Pasal-Pasal Penjerat Pelaku Perpeloncoan di Lingkungan Pendidikan
Berita

Pasal-Pasal Penjerat Pelaku Perpeloncoan di Lingkungan Pendidikan

Terjadi bentakan, makian, hingga pemukulan punya peluang untuk dijerat dengan pasal-pasal terkait dengan perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, hingga penganiayaan dalam KUHP.

Oleh:
NNP/ANT
Bacaan 2 Menit
Pasal-Pasal Penjerat Pelaku Perpeloncoan di Lingkungan Pendidikan
Hukumonline
Kegiatan pengenalan kampus, -dulunya lazim disebut perpeloncoan atau ospek- mestinya menjadi kisah manis yang bisa dikenang seumur hidup. Teman, lingkungan, dan status yang baru pastinya disambut sukacita oleh para peserta kegiatan pengenalan kampus. Sayangnya, tidak semua kegiatan ini berjalan sesuai rencana. Bahkan, hingga berakhir tragis.

Dikutip dari rubrik Klinik Hukumonline, tindakan kekerasan yang terjadi dalam kegiatan di lingkungan institusi pendikan, terutama di universitas berpotensi terjadinya dugaan tindak pidana atau delik-delik yang diatur dalam KUHP. Misalnya, terjadi bentakan, makian, hingga pemukulan punya peluang untuk dijerat dengan pasal-pasal terkait dengan perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, hingga penganiayaan. (Baca Juga: Begini Isi Aturan Baru Tentang Ospek)

Mengenai tindakan bentakan, lazimnya terbagi menjadi tiga jenis bentakan antara lain perintah untuk melakukan sesuatu, perintah untuk tidak melakukan sesuatu, ataupun peringatan atas sesuatu. Dalam hal ketiga perintah tersebut disampaikan dengan cara yang tidak disenangi peserta, maka perintah tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak menyangkan. Delik ini diatur Pasal 335 KUHP Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang.
Pasal 335 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama atau tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;
Ke-1: barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain.
Ke-2: barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

(2) Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

Pada Pasal 335 KUHP ini, tedapat dua unsur yang merupakan kunci untuk pembuktian delik ini, yaitu unsur “memakai kekerasan” atau “ancaman kekerasan”. Apabila salah satu unsur tersebut terpenuhi maka dapat dikategorikan sebagai delik perbuatan tidak menyenangkan. Mahkamah Agung (MA) atas Pasal 335 KUHP berpendapat, bahwa kekerasan yang terjadi tidak harus merupakan paksaan fisik melainkan juga paksaan psikis. Jadi, apabila panitia kegiatan (plonco/ospek) melakukan paksaan dalam memberikan perintah yang tidak anda senangi maka hal itu dapat dikategorikan sebagai delik perbuatan tidak menyenangkan.

Kemudian mengenai makian, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Perbuatan penghinaan ini diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” (Baca Juga: Ketika Advokat Mengenang Masa Ospek)

Dalam Pasal 310 KUHP ini terdapat unsur yang harus diperhatikan yakni unsur “sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal” dan unsur “maksud untuk diketahui umum”. Jika unsur-unsur ini terpenuhi maka dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Delik penghinaan ini merupakan delik aduan. Jadi, tuntutan hanya bisa dilakukan apabila ada aduan yang disampaikan kepada polisi.

Selanjutnya, mengenai tindakan pemukulan sendiri merupakan delik penganiayaan. Delik ini diatur dalam Pasal 351 dan Pasal 352 KUHP. Namun, sebelumnya mesti terlebih dahulu diklasifikasikan delik pemukulan (penganiayaan) yang terjadi apakah merupakan penganiayaan berat atau ringan. Penganiayaan berat diatur dalam Pasal 351 KUHP dan penganiayaan ringan diatur Pasal 352 KUHP.
Pasal 351 KUHP
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352 KUHP
1. Selain daripada yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya.
2. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yang dirumuskan Pasal 352 KUHP disebut ‘penganiayaan ringan’, dan masuk kategori ‘kejahatan ringan’. Perbuatan penganiayaan yang masuk kategori Pasal 352 KUHP adalah perbuatan itu tidak menjadikan sakit serta perbuatan tersebut tidak membuat korban terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaannya sehari-hari. Contoh,penganiayaan ringan misalnya, A menempeleng B tiga kali, meskipun B merasa sakit namun tidak menghalanginya untuk bekerja sehari-hari. Penganiayaan ini merupakan delik biasa yang berarti perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban) atau laporan dari korban maupun saksi.

Namun, dalam hal tindakan tersebut menyebabkan kematian dimana kematian tersebut memang menjadi tujuan awal dari si pelaku, maka pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP. Masih menurut Soesilo, mati sebagaimana Pasal 351 KUHP hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si pelaku. Namun, apabila kematian itu dimaksud, maka perbuatan itu masuk pembunuhan sebagaimana Pasal 338 KUHP.

Sebagaimana diketahui, tiga mahasiswa UII meninggal dunia setelah mengikuti pendidikan dasar (diksar) di lereng selatan Gunung Lawu, Desa Gondosuli, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah pada 13-20 Januari 2017 lalu. Tiga mahasiswa tersebut yakni Muhammad Fadli (19) dari jurusan Teknik Elektro angkatan 2015, Syaits Asyam (19) dari Teknik Industri, dan Ilham Nurpadmy Listia Adi dari Fakultas Hukum angkatan 2015.

Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan pada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Intan Ahmad meminta agar kasus tersebut diinvestigasi. Setahunya, pihak kepolisian tengah melakukan penyelidikan atas kasus tersebut. selain itu, ia juga mendorong agar pihak kampus melakukan investigasi di internal mereka mengenai kasus ini. (Baca Juga: Ombudsman Minta Mendikbud Moratorium Ospek)

"Saya rasa semua harus dilakukan investigasi dengan sebaik-baiknya, pihak kampus sedang melakukan investigasi internal," ujar Intan di Jakarta, Selasa (24/1) kemarin.

Dikatakan Intan, masing-masing rektor pada perguruan tinggi sebetulnya telah diberikan kewenangan untuk membuat panduan mengenai kegiatan yang dilakukan di luar kampus. Tapi yang pasti, apapun  kegiatan yang dilakukan, tetap harus ada dosen yang melakukan pendampingan. Selain itu, bentuk kekerasanan apapun, baik fisik dan non fisik juga dilarang dilakukan dalam kegiatan tersebut.
“Sanksi melalui yayasan, tetapi jika ada yang melanggar hukum harus diproses,” tutup Intan.
Tags:

Berita Terkait