelaku dugaan pencemaran nama baik atau pun fitnah melalui dunia maya. Termasuk tidak melakukan penahanan terhadap orang yang melontarkan sikap kritisnya terhadap kebijakan publik.

Bila merujuk Pasal 21 ayat (4) KUHAP, terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun lebih, maka pelaku langsung dapat ditahan oleh penegak hukum. Dengan UU ITE hasil revisi, penahanan tak mesti dilakukan hingga adanya putusan pengadilan yang menyatakan pelaku bersalah. “Ini kan lebih manusiawi,” ujarnya.

Anggota Komisi I DPR lainnya, Evita Nursanty, berpendapat sama. Menurutnya, semangat revisi untuk melonggarkan ketentuan pidana dalam UU ITE bagi masyarakat. Salah satu yang penting dalam revisi ini adalah diturunkannya pidana penjara maksimal 4 tahun atas pencemaran nama baik. (Baca Juga: Lewat Pengadilan, Cara Terbaik Blokir Situs)

Implikasinya, penyidik tidak dapat langsung melakukan penahanan karena dibatasi ketentuan KUHAP Pasal 21 ayat (4) butir a bahwa penahanan hanya boleh dilakukan penyidik atas tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. “Jika penyidik merasa perlu melakukan penahanan, maka harus dengan penetapan pengadilan,” ujarnya.

Dilatari Perkembangan Penggunaan Medsos
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantra, mengatakan seiring perkembangan penggunaan media sosial, sejumlah pasal dalam UU ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penyebabnya, sejumlah pasal cenderung multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Polemik pun muncul setelah banyaknya kasus hukum terkait pelanggaran UU ITE.

“Karena dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, Pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu dan relevan,” jelas Menkominfo. (Baca Juga: Ini Bedanya Konsep Right to be Forgotten di Indonesia dengan Negara Lain)

Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian prosedur dan kegiatan sejak 2015, akhirnya pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan muatan materi perubahan UU ITE. Revisi UU ITE dilakukan terhadap 8 Pasal dengan penambahan 2 Pasal. Pasal-pasal yang berubah adalah Pasal 1, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 40, Pasal 43, Pasal 45, serta Penjelasan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 27. Berikut rinciannya:

PasalPerubahan
Pasal 1 Penambahan 1 angka, yaitu definisi mengenai “Penyelenggara Sistem
Elektronik”
Pasal 26 Penambahan 3 ayat, yaitu adanya kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik
dan ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik diatur dalam peraturan pemerintah (hak untuk dilupakan).
Pasal 31 Perubahan pada ayat (2) dan ayat (3) terkait intersepsi dan penyadapan.
Pasal 40 Penambahan 2 ayat, perubahan pada ayat (6), dan Penjelasan ayat (1) terkait
kewajiban Pemerintah untuk melakukan pencegahan penyebarluasan dan
penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses.
Pasal 43 Perubahan pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), serta
penambahan satu ayat. Pasal ini mengenai kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS), serta pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Pasal 45 Perubahan terkait dengan ketentuan pidana terhadap pelanggaran dalam Pasal 27 ayat (3) mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, dan penegasan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik
merupakan delik aduan.
Pasal 45A dan Pasal 45B Penambahan 2 Pasal, yaitu Pasal 45A dan Pasal 45B. Penambahan pasal-pasal ini terkait teknis penulisan dalam UU.
Penjelasan Pasal 5 Perubahan dalam Penjelasan sebagai implikasi dari Putusan Mahkamah
Konstitusi.
Penjelasan Pasal 27 Perubahan dalam Penjelasan yang memasukkan definisi dari kata/frasa
“mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan frasa “membuat dapat diakses”, serta menegaskan bahwa ketentuan mengenai pencemaran nama baik dan/atau fitnah, serta pemerasan dan/atau pengancaman
mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Rudiantara berharap, revisi UU ITE dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. “Di sisi lain, masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menggunakan internet, menjaga etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, serta menghindari konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono berpandangan arah kebijakan pemerintah dalam aspek hak asasi manusia terbilang suram. Sebab melalui UU ITE teranyar, kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat mengalami kemunduran.

“Arah perubahan kebijakannya bagi saya sih, gelap. Kalau bagi kebebasan berekspresi arah kebijakannya gelap,” ujarnya.

Potensi pengaturan kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi serta mengakses informasi justru berujung pembatasan. Mulai blokir konten, hingga pengaturan pasal ‘right to be forgotten’. Khusus pasal pengaturan right to be forgotten, Supri berpendapat pemerintah justru membatasi publik mengakses informasi dari dunia internet.

“Jadi, ini perubahannya justru mengarah ke kemunduran. Yang menurut pemerintah kemajuan adalah Pasal 27 ayat (3). Sedangkan, kalau target kami Pasal 27 ayat (3) dihilangkan saja sekalian. Pengurangan hukuman itu tidak signifikan,” ujarnya.

Supri berpendapat posisi UU ITE hasil revisi tak berbeda dengan UU 11/2008. Bahkan dalam UU ITE teranyar, kewenangan pemerintah melakukan blokir terhadap konten amatlah berbahaya. Sebabnya, kewenangan pemerintah dia nilai amat luar biasa. Terlebih, pembahasan RUU tersebut dilakukan tertutup. Sehingga masyarakat tak memiliki akses untuk menyaksikan pembahasan.

“Jadi, memang ini kemunduran bagi kebebasan eksprsi dan akes informasi itu kemunduran. Kritik kita dari segi prosesnya revisi itu sudah tertutup. Karena proses tertutup itu adanya kepentingan tertentu dari pemerintah untuk mensiasati seperti revisi yang sekarang, kebebasan di ranah maya itu berpotensi dilanggar oleh UU ITE,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait