Ingat Lho! Saksi Perkara Pidana Juga Berhak Dapat Perlindungan
Berita

Ingat Lho! Saksi Perkara Pidana Juga Berhak Dapat Perlindungan

Para penegak hukum di persidangan harus menghormati hak-hak saksi. Majelis hakim paling menentukan.

Oleh:
CR21
Bacaan 2 Menit
Masalah saksi muncul dalam persidangan Ahok. Foto sidang Ahok. Foto: POOL/RES
Masalah saksi muncul dalam persidangan Ahok. Foto sidang Ahok. Foto: POOL/RES
Memenuhi panggilan sebagai saksi dalam pengusutan perkara pidana adalah kewajiban hukum yang tidak dapat dielakkan sebagai warga negara Republik Indonesia. Menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 224 ayat (1) KUHP memuat ancaman pidana maksimal 9 bulan bagi siapa saja yang menolak dipanggil sebagai saksi. Tentu saja ancaman ini tak berlaku bagi mereka yang karena posisinya dibenarkan menolak menjadi saksi.

Namun memenuhi panggilan sebagai saksi bukannya tanpa resiko. Saksi yang dihadirkan penuntut umum akan dicecar oleh penasihat hukum terdakwa dan majelis hakim. Demikian pula saksi dari terdakwa akan dicecar penuntut umum dan majelis hakim. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saksi demi menggali kebenaran materiil tentang apa yang saksi dengar, lihat, alami, atau ketahui mengenai suatu peristiwa pidana. (Baca juga: Keabsahan Surat Panggilan dari Kejaksaan untuk Saksi).

Resiko yang dihadapi bukan hanya ancaman sanksi pidana tadi. Hadir di persidangan tak lantas ancamannya berkurang. Bagi yang jarang ke pengadilan bisa jadi akan grogi atau ketakutan menjawab pertanyaan pengacara. Bukan mustahil pula saksi terjebak sendiri saat menjawab pertanyaan pengacara atau jaksa bertubi-tubi. (Baca juga: Jaksa Minta Pengacara Tak Mengancam Saksi).

Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah menjadi ancaman lain yang bisa menimpa saksi. Sekadar memberi contoh, saksi-saksi yang dihadirkan penuntut umum dalam sidang Ahok di PN Jakarta Utara yang bersidang di auditorium Kementerian Pertanian juga dilaporkan ke polisi dengan tuduhan memberi keterangan palsu.

Menurut hukum Indonesia, saksi itu seharusnya juga mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum. Ketika saksi dari penuntut umum jadi ‘bulan-bulanan’ penasihat hukum terdakwa, maka penuntut umum dan hakim harus berupaya menjaga keseimbangan. Jika pertanyaan sudah melenceng dari substansi perkara, penuntut umum bisa protes. Demikian pula sebaliknya, jika saksi berasal dari pengacara terdakwa.

KUHAP, atau UU No. 8 Tahun 1981, mengatur perlindungan kepada saksi dalam beberapa pasal. Ini sebagian di antaranya.
1.Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
2.Diperiksa di tempat kediamannya jika memang saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);
3.Dilindungi dari tekanan oleh siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP);
4.Menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);
5.Tidak diajukan pertanyaan yang menjerat dirinya (Pasal 166 KUHAP);
6.Dibantu juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP);
7.Dibantu penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat 1 KUHAP).

Ketentuan ini juga diperkuat dalam Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014. Untuk kasus pidana tertentu yang dianggap perlu oleh LPSK, para saksi berhak dirahasiakan identitasnya, mendapat identitas baru, mendapat tempat kediaman sementara, bahkan mendapatkan tempat kediaman baru.

Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, menegaskan sudah seharusnya saksi mendapatkan jaminan dalam menunaikan kewajibannya memenuhi panggilan penyidik hingga ke pengadilan. Ketika sudah memasuki tahapan persidangan, saksi berhak untuk dijamin dari berbagai intimidasi di dalam maupun di luar persidangan. (Baca juga: 5 Jenis Kasus Terbanyak yang Masuk LPSK).

Mengenai saksi yang dilaporkan pengacara ke polisi atas dugaan keterangan palsu di bawah sumpah, Semendawai berpendapat seharusnya kasus dimana saksi memberikan keterangan harus diputus lebih dulu. “Bagaimana caranya dia (pengacara) menyatakan bahwa saksi memberikan keterangan palsu, tentunya Majelis Hakim yang memeriksa secara keseluruhan, dan mengambil kesimpulan atas keterangan yang disampaikan saksi, menurut saya harusnya dinyatakan dulu mana yang betul dari keterangan itu oleh Majelis Hakim, barulah bisa diputuskan saksi memberikan keterangan palsu atau tidak,” katanya.

Menurutnya keterangan palsu juga memiliki syarat. Jika fakta itu dibuat-buat, tidak ada dalam kenyataannya, baru dapat disebut keterangan palsu. Jika ini adalah penilaian saksi dari apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan dialami langsung atas dugaan terjadinya tindak pidana, maka tidak dapat dikatakan sebagai keterangan palsu. “Palsu itu sesuatu yang tidak ada, diada-adakan,” tegas Semendawai. (Baca juga: Keterangan Palsu dalam Persidangan Dikecam oleh Hukum).

Saksi dapat dilindungi dari tekanan termasuk dalam tekanan hukum. Mengutip Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban, seorang saksi tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. (Baca juga: Sopir-Sopir Sang ‘Saksi Kunci’ Kasus Korupsi).

Membuktikan iktikad baik inilah yang menurut Semendawai harus menunggu penilaian Majelis Hakim dalam putusan atas perkara pidananya. “Siapapun harus menghormati, menunjung tinggi hak-hak saksi, hak-hak pelapor,” tambahnya.

Semendawai juga mengatakan hak-hak saksi untuk dilindungi dari pertanyaan yang menjerat sudah seharusnya dijamin majelis hakim. Majelis menjadi wasit yang menengahi upaya berlebihan dari pihak berperkara dalam ‘menjatuhkan’ kesaksian para saksi. Saksi yang mengalami masalah kesehatan, kelelahan, atau merasa ditekan dengan pertanyaan yang menjerat, berhak meminta kepada majelis hakim untuk tidak melanjutkan pemeriksaan. Bahkan hakim harus bersikap aktif dalam menjamin hak saksi di persidangan.

Sependapat dengan Ketua LPSK, Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa juga menegaskan yang paling berperan dalam menjamin hak saksi adalah aparat penegak hukum. Dalam persidangan, maka jaksa, advokat, dan hakim, sama-sama bertanggung jawab untuk tidak membuat saksi yang telah beriktikad baik menyatakan kebenaran yang diketahuinya justru dipidanakan.

“Yang nomor satu menurut saya kewajibannya ada di penegak hukumnya, di jaksa, advokat, dan hakim, untuk menjelaskan hak-hak saksi, yang kedua, baru saksi itu sendiri yang harus juga menanyakan apa saja haknya,” katanya.
Tags:

Berita Terkait