Simak Argumentasi Mereka yang Menolak Dewan Kerukunan Nasional
Berita

Simak Argumentasi Mereka yang Menolak Dewan Kerukunan Nasional

Ditengarai sebagai upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme non-yudisial.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Penyelesaian masalah HAM tersendat. Foto: RES
Penyelesaian masalah HAM tersendat. Foto: RES
Rencana Pemerintah membentuk Dewan Kerukunan Nasional, sebagaimana disebut Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, beberapa waktu lalu mendapat sorotan tajam organisasi masyarakat sipil bidang HAM.

Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, menilai rencana pembentukan itu mengaburkan reformasi hukum yang jadi prioritas Presiden Joko Widodo. Ia menilai Dewan Kerukunan Nasional menggabungkan berbagai masalah tanpa membedakan akar dan pokok persoalan setiap kasus. “Kerukunan yang dimaksud pemerintah itu seakan ingin menyampingkan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi,” kataya dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Selasa (10/1).

Hafiz juga menilai tujuan Dewan Kerukunan Nasional tidak jelas, apakah untuk membangun perdamaian, toleransi, kebhinekaan atau menangani pelanggaran HAM. Ia khawatir praktiknya Dewan ini  mencampuradukkan masalah dan tidak mengarah pada penyelesaian.

Keberadaan Dewan semakin rancu jika kewenangannya diarahkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kalaupun mau menyelesaikan lewat musyawarah, tetap harus disertai penegakan hukum. Dewan juga harus mengadopsi prinsip HAM yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Menurut Hafiz itu layak dilakukan karena prinsip HAM memastikan adanya perlindungan hak bagi korban dalam setiap peristiwa. “Sehingga penyelesaian yang dilakukan Dewan ini tetap mengutamakan kepentingan korban,” ujarnya.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, juga menolak pembentukan Dewan ini  karena tujuannya untuk menyelesaikan tindak pidana pelanggaran HAM dengan cara musyawarah mufakat. Pembentukan ini seolah-olah menunjukkan proses penyelesaian HAM melalui lembaga peradilan menyebabkan konflik dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia. “Pelanggaran HAM berat masa lalu tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah. Penegakan hukum merupakan ruh penting dalam pemenuhan hak-hak korban,” tegas Haris.

Selain itu Haris mengusulkan Presiden Joko Widodo memerintahkan Kejaksaan Agung melakukan penyidikan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki Komnas HAM. Presiden bisa membentuk Komite Kepresidenan yang bertanggungjawab langsung di bawah kendali Presiden. Komite itu tugasnya membantu Presiden memperjelas skema penyelesaian melalui jalur yudisial dan non yudisial sebagaimana yang diharapkan. (Baca juga: Buram Potret Dua Tahun Pemerintahan Jokowi Soal Penyelesaian Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat).

Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah, mengatakan Komnas HAM belum paham dengan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional. Pembahasan yang pernah dilakukan pemerintah dan Komnas HAM yakni memasukan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dalam RPJMN 2015-2019. Kemudian, pemerintah berencana membentuk Komite ad hoc yang berada di bawah langsung Presiden.

Perempuan yang disapa Roi itu mengatakan dalam pertemuan antara Komnas HAM dengan Presiden Joko Widodo 9 Desember 2016, Presiden menyadari pemerintah masih punya PR untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sayangnya, Presiden tidak merinci bagaimana penyelesaian itu dilakukan. Dalam pertemuan itu Presiden juga menyinggung akan membentuk unit untuk merawat kebhinekaan.

“Kami tidak mengetahui apakah yang dimaksud unit soal kebhinekaan itu Dewan Kerukunan Nasional atau bukan. Tapi untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu belum,” kata Roi saat dihubungi hukumonline. (Baca juga: Penyelesaian Kasus 1965 Mentok, Pemerintah Perlu Undang Pelapor Khusus PBB).

Roi menjelaskan belum ada mekanisme untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu selain yudisial melalui UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. Regulasi itu juga membuka peluang penyelesaian itu dilakukan melalui non yudisial. Tapi yang jelas kedua mekanisme itu tidak saling menegasikan. “Bukan berarti ketika non yudisial yang didahulukan kemudian mekanisme yudisial tidak digunakan, keduanya bisa berjalan,” jelasnya.

Komnas HAM mendukung rencana pemerintah membentuk Komite Ad Hoc untuk mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Walau idealnya pembentukan itu perlu landasan hukum yang kuat seperti UU Komisi Kebenaran dan Rekonsialiasi, tapi itu bisa juga dibentuk menggunakan Peraturan Presiden (Presiden). Paling penting, lembaga itu harus berada di bawah langsung Presiden dan tidak boleh lebih rendah. Mandat, kewenangan dan dukungan terhadap lembaga itu harus jelas dan diberikan secara penuh. “Lembaga itu harus independen, anggotanya kredibel dan tujuannya jelas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait