Menakar Efektivitas PERMA Kejahatan Korporasi
Fokus

Menakar Efektivitas PERMA Kejahatan Korporasi

Efektivitas penanganan kejahatan korporasi tergantung komitmen dan pemahaman bersama bagi aparat penegak hukum.

Oleh:
ASH/RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Kalangan akademisi menilai Peraturan Mahkama Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi diperkirakan masih menimbulkan persoalan dalam praktik. Sebaliknya, kalangan aparat penegak hukum, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini pengadilan ini dapat diterapkan secara efektif.

Mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) MA Penyusunan PERMA Kejahatan Korporasi  Prof Surya Jaya mengatakan meski sejumlah Undang-Undang (UU) sejak lama bisa menjerat korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Namun, selama ini aparat penegak hukum belum memiliki visi, pemahaman, dan pedoman yang sama dalam upaya menjerat korporasi jahat.

“Karena itu, terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan dapat mengatasi segala kendala dan kesulitan aparat penegak hukum dalam upaya menjerat korporasi selama ini,” kata Prof Surya Jaya di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu. (Baca Juga: PERMA No. 13 Tahun 2016 Momentum untuk Mulai Menjerat Korporasi)    

Dia mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini dapat diterapkan secara efektif dalam praktik. Sebab, pengaturan PERMA Kejahatan Korporasi ini sudah cukup baik guna melengkapi peraturan yang sudah ada dalam upaya menindak korporasi jahat. “Materi PERMA ini sudah pas, jadi saya pikir tidak kendala menerapkan aturan ini. Tinggal butuh komitmen dan pemahaman yang sama saja,” kata dia.   

Dia mengingatkan kehadiran PERMA Kejahatan Korporasi ini tidak melulu berorientasi pada penghukuman. Justru, terbitnya PERMA ini untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap korporasi yang baik. Tentu, kehadiran PERMA ini sekaligus mendukung terciptanya prinsip good corporate governance.

“Kalau merasa pengelolaan korporasi itu baik, tidak perlu takut dihukum. Ini hanya guidance (pedoman) agar pengelolaan korporasi menjadi lebih baik dan bisa memberi kontribusi bagi masyarakat dan negara. Jadi, sebenarnya PERMA ini sangat baik bagi korporasi dalam upaya pencegahan,” jelasnya.             

Meski begitu, bagaimanapun terhadap korporasi-korporasi “nakal” ini tetap harus dihukum sepanjang bisa dibuktikan actus reus dan mens rea pengurus korporasinya. Namun, mesti diingat bisa saja pengurus korporasi melakukan tindak pidana hanya menguntungkan kepentingan pribadinya, bukan menguntungkan korporasi, maka korporasi tidak bisa dipidana.  

“Meski ada teori identifikasi, perbuatan (niat) jahat pengurus otomatis menjadi tanggung jawab korporasi sepanjang ada keterkaitan dan kepentingan korporasi. Ini kan case by case, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan aparat penegak hukum untuk menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab.” (Baca Juga: Prinsip Penting dalam Penanganan Kejahatan Korporasi)

Hukumonline.com

Butuh Komitmen dan Pemahaman
Bagi Surya, terpenting dibutuhkan komitmen dan pemahaman bersama bagi aparat penegak hukum terkait efektivitas pelaksanaan PERMA ini. “PERMA ini perlu desiminasi atau sosialisasi agar ada pemahaman/persepsi yang sama antar aparat penegak hukum. Kalau pemahaman sudah sama, dipastikan tidak ada kendala dan komitmen aparat penegak hukum,” tegasnya.          

Hal senada disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Reda Manthovani. Dia menilai efektivitas pelaksanaan PERMA kejahatan Korporasi ini memang membutuhkan pemahaman dan komitmen yang sama diantara aparat penegak hukum. “Pemahaman ini dibutuhkan pelatihan dan kemauan (komitmen) juga dari penyidik dan penuntut umum. Jadi, kembali ke individu penegak hukumnya agar ada kemauan dan kesamaan pemahaman,” katanya.

“Kemampuan penyidik dan penuntut umum juga harus mumpuni.  Ke depan penyidik dan penuntut umum harus menempuh diklat umum dan khusus dalam penanganan perkara korporasi. Kalau tidak, korporasi bisa banyak yang bebas.” (Baca Juga: Kisah di Balik Terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi)

Secara substansi, materi PERMA Kejahatan Korporasi dinilai sudah cukup baik untuk menutupi celah yang belum diatur dalam KUHAP. Apalagi, Kejaksaan sendiri telah memiliki Peraturan Jaksa Agung (PERJA) No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.

“Saya optimis kemungkinan besar PERMA ini bisa dijalankan aparat penegak hukum. Karena saya melihat PERMA ini cukup detil dari hukum acara pidana (KUHAP),” kata Reda.

Dia berharap terbitnya PERMA ini bisa mengatasi keragu-raguan aparat penegak hukum selama ini dalam upaya menjerat kejahatan yang melibatkan korporasi. “Selama ini memang aparat ragu-ragu karena dulu tidak ada kejelasan bagaimana dakwaan bagi korporasi. Kalau saya pikir dengan PERMA ini tidak ada kendala lagi,” katanya optimis. (Baca Juga: Profesor Hukum Ini Tantang Keberanian Jaksa Menjerat Korporasi)

Sementara Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta Prof Mudzakir menilai PERMA Kejahatan Korporasi ini belum memberi batasan hubungan antara pengurus dengan badan hukum. Seharusnya, pengurus bertindak atas nama badan hukum, tetapi terkadang pengurus bertindak atas nama pribadi. Menurutnya ketika pengurus bertindak atas nama pribadi dan berujung pidana, maka dapat dikategorikan kejahatan atas nama pribadi, bukan korporasi.

“Menurut saya batasan-batasan itu tidak jelas dalam PERMA karena tidak memisahkan dia sebagai pengurus dan sebagai pribadi. Seharusnya, ada aturan yang menyatakan begini, ‘Pengurus yang mengatasnamakan korporasi disebut menyalahgunakan kewenangan ketika bertindak atas nama pribadi demi kepentingannya’,” saran dia.

Menurutnya, efektivitas PERMA tersebut dalam praktik bakal menemui kesulitan ketika tidak adanya batasan yang jelas antara pengurus bertindak atas pribadi dan pengurus bertindak atas nama korporasi. Dia khawatir bila tidak disempurnakan penerapan PERMA ini bakal membingungkan dalam praktik penegakkan hukum.
Tags:

Berita Terkait