Yusril: Pasal yang Dikenakan Polisi dalam Kasus Nurul Fahmi Tak Tepat
Berita

Yusril: Pasal yang Dikenakan Polisi dalam Kasus Nurul Fahmi Tak Tepat

Polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar Pasal 67 huruf c, sebelum mengambil langkah penegakan hukum

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Yusril Ihza Mahendra. Foto: SGP
Yusril Ihza Mahendra. Foto: SGP
Sejatinya penegak hukum mengedepankan tindakan persuasif terhadap tindak pidana yang tidak berkait dengan kekerasan. Tindak pidana terhadap bendera negara tak perlu dilakukan penangananya dengan represif. Termasuk penggunaan pasal-pasal UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara mesti dilakukan hati-hati penerapannya.

Sebab pelanggaran sebagaimana diatur dalam pasal-pasal UU 24/2009 dilakukan oleh masyarakat awam. Bahkan mungkin, pejabat negara, birokrat dan penegak hukum banyak pula yang belum paham tentang bendera negara, ukuran, bahan pembuatannya, tata acara penggunaanya serta larangan-larangannya.

Demikian disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (23/1). “Pelanggaran pasal-pasal larangan membuat tulisan, gambar dan coretan pada Bendera RI perlu persuasif,” ujarnya. (Baca Juga: MK Diminta Cabut Larangan Pembuat Lambang Negara)

Dalam UU 24/2009 mengatur ukuran bendera sang saka merah putih. Lebar bendera yakni 2/3 kurang panjangnya. Bahan bendera pun terbuat dari kain yang tidak mudah luntur. Begitu pula ukuran bagi keperluan tertentu sudah diatur dalam UU. Dengan begitu tak semua warna merah putih otomatis merupakan bendera negara

“Kain yang berwarna merah putih namun tidak memenuhi kriteria syarat-syarat untuk dapat disebut sebagai bendera RI, bukanlah bendera RI,” ujarnya.

Mantan Menteri Kehakiman itu mengatakan bahwa Pasal 24 telah mengatur larangan, yakni merusak, merobek, menginjak-injak, membakar bahkan melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina atau merendahkan kehormatan bendera negara. Ancaman hukuman pun hanya satu tahun plus denda maksimal Rp100 juta. (Baca Juga: Lambang Negara Tak Bisa Dipakai Sembarangan)

Ia menilai rumusan delik pidana UU 24/2009 mengatur terhadap pelaku yang merusak, merobek, menginjak, membakar dan lainnya mestilah adanya unsur kesengajaan dan niat jahat. “Jadi mereka yang tidak sengaja dan tidak mempunyai niat untuk menodai, menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara, tidaklah dapat dipidana karena perbuatannya itu,” ujarnya.

Dalam kasus Nurul Fahmi, polisi sempat melakukan penahan, meski akhirnya penangguhan penahanan dikabulkan. Walhasil, Fahmi pun dilepas menjadi tahanan luar. Pemicunya, karena diduga membawa bendera merah putih bertuliskan aksara Arab. Menurutnya, jeratan Pasal 66 terhadap Fahmi dinilai berlebihan. Fahmi dijerat dengan Pasal 66 jo Pasal 24 subsider Pasal 67 UU No.24/2009.

Menurutnya, polisi lebih tepat menjerat dengan Pasal 67 huruf c yang menulis huruf atau tanda lain pada bendera negara. Ia menilai polisi sengaja mengenakan Pasal 66 dan cenderung berat. Padahal, diduga tindakan tersebut tidak dilakukan Fahmi. (Baca Juga: Merah Putih Wajib Dikibarkan Di Setiap Rumah pada Hari Kemerdekaan)

“Pada hemat saya, polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada setiap orang yang diduga melanggar Pasal 67 huruf c, sebelum mengambil langkah penegakan hukum,” ujarnya

Wakil Ketua Komisi II Al Muzamil Yusuf mengatakan Kapolri mesti menegakan supremasi hukum tanpa pandang bulu. Sebab sebelum kasus yang menjerat Fahmi adanya bendera merah putih yang bertuliskan tertentu. Ironisnya, meski sudah dilepas, pada waktu penangkapan bak seorang teroris dan pengedar narkoba.

“Kami ingatkan Polri, DPR punya hal untuk melakukan pengawasan. Nurul Fahmi ditangkap malam-malam sepeti pengedar atau teroris saja. Tolong untuk Jokowi mohon untuk ikut memantau kinerja Kapolri,” pungkas politisi PKS itu.

Tangguhkan Penahanan
Penyidik Polres Metro Jakarta Selatan resmi mengabulkan penangguhan penahanan terhadap tersangka Nurul Fahri dalam kasus bendera mera putih bertuliskan aksara arab. Kepasian ditangguhkan penahanan disampaikan Kepala Bagian Mitra Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono.

Menurut Awi, penangguhan penahanan dengan jaminan dari Ustad Arifin Ilham dan istri tersangka. “Kita kedatangan Ustad Arifin Ilham dan istri tersangka untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan,” ujar Awi.

Dikatakan Awi, dikabulkannya permintaan penanguhan penahanan melalui pertimbangan subyektif. Polisi, kata Awi, berkeyakinan Fahmi tak akan melarikan diri. Bahkan menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindakan yang sama. Terlebih mendapat jaminan dari tokoh agama seperti Arifin Ilham.

Begitu pula denga istri Fahmi yang baru saja melahirkan 12 hari lalu. Dengan begitu sang anak dan istri masih membutuhkan perhatian dari Fahmi untuk mencari nafkah. Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Polisi Iwan Kurniawan menambahkan Fahmi bersikap kooperatif selama menjalani pemeriksaan.

Sebelumnya, anggota Masyarakat Cinta Damai Wardaniman melaporkan FPI berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/327/I/2017/PMJ/Dit Reskrimum tertanggal 19 Januari 2017.

Tags:

Berita Terkait