Sejumlah Aturan Perundang-Undangan yang 'Ditabrak' PP 72/2016
Berita

Sejumlah Aturan Perundang-Undangan yang 'Ditabrak' PP 72/2016

PP 72/2016 merupakan privatisasi model baru.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK Mahfud MD. Foto: RES
Mantan Ketua MK Mahfud MD. Foto: RES
Semangat privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tercermin jelas dalam PP No.72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan Modal dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas. Yang paling mendapat kritik dari PP 72/2016 ini adalah ‘hilangnya’ kewenangan DPR dalam Penyertaan Modal Negara (PMN) yang disuntikkan kepada BUMN melalui mekanisme saham.

PMN untuk BUMN dengan mekanisme ini dilakukan tanpa proses Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kekhawatirannya adalah jika PMN dalam bentuk saham ini diberikan kepada pihak swasta.

Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK), Mahfud MD, menilai ada dua hal yang dilanggar oleh PP 72/2016. Pertama, dari sisi prosedur. Pada dasarnya, PMN diatur dalam UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, yakni Pasal 4 ayat (2) yang menyebutkan bahwa APBN merupakan sumber dari PMN. Atas Pasal ini pula, Mahfud menegaskan bahwa jika PMN diatur dalam UU, maka PP tidak bisa melakukan perubahan atas UU BUMN. (Baca Juga: 7 Poin Catatan FITRA Terhadap PP Penyertaan Modal BUMN)

“Kalau yang mengatur UU hanya bisa diubah dengan UU lain, tidak bisa dengan PP. Ada banyak UU yang mengatur soal BUMN, ada UU BUMN, UU APBN, UU Keuangan Negara, UU PT, dan itu terkait. Jadi kalau satu UU hanya boleh diubah dengan UU,” kata Mahfud dalam Diskusi Publik KAHMI yang bertajuk “Selamatkan Keuangan Negara, Jangan Privatisasi BUMN Kita”, di Jakarta, Senin (6/2).

Kedua, dari sisi materi atau isi PP 72/2016. Mahfud berpendapat ada kekeliruan dalam perumusan materi PP 72/2017, sehingga bertentangan dengan tujuan Negara yang tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun demikian, ia tak menampik bahwa holding BUMN diperlukan untuk beberapa hal. Tetapi, prosesnya haruslah dilakukan dengan prosedur yang benar dan substansi sesuai dengan cita-cita UUD 1945.

“Holding bisa saja yang penting prosedur benar dan substansi dikaitkan juga dengan UUD yaitu tentang tujuan Negara, Pasal 33. Harus diibuat UU baru, isi PP itu harus dalam bentuk UU, UU baru sehingga merubah beberapa isi UU disitu,” tambahnya. (Baca Juga: PP 72/2016 Hanya Atur Holding Company, Tidak Bahas Privatisasi)

Tidak hanya melanggar UUD 1945 dan UU BUMN terutama Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 66 ayat (1), Tim Hukum KAHMI Bisman Bakhtiar menilai bahwa PP 72/2016 juga bertentangan dengan UU Keuangan Negara.

Bunyi Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 adalah “Penyertaan modal Negara yang berasal dari kekayaan Negara berupa saham milik Negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN.” Sementara dalam Pasal 24 ayat (2) UU Keuangan Negara, disebutkan bahwa “Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana diatur dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD”.

Selanjutnya, Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 juga bertentangan dengan UU MD3. Pasal 69 dan Pasal 70 UU MD3, Pasal 69 menyebutkan bahwa “fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU APBN yang diajukan Presiden”. Sedangkan Pasal 70 ayat (3) berbunyi bahwa “fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN”. (Baca:Menteri BUMN Bantah Penerbitan PP 72/2016 Langkahi Kewenangan DPR)

Bahkan, Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 bertentangan dengan Keterangan Pemerintah dalam Putusan dua Putusan Mahkamah Konstitusi No 48/PUU-IX/2013 dan No 62/PUU-IX/2013 Tahun 2014. Adapun keterangan pemerintah dalam putusan MK tersebut pada dasarnya menjelaskan bahwa pada saat pemerintah melakukan investasi berupa PMN kepada perusahaan Negara, keputusan investasi tersebut harus melalui persetujuan DPR RI yang merupakan representasi dari rakyat dan alokasinya tercantum dalam UU APBN serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, begitu pula dengan divestasi yang akan dilakukan oleh pemerintah.

Selain itu, Pasal 2A ayat (1) dan ayat (2) juga bertentangan dengan UU Pembentukan PUU. Pasal 2 ayat (2) berbunyi “Sumber penyertaan Modal Negara yang berasal dari APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi kekayaan Negara berupa; a. dana segar; b. barang milik Negara; c. piutang Negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; d. saham milik Negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas; dan/atau; aset Negara lainnya.” Pasal ini kemudian menghilangkan proyek-proyek APBN yang dikelola oleh BUMN dan/atau piutang Negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal Negara. Hal ini tertera dalam Penjelasan huruf a Pasal 4 ayat (2) UU BUMN.

“Terdapat pertentangan antar pasal atau ketentuan dalam PP 72/2016. Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa saham milik begara pada BUMN atau Perseroan Terbatas merupakan bagian dari APBN, akan tetapi dalam Pasal 2A ayat (1) diatur tanpa melalui mekanisme APBN. Bagaimana mungkin sesuatu yang merupakan bagian atau rincian dari APBN tetapi tidak melalui mekanisme APBN?,” tegasnya.

Atas dasar itu pula, Bisman berpendapat bahwa PP 72/2016 merupakan bentuk privatisasi model baru.  Sehingga pihaknya, KAHMI sepakat akan segera mengajukan uji materi terhadap PP 72/2016 tersebut. Saat ini, pihaknya tengah menyusun draft uji materi. Diharapkan permohonan uji materi dapat didaftarkan pada pekan depan. 

Tags:

Berita Terkait