Menimbang Konstitusionalitas UU ITE Baru
Seribu Wajah UU ITE Baru:

Menimbang Konstitusionalitas UU ITE Baru

Masih menjadi ancaman kebebasan berekpresi bagi masyarakat di dunia maya dan berpotensi menuai gugatan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Sidang Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Sidang Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Sejak akhir Oktober lalu, DPR dan Pemerintah sepakat mengesahkan perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kini, beleid ini bertitel Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Sontak, terbitnya revisi UU ITE ini menuai kritikan dari kalangan aktivis yang kerap menyuarakan kebebasan berekspresi, seperti ICJR dan LBH Pers.  

Mereka menilai materi UU ITE yang baru ini tidak berbeda jauh dengan UU ITE sebelumnya yang seolah mengekang kebebasan berpendapat. Awalnya, UU ITE ini diarahkan meningkatkan ekonomi Indonesia yang mengatur semua transaksi di dunia maya (e-commerce).

Namun, seiring berkembangnya teknologi di media sosial justru beberapa pasalnya dianggap merugikan karena cukup banyak orang yang dilaporkan ke polisi dan dijadikan tersangka pencemaran nama baik, sehingga cenderung mengancam kebebasan setiap orang berpendapat. (Baca Juga: Siapa Saja Bisa Diadukan: Mereka yang Terjerat UU ITE)

Di sisi lain, Pemerintah menganggap UU ITE terbaru ini menguatkan peran pemerintah dan memperbaiki kesalahan penerapan Pasal 27 ayat (3), khususnya penegasan istilah “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” informasi dan/atau dokumen elektronik. Konteks penguatan ini, pemerintah wajib mencegah penyebarluasan informasi elektronik muatan yang dilarang peraturan perundang-undangan.

Lalu, pemerintah berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelengggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum (Pasal 40). Pasal 27 UU ITE memuat hal yang dilarang atau melanggar hukum seperti melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman yang mengacu KUHP.

Selain itu, Pasal 28 dan Pasal 29 diatur muatan yang dilarang seperti menyebarkan berita bohong, menimbulkan rasa kebencian, SARA, ancaman kekerasan, radikalisme, dan pornografi. (Baca Juga: Pro dan Kontra Arah Kebijakan UU ITE Baru)

Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, menilai secara umum nuansa UU ITE terbaru ini masih menjadi ancaman kebebasan berekpresi bagi masyarakat terutama di dunia maya. Intinya, kata dia, beberapa pasal UU ITE terbaru, potensial bertentangan kebebasan berpendapat/berekspresi yang dijamin konstitusi.

“Memang disinilah letak masalah utamanya,” kata Supriyadi Widodo Eddyono saat dihubungi hukumonline, Kamis (22/12).

Menurutnya, konstitusionalitas UU ITE terbaru masih bermasalah, sehingga kemungkinan potensial dipersoalkan warga negara yang dirugikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kita sendiri ada rencana melakukan judicial review ke MK, tetapi kita melihat situasi dan kondisi ke depan,” kata Supri.    

Pihaknya, berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Namun, kemungkinan materi pengujian yang diajukan sementara tidak mengarah pasal-pasal defamasi (pencemaran nama baik), tetapi lebih difokuskan pada pasal-pasal cyberbullying. (Baca Juga: Dilema Cyberbullying dan Euforia Media Sosial)

“‎Kita tidak mengarah pasal defamasi, tetapi ke arah pasal-pasal lain terkait cyberbullying,” kata dia.

Dia menilai pemidanaan merundung di dunia siber (cyberbullying) yang diatur Pasal 45B UU ITE potensial jauh lebih buruk ketimbang penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sebab, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki definisi baku terkait dengan perundungan (bullying) di dunia nyata (tradisional). Namun, UU ITE justru “memaksa” memberikan pengertian baku perundungan di dunia maya.

“Karena tidak adanya definisi baku perundungan tradisional, rumusan yang digunakan bersifat lentur, sehingga dapat menimbulkan banyak penafsiran,” dalihnya. (Baca Juga: Harapan Pelaku E-commerce Indonesia Pasca UU ITE Baru)

Pasal 45B UU ITE menyatakan, ”Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”

Dia memperkirakan, kebijakan kriminalisasi yang memasukan cyberbullying menimbulkan overkriminalisasi. Faktanya, banyak ahli pidana dan negara-negara lain mengalami kesulitan merumuskan pengertian perundungan. Dikhawatirkan, tindak pidana ini berpotensi besar disalahgunakan dalam penegakannya. Dengan begitu, terbukalah celah pemberangusan kebebasan berekspresi di dunia maya.

“Dengan masuknya tindak pidana baru ini disertai Pasal 27 ayat (3) tentang defamasi dunia maya ini, jelas UU ITE terbaru ini masih berpotensi mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia,” katanya.

Seperti diketahui, UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE ini sudah 7 kali diuji di MK yakni putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, No. 2/PUU-VII/2009, No. 5/PUU-VIII/2010, No. 52/PUU-XI/2013, No. 1/PUU-XIII/2015, No. 20/PUU-XIV/2016, dan No. 74/PUU-XIV/2016. Namun, pengujian UU ITE ini sebagian besar dinyatakan ditolak, tidak diterima, dan ditarik kembali. Alasan Mahkamah menolak karena Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE dianggap konstitusional karena sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip negara hukum. 

Dari 7 perkara, hanya 2 perkara yang dikabulkan MK. Pertama, putusanMK No. 5/PUU-VIII/2010 yang membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE terkait intersepsi atau penyadapan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang dimohonkan Anggara Suwahju Dkk. Mahkamah menilai perlu UU yang mengatur tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Sebab, materi muatan PP tidak dapat mengatur pembatasan HAM (penyadapan).   

Kedua, putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 5 ayat (1), ayat (2), Pasal 44 UU ITE dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tipikor, khususnya frasa “Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sepanjang dimaknai sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan aparat penegak hukum seperti diatur Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Permohonan ini diajukan oleh Ketua DPR Setya Novanto.

Mahkamah berpendapat penyadapan adalah kegiatan untuk merekam, membelokan, mengubah, dan menghambat transmisi elektronik yang tidak bersifat publik baik melalui kabel maupun nirkabel. Mahkamah harus menegaskan setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum.

Karena itu, pengaturan proses penyadapan dalam penegakan hukum harus berdasar undang-undang. Apabila penyadapan tidak sesuai prosedur undang-undang tidak dapat dibenarkan, sehingga alat bukti penyadapan tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan.  

“Kalau berlakunya Pasal 31 UU ITE terbaru terkait intersepsi sudah mengacu putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016. Jadi, tidak masalah secara konstitusional,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait