PP 72/2016 Hanya Atur Holding Company, Tidak Bahas Privatisasi
Berita

PP 72/2016 Hanya Atur Holding Company, Tidak Bahas Privatisasi

Ketentuan dalam PP 44/2005 masih tetap berlaku bersamaan dengan yang diubah dalam PP 72/2016. Secara keseluruhan pengaturan Penyertaan Modal Negara masih sejalan dengan ketentuan UU.

Oleh:
CR21
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Gedung Kementerian BUMN. Foto: RES
Peraturan Pemerintah (PP) No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tatacara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas, telah menjadi perdebatan karena dianggap menghilangkan kewenangan DPR soal privatisasi BUMN. Namun, hal itu ternyata masih sejalan dengan ketentuan perundang-undangan yang ada. Pendapat ini disampaikan oleh peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, wawancara kepada hukumonline, Kamis (19/1).

Aziz mengatakan bahwa PP 72/2016 harus dibaca lengkap bersama-sama dengan PP 44/2005 yang diubahnya. Menurutnya, PP 72/2016 hanya mengubah beberapa pasal, yaitu Pasal 1, Pasal 2, penjelasan Pasal 9, penjelasan Pasal 26, serta menyisipkan Pasal 2A. Artinya, pasal lainnya dalam PP 44/2005 masih berlaku. (Baca:Menteri BUMN Bantah Penerbitan PP 72/2016 Langkahi Kewenangan DPR).

Azis berpendapat yang menjadi perdebatan utama dari PP 72/2016 memang terletak pada ketentuan baru di Pasal 2Ayang mengizinkan saham milik negara pada BUMN dialihkan untuk Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahaan swasta tanpa melalui mekanisme APBN. Artinya, pemerintah tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR dalam pengalihan saham negara tersebut ke swasta. Padahal, pengalihan saham BUMN ke swasta diatur sebagai bentuk privatisasi yang oleh UU harus atas persetujuan DPR.

Jika mengacu pada UU BUMN, terhadap kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari APBN, untuk dijadikan Penyertaan Modal Negara pada BUMN memang tidak lagi dikelola menggunakan mekanisme APBN, namun berdasarkan prinsip korporasi. Hanya saja dengan ketentuan UU Keuangan Negara dibatasi bahwa jika mengenai privatisasi harus dengan persetujuan DPR. (Baca Juga: Ini Poin Penting PP Penyertaan Modal BUMN)

Dalam penjelasan PP 72/2016 menafsirkan saham milik negara sebagai kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari APBN untuk Penyertaan Modal Negara, sehingga pengalihan saham dimaksud untuk dijadikan penyertaan pada BUMN atau swasta tidak lagi melalui mekanisme APBN.

“Kemungkinan pengalihan saham BUMN ke non BUMN tanpa mekanisme APBN tanpa persetujuan DPR. Saya berkesimpulan harus dibaca lengkap PP 44/2005 karena PP 72/2016 ini hanya mengubah beberapa pasal dan menambah satu pasal baru, boleh dikatakan PP ini hanya berhubungan dalam rangka pembentukan holding BUMN, jadi tidak ada sebetulnya yang membahas soal pengalihan saham BUMN pada swasta,” jelas Aziz.

Aziz mengatakan jika melihat Pasal 18 PP 44/2005, ketentuan UU mengenai privatisasi tetap berlaku dalam setiap penjualan saham milik negara pada BUMN dan swasta. Sedangkan pengalihan aset BUMN untuk Penyertaan Modal Negara pada BUMN lain atau swasta, pendirian BUMN baru, dijadikan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, pemisahan anak perusahaan BUMN menjadi BUMN, atau restrukturisasi perusahaan tunduk pada perundang-undangan di bidang perseroan terbatas. (Baca Juga: Kini, Penyertaan Modal Negara dari BUMN ke BUMN Bisa Dilakukan Tanpa Melalui APBN)

“PP 72/2016 tidak mengatur konsep privatisasi, konteksnya adalah di pasal 3 (PP 44/2005) tadi, PP 44/2005 harus dibaca seutuhnya,” lanjutnya.

Di samping itu, Aziz juga mengatakan bahwa substansi PP 72/2016 ini secara tidak langsung memberikan penafsiran baru bagi definisi BUMN. Dalam beberapa tambahan di pasal 2A telah membuat anak perusahaan BUMN bisa disebut BUMN juga.

Kebijakan Presiden Joko Widodo merevisi menerbitkan PP 72/2016 ini memang mengundang kritik sejumlah pengamat. Pengamat ekonomi UGM, Tri Widodo, bahkan mengatakannya cacat hukum. Dalam kesempatan lain, Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, mengkhawatirkan potensi timbulnya masalah hukum dalam pelaksanaan PP tersebut

Zulfan Lindan, Anggota Komisi VI DPR, menyatakan keberatannya atas  ketentuan pengalihan aset ke perusahaan swasta tanpa persetujuan DPR. Menurutnya ketentuan itu potensial melanggar konstitusi. Menurutnya DPR akan segera mengundang Pemerintah untuk memberikan penjelasan atas PP ini.

Bahkan dari kalangan Asosiasi Pengusaha Indonesia ya g diwakili oleh Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia Danang Girindrawardana, pengusaha akan tetap berhati-hati jika memang PP ini akan dilanjutkan pemberlakuannya.

“Kita senang saja kalau bisa menjadi bagian  dari BUMN. Artinya kita bisa membeli aset BUMN, bisa menjadi bagian dari kontribusi pembangunan strategis negara. Cuma kita juga tidak mau melanggar hukum,” kata Danang.

Tags:

Berita Terkait