Harapan Pelaku E-commerce Indonesia Pasca UU ITE Baru
Seribu Wajah UU ITE Baru:

Harapan Pelaku E-commerce Indonesia Pasca UU ITE Baru

Penerapan safe harbour policy yang justru sangat penting bagi e-commerce.

Oleh:
CR21
Bacaan 2 Menit
Foto kolase logo toko online. RES
Foto kolase logo toko online. RES
Sejak disahkan pada 2008, UU No. 11 Tahun 2008tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setidaknya telah mengatur dua hal penting yaitu adanya pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam konstruksi hukum perikatan dan hukum pembuktian, serta kejelasan kategorisasi perbuatan hukum yang dilarang terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) beserta sanksi pidananya.

Dengan pengakuan terhadap transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam UU ITE telah menjadikan e-commerce mempunyai jaminan kepastian hukum. Sedangkan, adanya pengaturan perbuatan hukum yang dilarang dalam penggunaan IT telah memberi rambu-rambu dalam mencegah kejahatan di dunia digital.

Setelah mengalami amandemen oleh Pemerintah dan DPR RI pada Oktober dan diundangkan pada November 2016, terdapat sejumlah perubahan penting dalam UU ITE baru (UU No. 19 Tahun 2016). Namun, perubahan UU tersebut dianggap tidak signifikan terhadap dunia bisnis, khususnya e-commerce. Hanya ada penambahan penjelasan yang mempertegas Pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa informasi elektronik, dokumen elektronikserta hasil cetakannya adalah alat bukti hukum yang sah. (Baca Juga: 5 Alasan ICJR dan LBH Pers Tolak UU ITE Hasil Revisi)

Penambahan penjelasan ini memberikan penekanan terutama dalam pembuktian dari perbuatan hukum yang dilakukan dengan Sistem Elektronik. Lalu, bagaimana pendapat pelaku usaha e-commerce atas amandemen UU ITE ini?

Legal Manager Bukalapak.com, Debora Rosaria, mengungkapkan bahwa tidak ada dampak signifikan yang dirasakan bagi pelaku usaha e-commerce dari perubahan UU ITE. Sebagai jenis marketplace dalam dunia e-commerce, Bukalapak.com lebih sering berhadapan dengan dugaan pelaku penyertaan yang diatur Pasal 55 KUHP.

Terkait UU ITE, Bukalapak mengaku sering disalahpahami terkait kasus pelanggaran Pasal 28 UU ITE dalam hal menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Padahal, dengan platform user-generated content Bukalapak tidak bertanggung jawab dengan barang yang tersedia dan dipromosikan, melainkan hanya sebagai penyedia sistem. (Baca Juga: DPR Setujui Revisi UU ITE Jadi UU)

Namun demikian, menurut Debora, pihaknya mengaku telah memiliki sistem sortir komoditas yang dapat dipasarkan di Bukalapak serta menyediakan layanan pengaduan oleh konsumen jika ada komoditas terlarang yang kecolongan dipasarkan di situs tersebut.

Demikian pula dengan Easybiz.id, sebagai pelaku e-commerce yang menyediakan layanan jasa pendirian badan usaha dan pengurusan izin usaha bagi start up atau jenis UKM lainnya. Easybiz merasakan bahwa tidak ada yang signifikan menyentuh kepentingan e-commerce dalam revisi UU ITE. Meski demikian, pemerintah tampak meningkatkan tertib perizinan pendirian perusahaan e-commerce bersamaan dengan revisi UU ITE.

Business Development Director Easybiz, Leo Faraytody, mengatakan kepada hukumonline bahwa dalam pendirian perusahaan e-commerce sejak dua bulan belakangan harus berurusan dengan Kemenkominfo untuk pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik. Bidang usaha e-commerce harus mendaftarkan portal situs atau aplikasi online atau berbagai sistem elektronik yang digunakan dalam bisnisnya di Kemenkominfo. (Baca Juga: Polemik UU ITE, Jadikan Putusan MK Sebagai Rujukan)

Menurut Leo, ketentuan ini sendiri sebenarnya telah diatur lewat PP No. 82 Tahun 2012tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 36 Tahun 2014tentang Tata Cara Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik.

Hanya saja, sebelumnya Easybiz tidak pernah diharuskan melakukan pendaftaran dalam setiap pengurusan pendirian badan usaha atau pengurusan izin usaha bagi start up kliennya.

Ketua Indonesian E-Commerce Association (idEA), Aulia E. Marinto, mengatakan pelaku e-commerce menyambut baik keberadaan UU ITE, sebelum dan setelah direvisi. Hanya saja dia memahami bahwa UU ITE sejak awal memang lebih menekankan tentang kebebasan berpendapat di internet dibanding spesifik mengenai transaksi elektronik e-commerce.

Ia menyatakan revisi ini tetap harus membuat e-commerce lebih waspada dan cermat dengan kontennya dan akan mensosialisasikan kepada seluruh anggota idEA agar lebih jelas lagi dalam membuat terms & conditions untuk dipatuhi pengguna jasanya. Hanya saja, dia berharap pemerintah untuk segera menerapkan safe harbour policy yang justru sangat penting bagi e-commerce.

“Jadi pemerintah dan pembuat regulasi harus lebih imbang dengan safe harbour policy agar tidak langsung mempersalahkan pelaku e-commerce market place, misalnya jika ada kecolongan konten terlarang yang dipasarkan user,” katanya.

Aulia mengakui saat ini safe harbour policy sendiri masih dalam proses penyusunan oleh Pemerintah dengan melibatkan idEA. Safe harbour policy adalah kebijakan untuk melindungi para pembuat platform berbasis digital di internetyang dicetuskan pada 1998 oleh Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.

Sehingga jika yang diunggah di situs e-commerce adalah sesuatu yang melawan hukum maka bukan situs yang diblokir, tetapi kontennya. Kebijakan ini sendiri belum sepenuhnya hadir dan diberlakukan di Indonesia, namun sudah dilakukan di kalangan anggota asosiasi e-commerce Indonesia sebagai landasan beroperasinya.

Tags:

Berita Terkait