Pakar : Kematian Tidak Wajar Mutlak Perlu Otopsi
Utama

Pakar : Kematian Tidak Wajar Mutlak Perlu Otopsi

Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/ IX/75 mengharuskan prosedur otopsi yang mesti ditaati dan dilaksanakan penuh oleh penyidik dengan bantuan ahli patologi forensik, tanpa terkecuali.

Oleh:
CR-22
Bacaan 2 Menit
Seminar Otopsi Sebagai Penentu Kematian Seseorang yang Tidak Wajar. Foto : CR-22
Seminar Otopsi Sebagai Penentu Kematian Seseorang yang Tidak Wajar. Foto : CR-22
Tentu Anda pernah mendengar cerita tewasnya John F Kennedy. Mantan Presiden Amerika Serikat ini tewas akibat terjangan peluru saat melakukan kunjungan ke Dallas pada 22 November 1963 silam. Kennedy roboh saat mobil terbuka yang membawanya melintas di kerumunan orang yang menyambut kunjungannya. Setelah kematiannya, jasad Kennedy sempat diotopsi untuk memastikan penyebab kematiannya, walaupun saksi mata menyebutkan Kennedy roboh di mobilnya akibat ditembak oleh Lee Harvey Oswald.

Kasus hampir serupa di Indonesia, beberapa waktu lalu, perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada kasus Wayan Mirna Salihin yang kematiannya diduga akibat keracunan minuman ice coffee Vietnamsaat sedang bersama sahabatnya Jessica Kumala Wongso. Alhasil, Majelis Hakim akhirnya memutus Jessica terbukti bersalah meracuni Mirna melalui ice coffee yang mengandung zat sianida meski tanpa melalui proses otopsi terlebih dahulu.   

Ilustrasi dua kasus diatas menggambarkan betapa pentingnya prosedur otopsi dilakukan terhadap jasad yang dinyatakan telah meninggal. Sebab, dalam proses pembuktian kasus Jessica, mayat Mirna tidak dilakukan proses otopsi dengan membedah mayat karena penyebab kematiannya diketahui tidak wajar. (Baca Juga : Ini Kata Jessica Soal Sedotan di Dalam Gelas Kopi Mirna)

“Padahal, seharusnya setiap perkara pembunuhan yang mengakibatkan kematian korban, mutlak dilakukan otopsi dari ahli kedokteran (patologi) forensik untuk menentukan penyebab kematian korban,” kata Pakar Pidana dari Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk “Otopsi Sebagai Penentu Kematian Seseorang yang Tidak Wajar” di Universitas Pelita Harapan Jakarta, Kamis (19/1). (Baca Juga :  Ternyata Beginilah Intisari Pertimbangan Hakim Atas Vonis Jessica)

Romli menegaskan meski secara umum telah diketahui penyebab kematian seseorang prosedur otopsi tetap perlu dilakukan. Hal ini sejalan dengan Pasal 134 ayat (1) KUHAP mengatur, “Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.

Menurut Romli, keterangan ahli termasuk ahli hukum pidana, tidak bisa menentukan penyebab kematian, kecuali keterangan mengenai teori hukum pidana yang bersangkutan dengan ketentuan Pasal 340 KUHP. “Pihak yang paling berwenang menyatakan penyebab kematian seseorang adalah dokter forensik,” tegasnya.

Romli menyebut dalam perkara Jessica terdapat kerumitan dikarenakan bukti-bukti langsung atas peristiwa pidana tersebut tidak terungkap dengan jelas dan akurat. Yakni, keterangan saksi yang tidak relevan dan tidak berkesesuaian satu dengan yang lain, fakta penyidik tidak mengikuti prosedur tetap untuk melakukan otopsi sesuai dengan standar internasional dan instruksi Kapolri.

“Keterangan ahli forensik Australia yang berpengalaman memeriksa sebab kematian, menegaskan kewajiban mutlak otopsi telah diabaikan atau dkesampingkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili berkara tersebut,” ungkapnya. (Baca Juga : Hakim Perlu Perhatikan Integritas Ahli)    

Dia menilai Instruksi Kapolri tentang keharusan melakukan prosedur otopsi sekalipun bukan setingkat Undang-Undang (UU), tetap saja merupakan rule of procedure yang mesti ditaati dan dilaksanakan penuh oleh penyidik dengan bantuan ahli patologi forensik, tanpa terkecuali termasuk soal izin orang tua/keluarga korban. Bahkan, apabila ada pihak-pihak yang menghalangi proses otopsi dapat diancam pidana sesuai yang diatur Pasal 222 KUHP.

Begitupula seorang ahli di muka persidangan saat memberi keterangan berdasarkan keahliannya, seharusnya tidak menyimpulkan. Bahkan, memberikan kepastian atas keyakinannya bahwa terdakwa bersalah. “Ini suatu pernyataan yang tabu diucapkan seorang ahli baik di dalam maupun di luar persidangan,” kritiknya.  

Berikut ini bunyi Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/ IX/75 :
Butir 3
Dalam hal seorang yang menderita luka tadi akhirnya meninggaldunia, maka harus segera mengajukan surat susulan untuk memintaVisum et Repertum.Dengan Visum et Repertum atas mayat, berarti mayat harusdibedah. Sama sekali tidak dibenarkan mengajukan permintaan Visumet Repertum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja.
Butir 6
Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan Visum etRepertum bedah mayat, maka adalah kewajiban petugas POLRI cqPemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan perlu danpentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan, kalau perlubahkan ditegakkannya Pasal 222 KUHP.
Pasal 222 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Tags:

Berita Terkait