Irman Gusman Dituntut 7 Tahun dan Pencabutan Hak Politik
Berita

Irman Gusman Dituntut 7 Tahun dan Pencabutan Hak Politik

Tim penasihat hukum Irman akan mengajukan nota pembelaan pada 8 Februari 2017.

Oleh:
ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto : RES
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto : RES
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dituntut tujuh tahun penjara ditambah hukuman denda sebesar Rp200 juta subsider lima bulan kurungan. Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pertama yakni Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

“Menuntut agar majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang mengadili perkara ini memutuskan terdakwa Irman Gusman terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama tujuh tahun ditambah denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan,” kata Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Arif Suhermanto di sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (1/2).

Selain itu, Irman dihukum pidana tambahan berupa pencabutan hak politik karena dinilai terbukti menerima Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya. “Menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa Irman Gusman berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah terdakwa Irman Gusman selesai menjalani pidana pokoknya,” tambah Arif. (Baca Juga : Terekam Janji Irman Gusman Telpon Kajati Sumbar untuk Pihak Berperkara)

Jaksa KPK beralasan tujuan pencabutan hak politik itu untuk melindungi publik dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari calon pemimpin yakni kemungkinan publik salah pilih kembali. “Sehubungan dengan kedudukan terdakwa Irman Gusman pada saat melakukan tindak pidana korupsi adalah anggota/ketua DPD yang dipiih langsung oleh rakyat di daerah pemilihan Sumatera Barat tentu masyarakat memiliki harapan besar agar terdakwa berperan aktif dalam upaya pembebasan Indonesia dari korupsi,” tambah Arif.

Bagi Jaksa, kedudukan Irman sebagai Ketua DPD adalah jabatan strategis dalam sistem politik Indonesia, maka perbuatan terdakwa bukan saja menciderai tatanan demokrasi yang sedang dibangun, tetapi juga semakin memperbesar public distrust (ketidakpercayaan publik) kepada lembaga negara yang terhormat.

Hal yang memberatkan, terdakwa menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai anggota DPD dan ketua DPD untuk melakukan kejahatan, terdakwa menyalahgunakan kewajiban yang diberikan kepadanya untuk melakukan kejahatan, motif kejahatan adalah untuk memperoleh kekayaan untuk diri sendiri, keluarga dan orang lain dengan memanfaatkan jabatannya, terdakwa tidak mengakui perbuatan.

Perbuatan penerimaan suap Rp100 juta itu diawali saat pemilik CV Semesta Berjaya, seorang pengusaha dari Sumatera Barat yang merupakan rekan Irman yakni Memi bertemu dengan Irman pada 21 Juli 2016 di rumah Irman. Memi menyampaikan telah mengajukan permohonan pembelian gula impor ke Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Sumbar sebanyak 3.000 ton untuk mendapatkan pasokan gula.

Namun, permohonan pembelian itu lama tidak direspon Perum Bulog sehingga Memi meminta Irman untuk mengupayakan permohonan CV Semesta Berjaya itu. Irman bersedia membantu dengan meminta fee Rp300 per kg atas gula impor Perum Bulog yang akan diperoleh CV Semesta Berjaya dan disepakati oleh Memi. Selanjutnya Memi melaporkan ke suaminya, Xaveriandy Sutanto.

Irman kemudian menghubungi Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti agar menyuplai gula impor ke Sumbar melalui Divisi Regional (Divre) Sumatera Barat (Sumbar). Sebab, selama ini disuplai melalui Jakarta yang mengakibatkan harga menjadi mahal.

Irman pun merekomendasikan Memi sebagai teman lamanya yang memiliki CV Semesta Berjaya sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk menyalurkan gula impor tersebut. Pada 22 Juli 2016 lalu, Djarot menghubungi Kepala Perum Bulog Divre Sumbar Benhur Ngkaimi dan menyampaikan titipan pesan dari Irman agar Memi diberikan alokasi gula impor. Atas arahan tersebut Benhur Ngkaimi menyatakan siap. CV Semesta Berjaya akhirnya mendapat distribusi gula impor Perum Bulog bertahap mulai 12 Agustus 2016 sampai 10 September 2016 sebesar 1.000 ton gula dan disalurkan Xaveriandy dan Memi ke beberapa lokasi di luar peruntukannya selain di Padang yakni ke Medan dan Pekanbaru.

Lalu, Memi bersama Xaveriandy pada 16 September 2016 mengantarkan uang Rp100 juta sebagai uang terima kasih ke rumah Irman di Jalan Denpasar C3 No. 8 Kuningan Jakarta. Tak lama setelah itu, ketiga orang itu diamankan petugas KPK. “Terdakwa Irman berusaha mengaburkan penerimaan uang suap tersebut dengan cara 4-5 hari setelah penangkapan, penasihat hukumnya melaporkan penerimaan itu ke KPK seolah-olah sebagai gratifikasi. Hal ini tidak benar karena sejak awal terdakwa Irman sudah meminta commitment fee sebesar Rp300 per kilogram. Justru, menurut Irman sendiri yang sering menerima oleh-oleh dari teman-temannya yang pulang dari luar negeri, Irman tidak pernah melaporkan gratifikasi tersebut ke KPK,” lanjut Jaksa Ahmad Burhanuddin.

Meski kewajiban Irman menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi baik dalam hal perancangan UU, tapi Irman sudah menerima uang dari masyarakat yang menyampaikan aspirasinya itu. “Terdakwa telah menerima uang sebesar Rp100 juta dari Xaveriandy Sutanto dan Memi karena telah mempengaruhi Dirut Perum Bulog guna mengupayakan CV Semesta Berjaya milik Xaveriandy dan Memi untuk mendapat alokasi pembelian gula impor dari Bulog yang secara nyata bertentangan dengan kewajiban terdakwa sebagai anggota dan atau Ketua DPD,” lanjut Jaksa Lie Setiawan.

Terkait perkara ini, Xaveriandy Sutanto sendiri sudah divonis 3 tahun penjara, sedangkan istrinya Memi 2,5 tahun penjara, masing-masing ditambah denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya sedang menjalani hukuman di rutan Padang. (Baca Juga : Penyuap Irman Gusman Divonis Bersalah, Permohonan Justice Collaborator pun Ditolak)

Terlalu tinggi
Pengacara Irman Gusman, Maqdir Ismail, menilai tuntutan kepada kliennya yaitu pidana penjara selama tujuh tahun dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun, terlalu tinggi. “Saya kira tuntutan ini terlalu tinggi. Pertama, tuntutan ini tidak sesuai dengan fakta persidangan dan menurut hemat kami, ini tuntutan yang berlebihan,” kata Maqdir di Pengadilan Tipikor Jakarta.

“Mengenai pencabutan hak politik. Saya kira ada kekeliruan dari Jaksa mengartikan hak yang bisa dicabut. Hak yang bisa dicabut menurut UU adalah hak yang diberikan pemerintah, bukan hak berhubungan dengan kejahatan atau hasil perbuatan pidana itu. Sementara hak politik didapatkan seseorang sebagai hak asasi yang diberikan UUD 1945,” kata Maqdir protes. (Baca Juga : Pengacara Ungkap 13 Kekeliruan Prosedur Penanganan Perkara Irman Gusman)

Maqdir dan tim penasihat hukum akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 8 Februari 2017. “Banyak hal yang akan kami sampaikan dalam pembelaan. Kami coba buktikan seolah-olah ada transaksi, seolah-olah ada komunikasi soal uang Rp100 juta itu. Secara faktual di persidangan hanya pembicaraan antara Memi dan Pak xaveriandy, bahkan Pak Irman sendiri tidak pernah tahu mengenai itu, bagaimana ini bisa disebut suap? Sebab suap itu harus ada pembicaraan antara pemberi dan penerima,” kata Maqdir.

Maqdir juga membantah bahwa kleinnya meminta fee Rp300 per kilogram gula yang bisa disalurkan oleh Perum Bulog kepada CV Semesta Berjaya. “Saya kira tidak ada buktinya mengenai pembicaraan commitment fee, yang ada ‘whatsapp’ sepihak ditulis oleh Memi kepada Pak Irman. Bagaimana Memi memanfaatkan foto antara Memi dalam pertemuan dengan Pak Irman seolah-olah apa yang dikehendaki Memi adalah persetujuan dari Pak Irman. Ini yang memanfaatkan jabatan Pak Irman itu adalah Memi, bukan Pak Irman.”
Tags:

Berita Terkait