Baca Pelan-Pelan! 8 Rekomendasi DPR kepada Dewas BPJS Ketenagakerjaan
Utama

Baca Pelan-Pelan! 8 Rekomendasi DPR kepada Dewas BPJS Ketenagakerjaan

Sebagian rekomendasi Dewan dikritik karena tidak tepat sasaran.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: HOL/SGP
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: HOL/SGP
Komisi IX DPR telah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi IX, Saleh Partaonan Daulay, itu menghasilkan 8 rekomendasi. Apa saja? Baca pelan-pelan yuk.

Pertama, Dewas pengawas BPJS Ketenagakerjaan diminta lebih intensif dalam mengawasi kinerja direksi. Kedua, memberikan data riil jumlah kepesertaan sektor informal dan formal.

Ketiga, memberikan data pengelolaan investasi dana BPJS Ketenagakerjaan secara reguler kepada Komisi IX DPR sebagai mitra kerja BPJS Ketenagakerjaan. Keempat, meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait perluasan kepesertaan yang dilakukan direksi BPJS. (Baca juga: Dewan Pengawas BPJS Beda dari Komisaris).

Kelima, melengkapi data terkait kepesertaan, aset dan investasi kepada Komisi IX DPR sebelum RDP dengan direksi yang dilaksanakan 25 Januari 2017. Keenam, Dewas diminta mendorong direksi untuk menyelesaikan masalah yang ada pada sistem informasi dan teknologi BPJS Ketenagakerjaan.

“Komisi IX DPR meminta Dewas bersama direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk mengalokasikan dana operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk memperluas kepesertaan sebanyak 5 juta pekerja tidak mampu,” begitu bunyi poin ketujuh dalam rekomendasi tertanggal 23 Januari 2017 itu.

Terakhir, kedelapan, Dewas diminta memberikan stimulus program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) terhadap seluruh pekerja honorer di lingkungan sekretariat jenderal DPR, DPD dan MPR selama 3 bulan. (Baca juga: DPR Pilih Lima Anggota Dewas BPJS Ketenagakerjaan).

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengkritik rekomendasi yang disampaikan Komisi IX DPR itu. Menurutnya, RDP itu tidak mengungkap dan menyoroti kinerja beberapa anggota Dewas yang diduga melanggar pasal 22 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan pasal 2 PP No. 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota Dewas dan Direksi BPJS.

Mengenai rekomendasi terkait penyelesaian masalah sistem informatika dan teknologi di BPJS Ketenagakerjaan (SIJSTK), Timboel mengatakan lembaganya pernah mengungkap masalah tersebut sejak 2015. Di antaranya kewajiban BPJS Ketenagakerjaan membayar lisensi kepada Oracle sebesar Rp150 milyar. Menurutnya, masalah ini membuat BPJS Ketenagakerjaan tidak efisien. Dia mengusulkan BPK melakukan audit terhadap masalah tersebut. “Jika terjadi inefisiensi sehingga merugikan BPJS Ketenagakerjaan, BPK harus melaporkannya kepada pihak berwajib untuk proses hukum,” kata Timboel di Jakarta, Jumat (03/2). (Baca juga: DJSN Ingin Revisi UU SJSN dan UU BPJS).

Soal rekomendasi terkait pengalokasian dana operasional BPJS Ketenagakerjaan untuk memperluas kepesertaan sebanyak 5 juta pekerja tidak mampu, Timboel mengatakan permintaan itu tidak tepat. Komisi IX DPR harusnya mendorong pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan APBN/APBD untuk menggulirkan program tersebut dengan skema penerima bantuan iuran (PBI) seperti yang ada dalam program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.

Timboel mencurigai rekomendasi pada poin ketujuh itu akan digunakan Komisi IX DPR untuk membagikannya ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing. “Saya mendesak Dewas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan menolak rekomendasi ini,” ujarnya.

Komisi IX mestinya mengkritik UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Menurut Timboel regulasi itu memuat ketentuan yang memberikan program JKK dan JKM bagi nelayan, namun penyelenggara program itu bukan BPJS Ketenagakerjaan melainkan perusahaan asuransi.

Terakhir, Timboel mengkritik rekomendasi tentang stimulus program JKK dan JKM bagi seluruh pekerja honorer di lingkungan sekretariat DPR, DPD dan MPR RI selama 3 bulan. Menurutnya, kewajiban itu ada di sekretariat jenderal yang bertindak sebagai pihak yang mempekerjakan para pekerja honorer tersebut. Layaknya, sekretariat jenderal DPR, DPD dan MPR mendaftarkan seluruh pekerja honorer dalam program yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

“Mengacu Perpres No. 109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial, harusnya pekerja honorer itu diikutkan ke BPJS Ketenagakerjaan oleh Sekretariat Jenderal DPD, DPR dan MPR,” pungkas Timboel.
Tags:

Berita Terkait