Antara Pertemuan Ken, Tax Amnesty, dan Kewenangan Penanganan Pajak PT EK Prima
Berita

Antara Pertemuan Ken, Tax Amnesty, dan Kewenangan Penanganan Pajak PT EK Prima

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengaku penanganan pajak PT EK Prima kewenangan Kanwil.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Ken diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT EK Prima Ekspor Indonesia, Ramapanicker Rajamohanan Nair, terkait dugaan suap penghapusan pajak perusahaan tersebut.
Ken diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT EK Prima Ekspor Indonesia, Ramapanicker Rajamohanan Nair, terkait dugaan suap penghapusan pajak perusahaan tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadap Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi. Ken diperiksa sebagai saksi untuk Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia, R Rajamohanan Nair yang merupakan salah seorang tersangka dalam kasus suap pengurusan pajak PT EK Prima.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pemeriksaan Ken untuk mengklarifikasi tiga hal. Pertama, mengenai pengetahuan Ken berkaitan dengan pajak PT EK Prima. Kedua, mengenai sejumlah pertemuan yang diduga dihadiri oleh Ken. (Baca Juga: “Surat Cinta” Sri Mulyani Pasca OTT Pegawai Pajak)

"Namun, belum bisa sampaikan secara rinci, dengan siapa pertemuan itu, apa yang dibahas, dan kapan. Tapi, benar ada klarifikasi mengenai sejumlah pertemuan. Harapannya, menjelang pelimpahan perkara ini untuk pemberi akan makin terang siapa saja yang terlibat," katanya di KPK, Kamis (5/1).

Ketiga, sambung Febri, penyidik mengkonfirmasi kepada Ken terkait posisi PT EK Prima dalam program tax amnesty atau pengampunan pajak tahap pertama. Dari sini, penyidik akan melihat apakah ada fakta terkait upaya untuk menghambat pengajuan tax amnesty PT EK Prima.

Sebagaimana diketahui, perkara ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 21 November 2016. KPK menangkap Rajamohanan dan Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka suap terkait pengurusan Surat Tagihan Pajak (STP) PT EK Prima, dari yang semula Rp78 miliar dihapuskan menjadi nol. Sebagai imbalan atas pengurusan tersebut, Handang diduga menerima uang sejumlah AS$148.500 atau setara dengan Rp1,9 miliar dari Rajamohanan.

Akan tetapi, dalam perjalanan penyidikan kasus ini, terungkap adanya pihak yang diduga menghambat PT EK Prima mengikuti tax amnesty. PT EK Prima sendiri adalah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) berskala besar yang terdaftar sebagai eksportir dengan komoditi ekspor “readymade garments”.

Handang melalui pengacaranya, Krisna Murti sempat menyatakan bahwa Rajamohanan  awalnya ingin PT EK Prima ikut dalam program tax amnesty. Entah mengapa, sesuai pengakuan Handang kepada pengacaranya, pimpinan Handang tidak memperbolehkan PT EK Prima untuk mengikuti program tax amnesty. (Baca Juga: OTT Pegawai Pajak, Kepala BKF: Sebalnya Setengah Mampus!)

Padahal, sambung Krisna, menurut Handang, mengacu pada peraturan yang ada, seharusnya PT EK Prima boleh mengikuti tax amnesty. Wajib pajak tidak boleh mengikuti tax amnesty jika sudah ditemukan bukti permulaan adanya pelanggaran pidana atau perdata. Sedangkan, PT EK Prima sama sekali belum pernah dilakukan penyelidikan atau bukti permulaan.

Walau begitu, Krisna mengaku kliennya memang membantu PT EK Prima. Handang membantu masalah pajak yang dihadapi Rajamohanan. Handang meminta Rajamohanan datang ke kantornya karena permasalahan pajak PT EK Prima sudah beres atau tidak ditemukan bukti permulaan untuk pidana pajaknya.

Lebih lanjut, Krisna mengatakan, Rajamohanan pun menjanjikan akan memberikan fee sebesar 10 persen kepada Handang. Ia membantah jika Handang yang meminta uang kepada Rajamohanan. Meski faktanya Handang menerima uang di rumah Rajamohanan, hal itu dikarenakan Rajamohanan sedang sakit, sehingga Handang diminta datang ke rumahnya.

"(Jadi) Kewajiban (pajak PT EK Prima) sebesar Rp78 miliar itu harusnya tidak ada menurut Pak Handang. Prosedur pemeriksaannya itu yang salah. Kenapa sampai muncul Rp78 miliar ini? Padahal, misalkan, dia ekspor-impor pertanian, ini kan harusnya tidak ada. Itulah yang membuat Mohan keberatan. Padahal kalau sesuai prosedur harusnya nol, makanya Pak Handang membantu," ujarnya.

Sementara, pengacara Rajamohanan, Tommy Singh, beberapa waktu lalu juga membenarkan jika kliennya pernah ingin mengajukan tax amnesty. Namun, sebelum mengajukan tax amnesty, ada oknum pajak yang sudah menyampaikan bahwa tax amnesty PT EK Prima akan ditolak. Ia menegaskan, oknum pajak tersebut bukan Handang.

Oleh karena itu, Tommy mengatakan, Rajamohanan sebenarnya hanya lah korban pemerasan. Dan, oknum yang melakukan pemerasan bukan hanya satu orang. Ia mengaku, kliennya akan membuka siapa saja yang terlibat. Rajamohanan juga akan mempertimbangkan untuk menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama.

Usai menjalani pemeriksaan di KPK, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi tidak banyak berkomentar. Ia hanya menegaskan tidak ada penghapusan tagihan pajak PT EK Prima. Kalau pun ada penanganan pajak PT EK Prima, itu bukan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). "Itu di Kanwil (Kantor Wilayah)," tuturnya. (Baca Juga: Pejabat Pajak Tersangka Suap Rp1,9 M Saat Pemerintah Gencarkan Tax Amnesty)

Mengacu Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ/2013 tentang Perubahan Kesebelas atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, memang ada beberapa wewenang Dirjen Pajak yang sudah dilimpahkan kepada Kepala Kanwil DJP.

Beberapa diantaranya adalah :
Menerbitkan keputusan mengenai Pasal 36 ayat (1) huruf c, Kepala Kantor Wilayah DJP pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU No. 6/1983 s.t.d.t.d. UU No 16/2009 yang tidak benar berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan, termasuk menerbitkan keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) yang tidak diputuskan setelah melewati jangka waktu 6 (enam) bulan.
Menerbitkan keputusan mengenai pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa : 1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi; atau 2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan, termasuk menerbitkan keputusan atas permohonan pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang tidak diputuskan setelah melewati jangka waktu 6 (enam) bulan
Menerbitkan keputusan mengenai pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan, termasuk menerbitkan keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar yang tidak diputuskan setelah melewati jangka waktu 6 (enam) bulan
Menerbitkan Keputusan mengenai pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan, termasuk menerbitkan keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tidak diputuskan setelah melewati jangka waktu 6 (enam) bulan.

Dalam lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ/2013 tersebut, masih ada sejumlah kewenangan Dirjen Pajak yang dilimpahkan kepada Kepala Kanwil DJP. Bahkan, pada 2015, Dirjen Pajak kembali menerbitkan Keputusan Nomor KEP-127/PJ/2015 tentang Perubahan Kedua Belas atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 yang memuat beberapa tambahan pelimpahan kewenangan kepada Kepala Kanwil DJP.
Tags:

Berita Terkait