Sedikit Catatan tentang Daya Ikat Fatwa
Polemik Fatwa:

Sedikit Catatan tentang Daya Ikat Fatwa

Fatwa hakikatnya adalah pendapat dari mufti atau ulama. Jika sudah diakomodasi dalam perundang-undangan nasional, daya ikatnya makin kuas dan meluas.

Oleh:
HAG/CR22/MYS
Bacaan 2 Menit
Fatwa DSN-MUI mempunyai daya ikat karena merupakan amanah Undang-Undang. Foto: HOL/SGP
Fatwa DSN-MUI mempunyai daya ikat karena merupakan amanah Undang-Undang. Foto: HOL/SGP
Pro kontra terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama berkaitan dengan kedudukannya dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, dan daya ikatnya terhadap masyarakat. Bagi yang pro, Fatwa MUI mengikat masyarakat Muslim dan bisa dijadikan rujukan dalam kehidupan masyarakat. Halal haram suatu makanan, penggunaan kosmetika, pewarna makanan, dan korupsi hanya segelintir materi fatwa yang dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari.

Fatwa adalah jawaban sahih dari para mufti terhadap persoalan-persoalan konkrit di masyarakat, baik yang ditanyakan maupun karena realitas sosial yang terjadi. (Baca juga: Bahasa Hukum: ‘Fatwa’ dan ‘Hukum Positif’).

Sebaliknya, mereka yang kontra lebih melihat pada patokan perundang-undangan nasional. Apa yang dimaksud peraturan perundang-undangan, jenis, dan hierarkinya sudah ditegaskan dalam UU No. 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini itulah yang lazim disebut hukum positif.  

Peraturan perundang-undangan, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011, adalah peraturan  tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, jika Fatwa MUI ingin dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan (regeling), maka harus dicek apakah memenuhi syarat (i) mengikat secara umum; (ii) dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang; atau (iii) prosedur pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Baca juga: Arti ‘Menimbang’ dan ‘Mengingat’ dalam Perundang-Undangan).

Fatwa MUI tak disebut secara eksplisit dalam UU No. 12 Tahun 2011. Yang disebut adalah UUD 1945, TAP MPR, UU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Jenis perundang-undangan lain diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Perundang-undangan lain dimaksud meliputi antara lain peraturan yang ditetapkan ‘badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah. (Baca juga: Kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Indonesia).

Pertanyaan akan timbul: apakah MUI lembaga Pemerintah? Apakah ada perintah Undang-Undang kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa atau memerintahkan dibuatnya fatwa oleh MUI? Kalaupun iya, apakah Fatwa MUI itu mengikat semua orang? Dan, ada banyak pertanyaan lain yang bisa diajukan, seperti yang menjadi pokok perdebatan di masyarakat sebulan terakhir.

Daya ikat
Hukumonlinemencoba menanyakan masalah ini kepada beberapa akademisi ilmu perundang-undangan. Lantaran Fatwa MUI dalam kontroversi, ada akademisi yang menghindar untuk menjawab. “Jangan sayalah,” kata seorang dosen yang mengajar di kampus ternama di Jakarta. Dosen lain di Sumatera berkilah sedang sibuk dan enggan menjawab pertanyaan seputar fatwa MUI dalam perundang-undangan.

Sony Maulana Sikumbang, dosen ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengatakan Fatwa MUI tak bisa dijadikan dasar penegakan hukum untuk semua. “Tidak bisa dong, karena kita negara hukum bukan negara hukum yang berasaskan agama,” ujarnya.

MUI bukanlah lembaga negara seperti halnya Mahkamah Agung yang bisa mengeluarkan fatwa. Lembaga negara berwenang mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan daya ikat atau kekuatan hukumnya sudah ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011. Hierarki sangat menentukan kekuatan hukum suatu jenis regeling.

Dosen FHUI, Yeni Salma Barlinti, pernah melakukan penelitian tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Dewan Syariah Nasional adalah salah satu bagian MUI yang khusus. Hasil kajian Yeni, Fatwa DSN-MUI adalah hukum positif yang mengikat jika sudah dilegitimasi ke dalam peraturan perundang-undangan. Legitimasi itu memang ada yang diperintahkan oleh Undang-Undang . (Baca juga: Butuh Dukungan Fatwa, OJK Gandeng DSN MUI).

Guru Besar Ilmu Hukum UII Yogyakarta Moh. Mahfud MD menyebutkan positivisasi Fatwa MUI dapat dibenarkan sepanjang sudah diakui oleh negara. Fatwa yang sudah diberlakukan oleh negara melalui perundang-undangan bersifat mengikat. “Ada fatwa yang mengikat seperti di Dewan Syariah Nasional (MUI) karena telah diberlakukan oleh negara,” kata Mahfud.

Kalau ditelusuri ke dalam hukum positif, faktanya memang ada beberapa Undang-Undang yang memerintahkan penerbitan produk hukum –umumnya fatwa—oleh MUI. Sekadar contoh, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang ini menyebutkan ‘penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b  dikeluarkan MUI dalam bentuk keputusan penetapan halal produk’. Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. Dalam konteks ini, relevan untuk melihat fatwa MUI No. 47 Tahun 2012 tentang Penggunaan Bulu, Rambut dan Tanduk dari Hewan Halal yang Tidak Disembelih Secara Syar’i untuk Bahan Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika.

Contoh lain positivisasi fatwa MUI ke dalam perundang-undangan adalah penyebutan eksplisit frasa ‘difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia’ dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, atau frasa ‘lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah’ dalam UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.

Selain yang dipositivisasi lewat peraturan perundang-undangan, fatwa perlu didudukkan posisinya sebagai pendapat hukum, bukan hukum positif dalam konteks tata urutan perundang-undangan. Fatwa adalah pituah ulama sebagai jawaban atas suatu persoalan. Misalnya, ketika Pemerintah dan masyarakat gencar melawan narkotika, MUI hadir dengan Fatwa tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar, Pengedar, dan Penyalah Guna Narkotika.

Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin, berpendapat fatwa MUI yang telah diakomodasi berdasarkan perintah Undang-Undang otomatis mengikat masyarakat Indonesia. Akomodasi fatwa MUI ke dalam perundang-undangan memperluas dan memperkuat daya ikat fatwa MUI. “Fatwa MUI yang seperti itu otomatis mengikat semua masyarakat di Indonesia,” paparnya dalam makalah diskusi kelompok terbatas yang diselenggarakan di PTIK, 17 Januari lalu.

Ma’ruf Amin menambahkan fatwa MUI mempunyai kekuatan mengikat secara hukum Islam (lzam syar’i). Namun dalam konteks berbangsa dan bernegara, Fatwa MUI mempunyai kekuatan mengikat apabila merupakan mandat dari UndangUndang, atau setelah terserap dan terakomodasi dalam perundang-undangan. “Selama ini proses penyerapan nilai agama, terutama yang beradal dari fatwa MUI, ke dalam peraturan perundang-undangan telah terjadi dengan baik,” sambungnya.

Jadi, jika merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011, fatwa MUI tak termasuk dalam peraturan perundang-undangan sehingga tak punya daya mengikat terhadap seluruh warga negara. Lain halnya jika sudah dipositivisasi ke dalam suatu perundang-undangan, maka ia menjadi mengikat. Tetapi dalam praktiknya, Fatwa MUI dibutuhkan masyarakat Islam sebagai tuntunan atau jawaban (solusi) atas suatu permasalahan.
Tags:

Berita Terkait