Kesempatan dan Usia Kerja
Publikasi lowongan atau kesempatan kerja (job vacancy) selalu mensyaratkan usia minimal dan maksimal. Syarat usia minimal, selain bertujuan mencegah pekerja anak, sekaligus instrumen seleksi kualifikasi dan pengalaman kerja. Ketika syarat usia maksimal, misalnya 35 tahun, dan minimal 20 tahun, syarat itu sebagai signal bahwa, yang tidak memenuhi syarat itu, pasti ditolak.
Paling sedikit dua alasan pengusaha membatasi usia maksimal calon pekerja. Pertama, pekerja pada usia tertentu (pekerja muda) dipercaya bisa bekerja lebih gesit, lincah, produktif, serta memiliki ketahanan fisik yang baik. Kedua, kesehatan pekerja muda lebih prima dalam waktu lama. Pekerja usia lebih dari 35 tahun diasumsikan sebagai usia yang sensitif terhadap serangan ragam penyakit. Kalau pekerja yang baru diterima memiliki usia lebih dari 35 tahun, perusahaan mulai mengkhawatirkan kesehatan pekerja dan keluarganya. Membaca beberapa literatur, manusia usia 20–30 tahun, rawan terserang penyakit seperti diabetes, kolesterol dan serangan jantung. Kalau seseorang diterima bekerja pada usia lebih dari 40 tahun, pada umumnya, untuk memangku jabatan atau posisi strategis seperti manager atau general manager.
Terkait usia kerja, mempekerjakan pekerja lebih dari batas usia tertentu, pengusaha memiliki tiga anggapan: (1) pekerja dianggap kurang produktif; (2) waktu perusahaan tersita mengurus kesehatan pekerja dan keluarganya; (3) perusahaan menambah biaya terhadap kemungkinan pekerja sakit berkepanjangan atau meninggal dunia.
Hubungan kerja bukan hubungan seumur hidup. Hubungan kerja berlangsung terbatas. Hubungan kerja yang ideal berakhir karena usia pensiun. Pada usia itu, pekerja berhak hidup tanpa bekerja. Pensiun kerja didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana pekerja tidak boleh lagi bekerja atau dibolehkan tidak melakukan pekerjaan seperti biasa karena berdasarkan UU atau perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama (PKB), pekerja telah memasuki batas usia kerja. Ketika itu terjadi, hubungan kerja berakhir demi hukum. Untuk kelangsungan hidup, pensiunan menikmati tabungan dan jaminan hari tua yang dikelola oleh perusahaan atau negara.
Kalau dilihat dari aspek ekonomi dan dan kebutuhan tenaga, pekerja yang berhenti bekerja karena usia pensiun, tidak selalu menguntungkan pekerja maupun pengusaha. Mengingat bekerja berkaitan dengan ekonomi dan status sosial, alasan pensiunan memilih tetap bekerja. Terkait pensiunan yang bekerja kembali atau dipekerjakan kembali, pelaksanaan di dalam praktik menggunakan tiga macam cara. Pertama, pengusaha mempekerjakan kembali pekerja yang pensiun setelah membayar uang pensiun atau uang pesangon. Hubungan kerja baru dilangsungkan setelah menandatangani perjanjian kerja baru. Kedua, pengusaha tetap mempekerjakan pekerja meskipun sudah memasuki usia pensiun tanpa membayar terlebihdahulu uang pensiun atau uang pesangon dan tanpa menandatangani perjanjian kerja baru.[1]Ketiga, pekerja melamar ke perusahaan lain atau diterima bekerja di perusahaan lain.
Menariknya, ketika pengusaha mempekerjakan mantan pekerja atau pensiunan, alternatif ikatan kerja di dalam praktik dibuat dalam bentuk: (a) perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT); (b) perjanjian kerja ahli (PKA); dan (c) perjanjian konsultan (PK). Tujuan utama menggunakan salah satu dari tiga model hubungan itu adalah menyederhanakan kewajiban yang berkontribusi pada penghematan biaya hubungan kerja.
Praktik mempekerjakan pensiunan dengan menggunakan salah satu dari model ikatan hukum di atas, alasannya mengatakan: (a) usia pensiunan itu bukan usia kerja; (b) perusahaan menerima yang bersangkutan bekerja karena bersedia; (c) menerima pekerja kembali bekerja sebagai bentuk penghargaan; (d) memberi kesempatan yang bersangkutan memiliki aktifitas; (e) pekerja memohon untuk dipekerjakan kembali.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Sesuai Pasal 59 UU No. 13 tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan), pengusaha boleh mempekerjakan pekerja dengan PKWT. Syaratnya: (a) pekerjaan dari pekerja bersifat sementara; (b) PKWT dibatasi dengan waktu, yaitu kontrak pertama selama 2 tahun + 1 tahun, jeda 30 hari, kemudian dilanjutkan PKWT pembaharuan selama 2 tahun.
Ketika mantan pekerja (pensiunan) dipekerjakan kembali dengan status PKWT, dan yang bersangkutan dipekerjakan melakukan pekerjaan yang biasa dilakoni sebelum pensiun, bisa dipastikan, pekerjaan itu bersifat terus menerus alias tetap. Kalau pekerjaan itu bersifat tetap, keabsahan PKWT, tidak bergantung pada waktu PKWT. Meskipun dibuat 1 hari, PKWT dianggap tidak sah, kalau hubungan kerja itu mengerjakan pekerjaan yang bersifat permanen. Syarat itu berlaku kepada seluruh pekerja tanpa membedakan usia.
Semua orang, berapapun usianya, secara filosofis, berhak bekerja. Dari segi yuridis, UU tidak melarang pengusaha mempekerjakan seseorang yang berusia 57 tahun atau lebih. Sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, bangunan hubungan kerja tercipta karena pekerja dan pengusaha sepakat mengikatkan hubungan hukum. Ketika perusahaan mempekerjakan pekerja berusia 57 tahun, perusahaanlah yang memperhitungkan untung dan rugi serta manfaatnya.
Apakah UU membolehkan pengusaha mempekerjakan seorang pensiunan dengan ikatan PKWT? Bicara tentang PKWT, rujukan hukumnya adalah hukum Ketenagakerjaan. Jika pekerja berusia 57 tahun mengerjakan pekerjaan yang bersifat terus menerus (permanen), pengusaha tidak boleh mempekerjakan dengan PKWT. Kalau hubungan kerja dibuat PKWT, sedangkan pekerjaannya bersifat terus menerus, sesuai hukum ketenagakerjaan, hubungan kerja itu berubah menjadi PKWTT. Konsekuensinya, ketika pengusaha mengakhiri hubungan kerja, dan PHK dilakukan bukan karena pekerja melakukan pelanggaran hukum, pengusaha wajib membayar pesangon. Ketika pekerja meninggal dunia dalam hubungan kerja, pengusaha wajib membayar pesangon kepada ahli waris. Maka, usia pekerja 56 tahun atau lebih, bukan alasan pembenar untuk menerapkan PKWT.
Perjanjian Kerja Ahli dan Perjanjian Konsultan
Dua model ikatan hubungan kerja berikut ini –dalam praktik- diterapkan kepada pensiunan yang berusia 56 tahun atau lebih, yaitu perjanjian kerja ahli (PKA) dan perjanjian konsultan (PK). UU ketenagakerjaan tidak mengenal ke dua jenis perjanjian itu. Perjanjian seperti itu merupakan upaya menyeludupkan hukum. Model hubungan seperti itu, bisa diduga, bertujuan supaya hubungan hukum tidak disebut hubungan kerja. Mudah ditebak, yang dihindari adalah kewajiban membayar premi asuransi atau BPJS serta uang pesangon.
Masuk dalam kategori PKA dan PK misalnya konsultan hukum dan konsultan pajak. Seseorang disebut konsultan apabila memiliki ijin profesi dari instansi terkait. Hubungan hukum konsultan berlangsung tanpa kewajiban hadir di perusahaan setiap hari, kecuali diperjanjikan lain. Waktu kerja para ahli atau konsultan, tidak dibatasi. Upah yang dibayar tidak didasarkan pada jam kerja, tetapi honor disesuaikan dengan jasa dan keahlian. Dengan demikian, perjanjian yang benar-benar murni sebagai PKA dan PK, unsur hubungan kerja, tidak terdapat di dalamnya. Ketika hubungan hukum dilakukan dengan sebutan PKA atau PK, tetapi di dalam hubungan itu terselip unsur hubungan kerja maka, PKA dan PK dikualifikasi sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Apakah PKA dan PK sah menurut hukum ketenagakerjaan? UU Ketenagakerjaan incasu Pasal 56 ayat (1) membagi hubungan kerja ke dalam dua bentuk perjanjian, yaitu PKWT dan PKWTT. Perjanjian kerja menciptakan hubungan kerja. Terdapat tiga unsur hubungan kerja, yaitu unsur pekerjaan, perintah dan upah. Ketika pekerja diikat dengan PKA atau PK, kemudian di dalam hubungan itu melekat ke tiga unsur hubungan kerja maka, ikatan hukum itu dikualifikasi sebagai hubungan kerja.
Hubungan kerja yang dibingkai dengan PKA dan PK, berdasarkan uraian di atas, demi hukum sebagai PKWTT. Apabila pengusaha mengakhiri hubungan kerja bukan karena pekerja melanggar hukum atau pekerja meninggal dunia dalam hubungan kerja, pengusaha wajib membayar pesangon. Pada akhirnya, setiap orang yang dipekerjakan dengan ikatan apapun, sepanjang dalam hubungan itu melekat unsur hubungan kerja, hubungan tersebut tunduk pada UU Ketenagakerjaan.
UU Ketenagakerjaan dan segala peraturan pelaksananya, sebagian bersifat imperatif dan fakultatif. Sifat itu memastikan hukum Ketenagakerjaan sebagai rujukan utama menyelenggarakan hubungan kerja. Perbuatan dan substansi perjanjian yang menyimpang dari UU Ketenagakerjaan, batal demi hukum. Konsekuensinya, hubungan kerja dikembalikan pada aturan hukum yang berlaku incasu hukum ketenagakerjaan.
Selama UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini belum diubah, hubungan kerja antara majikan dan pekerja, tidak mengenal terminologi PKA dan PK. Begitupun mengenai PKWT pensiunan. Hukum positif tidak mengatur bahwa pekerja (pensiunan) yang berusia 56 tahun atau lebih hanya boleh bekerja dengan ikatan PKWT. Dalam konteks hubungan kerja, produk perjanjian kerja, meskipun dibuat atas dasar kesepakatan, tidak selalu bisa dianggap sah. Perjanjian kerja yang bertentangan dengan hukum, tidak boleh berlindung di balik Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Sebagaimana Pasal 1337 KUHPerdata mensyaratkan, perjanjian tidak boleh bertentangan dengan UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu, pacta sunt servanda tidak melindungi perjanjian yang bertentangan dengan hukum.
Perjanjian kerja di dalam praktik sering dibuat sebagai tindakan yang bersifat eksperimen dan spekulatif. Kaidah hukum perjanjian kerja sudah diketahui, tetapi sengaja diabaikan. Perjanjian eksperimen dan spekulatif itu muncul untuk mensiasati hukum positif. Apapun alasannya, kreatifitas hukum harus disesuaikan dengan hukum. Ketika melanggar hukum, kreatifitas itu harus dihentikan. Sekali pelanggaran diluluskan, hukum masuk jurang dan mengalami kecelakaan.
Menghentikan pelanggaran hukum, penegakan hukum diperlukan. Penegak hukum bertugas menegakkan hukum (law enforcement). Di bidang ketenagakerjaan terdapat tiga institusi penegak hukum, yaitu pegawai pengawas ketenagakerjaan, Polri, dan Pengadilan hubungan industrial (PHI). Apabila pelanggaran hukum terjadi, hukum menegakkan hukum. “Tegakkan hukum gunakan hukum,” kata Prof. Dr. Tb. Ronni Rahman Nitibaskara. Ketika hukum ketenagakerjaan ditegakkan maka, bentuk-bentuk perjanjian kerja maupun kriteria hubungan kerja yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan – sebagai iusconstititum - tidak bisa diperluas ke dalam praktik. Jika kajian akademis menemukan bentuk hubungan kerja baru, sejauh ini, eksistensinya sekadar bahan iusconstituendum yang masih bergantung pada proses legislasi.
*) Juanda Pangaribuan, Advokat dan Pengacara, spesialis hukum di bidang perburuhan/ketenagakerjaan, berdomisili di Jakarta. Tahun 2006 – 2016 sebagai Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, menulis buku hukum di bidang hubungan industrial dan hukum ketenagakerjaan. Sebagai pengajar pada pendidikan dan pelatihan ‘Calon Mediator Hubungan Industrial’ pada Pusdiklat Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia (Kemenaker RI). Pengajar dan Fasilitator pada pelatihan dan sertifikasi Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI). Tahun 2016, salah satu dari dua orang yang dinyatakan lulus oleh Komisi Yudisial (KY) sebagai Calon Hakim Ad Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI).