Dilema KPK Menjerat BUMN Sebagai Korporasi Pelaku Korupsi
Menjerat Korporasi Jahat:

Dilema KPK Menjerat BUMN Sebagai Korporasi Pelaku Korupsi

Jika BUMN dihukum membayar denda dan uang pengganti, sama saja negara membayar ke negara. Namun, apa dibenarkan tebang pilih perkara?

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Foto: RES
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Foto: RES
Berbicara mengenai pemidanaan korporasi dalam kasus korupsi, pertama-tama kita akan melihat apa definisi korporasi dalam UU No. 31 Tahun 1999 Sebagaimana Diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sesuai ketentuan Pasal 1 UU Tipikor, korporasi diartikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Selanjutnya, untuk memilah-milah korporasi mana yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Pidana oleh Korporasi sebagai pedoman penegak hukum.

Bila mengacu definisi korporasi dalam UU Tipikor dan PERMA No.13 Tahun 2016, korporasi yang dapat dijadikan sebagai subjek dalam tindak pidana korupsi bentuknya bisa berbagai macam. Antara lain, bisa berbentuk korporasi swasta murni atau korporasi plat merah, yakni Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

BUMN sendiri didefinisikan sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN bisa berbentuk Perusahaan Perseroan, Perusahaan Perseroan Terbuka, dan Perusahaan Umum. (Baca Juga: Kisah di Balik Terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi)

Namun, meski BUMN masuk dalam kategori korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam UU Tipikor, keberadaan “uang negara” dalam tubuh BUMN tersebut membuat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif merasa sedikit dilematis.

"This is state money. Itu kan uang negara. Jadi, kalau kita hukum korporasinya, terus diambil kerugian keuangan negaranya, kan sama saja. Sama-sama uang negara. Itu dilema teknis. Di luar negeri, kayak di Belanda, mereka lebih fokus pada korporasi murni, bukan korporasi milik negara," katanya beberapa waktu lalu.

Memang, jika melihat ketentuan Pasal 4 UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kapitalisasi cadangan, dan sumber lainnya.

Laode menjelaskan, penanganan kasus korupsi dengan pelaku BUMN lebih tricky ketimbang korporasi swasta. Misalnya saja, ketika ada BUMN yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat suatu kasus korupsi. Padahal, di sisi lain, BUMN juga merupakan bagian dari negara.

Menurutnya, apabila BUMN itu dihukum oleh majelis hakim membayar denda dan uang pengganti untuk menutupi kerugian keuangan negara, sama saja negara akan membayar kepada negara. “(Ibaratnya) Dari kantong kanan, masuk lagi ke kantong kiri. Jadi, sama saja, dari negara ke negara,” ujarnya.

Laode meyakini, dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan BUMN, bukan BUMN yang menikmati uang hasil korupsi, melainkan individu-individudi dalam BUMN. “Jadi, kalau misalnya korporasi, yang melakukan BUMN, pasti (uangnya) pergi ke orang-orangnya. Nah, orang-orangnya yang kita proses,” imbuhnya. (Baca Juga: UU Ini Kerap Dipakai Aparat dalam Menjerat Korporasi)

Pandangan Laode ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Bagaimana jika perbuatan individu atau pengurus BUMN tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasinya? Lalu, bagaimana jika yang menikmati hasil tindak pidana korupsi adalah BUMN tempat dia bernaung? Dan, bagaimana jika BUMN itu membiarkan perbuatan korupsi yang dilakukan pengurusnya?

Setidaknya, PERMA No.13 Tahun 2016 telah memberikan pedoman kepada para hakim untuk menilai kesalahan korporasi. Pedoman itu tertuang dalam Pasal 4 ayat (2). Di situ, dikatakan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi berdasarkan beberapa hal.
Pasal 4
(1) Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang korporasi.
(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:
a.Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi;
b.Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c.Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Mengenai dilema KPK menjerat BUMN sebagai pelaku korupsi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta justru berpendapat agar KPK tidak tebang pilih dalam menerapkan hukum. Ia mengatakan, penegakan hukum harus adil, seimbang, dan tidak boleh pilih-pilih.

“Justru menyasar BUMN itu untuk memastikan uang negara dikelola dengan benar dan hati-hati. Tidak perlu khawatir uang negara akan digunakan untuk bayar denda sepanjang bisa bedakan dengan tegas tindak pidana korporasi dan tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan/pengurusnya,” terangnya kepada Hukumonline.

Adapun cara membuktikan perbuatan korupsi yang dilakukan pengurus korporasi untuk dan atas nama kepentingan korporasi dan perbuatan pengurus korporasi sebagai personal, sambung Gandjar, harus ditegaskan dalam bentuk kebijakan tertulis korporasi. Bukan kebijakan lisan, apalagi sesaat dari pimpinan korporasi. (Baca Juga: Lika Liku Menarik Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Korupsi)

Senada, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradilla Caesar juga meminta agar KPK tidak tebang pilih dan tetap memegang teguh prinsip persamaan di muka hukum. Ia menganggap, kesalahan korporasi baik BUMN atau bukan tidak boleh dapat perlakuan istimewa dan harus tetap ditindak.

“Persoalannya, tinggal politik hukum KPK mau menjerat atau tidak, mengingat manfaat dan kerugian jika BUMN dijerat juga,” tuturnya. Lantas, manfaat apa didapat dari menjerat BUMN? Aradilla menjawab, “Ya, tentu penyidik nanti (KPK) dan pemerintah yang paling tahu manfaatnya seperti apa. Tapi, setidaknya menjadi pelajaran bagi BUMN lain.”

Contoh kasus
Sebenarnya, di KPK, ada beberapa kasus korupsi, dimana BUMN disebut sebagai pihak yang menerima keuntungan. Dua diantaranya, kasus korupsi proyek pengadaan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang dan proyek pembangunan Dermaga Sabang pada kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas Sabang.

Dalam kedua kasus ini, kerugian negara terbilang cukup besar. Bahkan, dalam kasus Hambalang, turut menyeret banyak pihak. Mulai dari mantan petinggi BUMN PT Adhi Karya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Direktur Utara perusahaan swasta, hingga mantan anggota DPR sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat.
NoPerkaraTerdakwaJabatanKerugian NegaraBUMN yang Disebut Diperkaya dalam Perkara
1 Hambalang Teuku Bagus Mokhammad Noor
Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya Rp464,514 miliar

Tahun Anggaran 2010-2011
·   PT Adhi Karya
·   PT Wijaya Karya

PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya membentuk KSO (Kerja Sama Operasi) Adhi-Wika selaku pelaksana jasa kontruksi P3SON Hambalang

KSO Adhi-Wika disebut diperkaya Rp145,28 miliar
Andi Alifian Mallarangeng Menteri Pemuda dan Olahraga
Deddy Kusdinar Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga
Anas Urbaningrum

(Dalam kasus suap dan TPPU)
Anggota DPR sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat ·    PT Yodya Karya

PT Yodya Karya selaku pelaksana jasa kontruksi perencana P3SON Hambalang

PT Yodya Karya disebut diperkaya Rp5,221 miliar
Machfud Suroso Direktur Utama PT Dutasari Citralaras
2 Dermaga Sabang Heru Sulaksono Kepala PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara dan Aceh Rp313,345 miliar

Tahun Anggaran 2004-2011
·    PT Nindya Karya

Dalam pengadaan, PT Nindya bekerja sama dengan PT Tuah Sejati dengan membentuk Nindya Sejati JO (joint operation)

Nindya Sejati JO (joint operation) disebut diperkaya Rp44,681 miliar

Ramadhany Ismy Pejabat Pembuat Komitmen pembangunan Dermaga Bongkar Sabang
Ruslan Abdul Gani Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Rp116,016 miliar

Tahun Anggaran 2010-2011
Diolah dari berbagai sumber
Tags:

Berita Terkait