VDR dan Buku Harian Kapal Laut, ‘Kotak Hitam’ Saat Kecelakaan
Problem Hukum Transportasi Laut

VDR dan Buku Harian Kapal Laut, ‘Kotak Hitam’ Saat Kecelakaan

Penggunaan Voyage Data Recorder (VDR) dan Buku Harian Kapal saling melengkapi satu sama lain. Hampir setiap pemeriksaan lanjutan di Mahkamah Pelayaran, kedua hal ini diminta untuk disampaikan.

Oleh:
NNP/CR22
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kecelakaan transportasi laut. HGW
Ilustrasi kecelakaan transportasi laut. HGW
Kotak hitam (black box) menjadi benda yang paling dicari ketika terjadi kecelakaan pesawat terbang. Tentunya, upaya itu baru dilakukan setelah terlebih dulu mengusahakan pencarian penumpang selamat maupun korban akibat kecekalaan. Keberadaan kotak hitam menjadi sangat ‘sentral’ terutama saat banyak pihak mulai bertanya-tanya mengenai penyebab dalam setiap kecelakaan.

Fungsi utama dari Flight Data Recorder (FDR) adalah merekam pembicaraan antara pilot dan pemandu lalu lintas udara (air traffic control/ATC) serta dapat juga digunakan untuk mengetahui tekanan udara dan kondisi cuara selama penerbangan. Begitu pula pada kapal laut, ‘kotak hitam’ juga disematkan pada salah satu bagian di atas kapal laut punya fungsi serupa setidaknya mengenai kondisi yang terjadi beberapa jam terakhir sebelum terjadinya insiden. (Baca Juga: Mengenal Pengadilan Profesi Para Pelaut)

“Pada setiap kapal itu tidak selalu sama posisinya. Tapi dia (alat itu) akan selalu berada di belakang. Bentuknya juga beda (dari black box pesawat), lebih besar. Prinsip kerjanya sama, dia merekam gerakan, arah, kecepatan. Misalnya kapal ini pelan, jadi gerakan direkam,” kata Ketua KNKT Periode 2007-2015, Marsda TNI (Purn) Tatang Kurniadi saat diwawancara, Kamis (2/2).

Namanya, Voyage Data Recorder (VDR). VDR merekam data berkaitan dengan beberapa aktivitas dan komponen di kapal. Data itu nantinya disimpan dalam Protective Data Capsule (PDC) yang berfungsi sama seperti black box pada pesawat terbang. Ada delapan hal yang terekam pada VDR, antara lain arah dan kecepatan angin, status kecepatan kapal, derajat haluan kapal, posisi lintang bujur kapal, radar, kondisi kedalaman laut, data kapal, informasi alarm, tampilan AIS kapal, dan status motor penggerak kapal baik saat berjalan maju, mundur maupun berhenti.

VDR bekerja secara kontinu merekam data-data tersebut sebagai sarana informasi jika terjadi kecelakaan. Teknisnya, VDR merekam data dengan jeda 12 jam, lalu data 12 jam itu akan tertimpa (overwrite) dengan data 12 jam berikutnya. Data itu tersimpan di PDC yang berkapasitas sekitar 2 GB.Sama halnya dengan black box, meskipun dinamakan kotak hitam, sesungguhnya warna alat ini justru berwarna oranye terang dan berbentuk tabung.

“Itu dibacanya khusus. Kalau ada kecelakaan yang bisa baca di Indonesia alatnya lengkap adalah KNKT. Untuk keperluan penyelidikan dan penyidikan selalu KNKT,” kata Tatang. (Baca Juga: Memahami Hak Konsumen dalam Kecelakaan Transportasi Laut)

Merujuk SOLAS Chapter V Safety of Navigation, kapal-kapal wajib dilengkapi dengan VDR ataupun S-VDR (simplified VDR). Kapal penumpang dan kapal RORO penumpang dengan GT 150 atau lebih mesti dilengkapi dengan VDR. Sementara, kapal barang dengan GT 3.000 atau lebih mesti dilengkapi dengan VDR ataupun S-VDR. Lantas, bagaimana cara kerjanya?

Saat terjadi kecelakaan baik tenggelam, kandas, tubrukan, kebocoran, maupun trim. ABK (safety officer) jika memungkinkan menyelamatkan data rekaman VDR/S-VDR yang tersimpan pada back up memory. Pengambilan data ini harus dilakukan secara aman, jika tidak maka data yang terekam berpotensi rusak (corrupt data). Proses ‘safely remove hardware and eject media’ kira-kira memakan waktu sekitar satu menit. (Baca Juga: Investigasi Kecelakaan untuk Perbaikan Sistem, Bukan Menghukum)

Bila tidak sempat diselamatkan, maka data rekaman kejadian hanya dapat diperoleh dari hard disk yang tersimpan dalam capsul unit lantaran kemungkinan flash card memory telah rusak oleh air. Untuk mengambil hard disk tersebut dibutuhkan penyelaman karena alat itu terpasang kuat di kapal. Pencarian itu akan terbantu karena alat itu akan memancarkan sinyal (acoustic beacon) dengan frekuensi 25 kHz – 50 kHz selama 30 hari di kedalaman hingga 20.000 kaki atau sekitar 6.096 m.

Sinyal yang dipancarkan beacon juga dapat membantu menemukan lokasi kapal untuk keperluan investigasi selain sinyal yang dipancarkan EPIRB sebagai indikasi lokasi terakhir kapal. Data-data yang telah ditemukan, mesti segera dilakukan pemulihan dan data asli diamankan. Selama investigasi, investigator harus mengamankan data asli dari VDR. Saat proses investigasi, VDR dapat menampilkan data visualisasi dan rekaman suara baik dari microphone pada anjungan ataupun peralatan komunikasi radio (VHF radio).

Kepada hukumonline, Tatang menegaskan bahwa investigasi kecelakaan moda transportasi pada umumnya lebih menekankan soal aspek perbaikan, bukan soal penghukuman. Oleh karenanya, KNKT sendiri selain melakukan investigasi juga terus fokus mendorong upaya perbaikan dari setiap kejadian kecelakaan. Tentunya, dengan tetap berusaha mencari penyebab kecelakaan itu secara netral.

“Masalah penyebab kecelakaan itu masih ada, tidak terjangkau. Makanya, penyelidikan mengacu ke aturan internasional, no blame, tidak menyalahkan,” sebutnya.

Menariknya, KNKT dalam kecelakaan kapal ternyata tak hanya memeriksa VDR semata. Mereka juga melakukan telaah kepada “buku harian kapal” yang dibuat oleh Nakhoda. UU Nomor 17 Tahun 2008tentang Pelayaran mengatur bahwa Nakhoda wajib membuat buku harian kapal (log book), catatan yang memuat keterangan mengenai berbagai hal terkait operasional kapal. Nantinya, buku harian kapal itu dilaporkan kepada pejabat pemerintah yang berwenang.

“Itu semacam log book, kaya kondisi kapal. Kondisi teknis dari kapal itulah yang dicatat mana yang mesti diperbaiki kalau ada yang rusak,” ujar Tatang.

Catatan yang ditulis Nakhoda itu dapat menjadi ‘penyelamat’ terutama saat mereka diperiksa oleh Mahkamah Pelayaran. Kata Tatang, kadangkala majelis sidang di Mahkamah Pelayaran meminta keterangan tambahan mengenai kondisi kapal dengan meminta buku harian kapal itu dihadirkan. Mesti dicatat, Nakhoda wajib memperlihatkan buku tersebut atau salinannya karena buku itu bernilai sebagai alat bukti. Maksud alat bukti di sini, buku harian kapal merupakan catatan otentik sehingga dapat digunakan untuk pembuktian terjadinya peristiwa atau keberadaan seseorang di kapal.

“Kondisi kapal itukan dilihat mana dokumennya, seperti apa kondisinya yang lalu-lalu. Disandingkan buku harian kapal dengan kotak hitam itu. (karena) kadang kotak hitam itu tidak selalu ada,” tuturnya.

Patut diketahui, sebelum UU Nomor 17 Tahun 2008 mewajibkan Nakhoda membuat buku harian kapal, Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sudah lebih dulu mengamanatkan hal itu. Fungsinya sama persis, sebagai alat bukti saat kapal yang dikemudikan Nakhoda mengalami kecelakaan. catatan-catatan ini menjadi bukti yang dapat disandingkan dengan rekaman yang tersimpan pada VDR.

“Kalau buku harian kapal itu, kondisi-kondisi yang diketahui oleh para kru (ABK dan Nakhoda),” tutupnya.

Buku Kedua KUHD*
Pasal 348
Nakhoda berusaha agar di kapal diselenggarakan buku harian kapal (register harian atau jurnal), di mana semua hal yang penting yang terjadi dalam perjalanan dicatat dengan teliti.

Nakhoda sebuah kapal yang digerakkan secara mekanis, di samping itu harus berusaha agar oleh seorang personil kamar mesin diselenggarakan buku harian mesin. (KUHD 6, 349 dst., 352a, 356, 374; KUHP 466, 561, 562-1 sub 10.)
Pasal 349
Di kapal Indonesia hanya diperbolehkan menggunakan buku harian yang lembar demi lembar diberi nomor dan diberi tanda pengesahan oleh pegawai pendaftaran anak buah kapal atau di luar Indonesia oleh pegawai konsulat Indonesia, yang lembar demi lembar diberi nomor dan disahkan. (KUHD 311, 348, 353, 374)

Buku harian itu bila mungkin diisi setiap hari, diberi tanggal dan ditandatangan oleh nakhoda dan anak buah kapal yang ditugaskan olehnya untuk memelihara buku itu. (KUHD 350-352, 356, 3852; KUHP 466, 562-1 sub 10.)

Lain daripada itu tatanan buku harian itu diatur oleh atau atas nama Kepala Departemen Marine. (S. 1938-4)
Pasal 350
Nakhoda dan pengusaha kapal wajib memberikan kesempatan kepada orang-orang yang berkepentingan atas permintaan mereka untuk melihat buku harian, dan dengan pembayaran biayanya memberikan salinannya. (KUHPerd. 1885; KUHD 12, 320 dst., 339, 3412 , 348 dst., 374; KUHP 561-1 sub 40)
Pasal 351
Bila nakhoda telah mengadakan pembicaraan mengenai urusan penting dengan para anak buah kapal, maka nasihat yang diberikan kepadanya disebutkan dalam buku harian. (KUHD 348, 3492 , 374; KUHP 561 -1 sub 10)
Pasal 352
Nakhoda wajib dalam 48 jam setelah tibanya di pelabuhan darurat atau di pelabuhan tujuan akhir, menunjukkan atau menyuruh menunjukkan buku harian kapal atau buku harian kepada pegawai pendaftaran anak buah kapal, dan minta agar buku itu ditandatangani oleh pegawai tersebut sebagai tanda telah dilihatnya. (S. 1938-4)

Menyimpang dari yang ditentukan pada alinea pertama, dapat ditentukan oleh atau atas nama Kepala Departemen Marine, bahwa dalam hal tertentu nakhoda harus menunjukkan atau menyuruh menunjukkan buku harian kapal atau buku harian pada saat yang tetap di pelabuhan tertentu yang ditunjuk untuk itu.

Nakhoda di luar wilayah Indonesia wajib menghadap pegawai konsulat Indonesia atau bila pegawai demikian tidak ada, kepada pejabat yang berwenang. (KUHD 341, 341d, 348 dst., 353 dst., 356, 374; S. 1927-33; Schepenord. 15 dst., 23; S. 1927-34; Schepenbesl. 124, 126 dst.; Cons. 2 dst.; S. 1923-15; Reedenregl. 7 dst., 11; S. 1938-4.
 
*Dengan Anotasi KUHD

Dilema Pelayaran Rakyat
Seketaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pengusaha Pelayaran Rakyat (Pelra), Mualliming Daming, menuturkan tentang proses rekrutmen Nahkoda dan Anak Buah Kapal pada kapal angkutan pelayaran rakyat yang masih sangat sederhana. Menurutnya, keahlian yang dimiliki oleh kru atau Nakhoda kapal jenis pelayaran rakyat biasanya diperoleh secara otodidak. Tanpa melalui proses pendidikan formal terlebih dahulu. “Rekrutmen ABK (Anak Buah Kapal) biasa saja,”ujarnya kepada hukumonline.

Oleh karena itu,ia mengeluhkan terkait adanya ketentuan buku pelaut yang sulit untuk dipenuhi oleh Nakhoda maupun ABK Kapal jenis Pelra. Meskipun demikian, tidak mengurangi keyakinan Mualling terhadap kemampuan Nahkoda dan ABK Pelra dalam mengoperasikan kapal-kapal jenis Pelra.

”Tapi mereka bisa berlayar, mereka mempunyai kemampuan,” tutur Mualliming.

Mualliming juga menyayangkan dengan adanya ketentuan buku pelaut yang ternyata mengakibatkan tidak betahnya Nakhoda dan ABK Pelra untuk bertahan pada kapal-kapal jenis Pelra. Hal ini mengakibatkan besaran penghasilan kapal-kapal Pelra menjadi ikut terganggu.Meski demikian, iamengakui dengan adanya pemberlakuan ketentuan buku pelautmerupakan salah satu syarat yang mesti dipenuhi agar perjalanan kapal tidak terkendala secara administrasi.

Kesadaran seperti ini lah yang sebenarnya dibutuhkan untuk meminimalisir semua risiko pelayaran apa bila kapal sedang beroperasi. Sebagai langkah meminimalisir jatuhnya korban jiwa saat terjadinya kecelakaan, kapal-kapal juga telah dibekali dengan alat-alat keamanan seperti pelampung dan live jacket. “Untuk kelengkapan keselamatan, kami mengikuti ketentuan,” terang Muallimin.

Tags:

Berita Terkait