Hakim Juga Pakai Fatwa MUI
Polemik Fatwa:

Hakim Juga Pakai Fatwa MUI

Hakim tak hanya harus memuat alasan dan dasar hukum, tetapi juga prinsip syariah yang dipakai mengadili.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Diskusi mengenai fatwa MUI di FH UI, Kamis (09/2). Foto: RES
Diskusi mengenai fatwa MUI di FH UI, Kamis (09/2). Foto: RES
Polemik mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) relatif sudah tak muncul lagi. Faktanya, sebagian fatwa memang merupakan perintah Undang-Undang. Artinya, fatwa itu dipositivitasi atau ditransformasi ke dalam hukum positif nasional. JIka substansinya sudah ditransformasi, maka daya ikat fatwa MUI itu semakin kuat.

Kuatnya fatwa MUI juga bisa dilihat dari praktik pengadilan. Dunia peradilan di Indonesia juga memakai fatwa MUI sebagai dasar mengambil kebijakan atau putusan tertentu. Hakim juga memakai fatwa MUI dalam memutus perkara tertentu karena fatwa MUI diangap sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. (Baca juga: Bahasa Hukum: ‘Fatwa’ dan ‘Hukum Positif’.

Adanya fatwa MUI yang dirujuk hakim disampaikan hakim agung A. Mukti Arto saat menjadi narasumber dalam diskusi publik mengenai fatwa yang diselenggarakan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kamis (09/2) pekan lalu.

Mukti Arto menyebut kebijakan mengenai anak luar kawin dalam dibahas dalam Rakernas MA, misalnya, merujuk pada fatwa MUI. Contoh lain adalah perkara sengketa ekonomi syariah yang masuk ke Pengadilan Agama. Hakim akan mendasarkan pertimbangannya pada fatwa MUI atau lembaga yang punya otoritas, sebagaimana amanat Undang-Undang. (Baca juga: Persoalan Perlindungan Hukum Bagi Anak Hasil Kawin Kontrak).

Faktanya, tak semua hukum Islam ditransformasi ke dalam hukum positif. Padahal Pengadilan Agama mengadili sengketa antara orang-orang yang beragama Islam atau menyatakan tunduk pada hukum Islam. Karena itu, hakim menggali hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. “Hakim menggali, mengikuti, dan memahami nikai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Salah satunya melalui fatwa tersebut. Intinya kan peradilan dilarang menolak dan memeriksa suatu perkara,” jelasnya.

Mukti kemudian bercerita pernah ada kasus mengenai pasangan yang menikah. Si mempelai pria menganut aliran sesat. KUA menolak menikahkan mereka, alhasil mereka menikah di bawah tangan. Kemudian pasangan tersebut mendaftarkan pernikahannya di Pengadilan dengan dalil isbat nikah. Namun kemudian hakim menolak lantaran melihat fatwa MUI bahwa agama suami bukanlah Islam, melainkan aliran sesat.

“Bahkan sampai ke tingkat MA permohonan mereka tetap ditolak karena melihat bahwa pengadilan agama hanya mengatur agama Islam saja. Dan berdasarkan fatwa MUI agama yang dianut pria adalah aliran sesat, berarti Pengadilan Agama tidak memiliki kewenangan,” ujarnya.

Banyak sekali fatwa MUI yang digunakan sebagai dasar hukum oleh Pengadilan Agama,” sambung mantan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jambi itu. (Baca juga: Ini Alasan Mengapa Fatwa di Indonesia Tidak Dibuat Seorang Mufti).

Dosen Fakultas Hukum UI, Yeni Salma Barlinti, bahkan sudah melakukan penelitian tentang Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Fatwa MUI dalam konteks ekonomi syariah mengikat kuat para pemangku kepentingan. Faktanya, fatwa diterapkan dalam aktivitas ekonomi syariah, bahkan ada yang eksplisit diperintahkan Undang-Undang. (Baca juga: Positivitasi Fatwa di Ladang Ekonomi Syariah).

Mukti Arto juga mengakui hakim-hakim agama menggunakan fatwa MUI. Hakim ekonomi syariah tidak hanya hanya harus mempertimbangkan atau memuat dasar hukum, tetapi juga memuat prinsip syariah. “Segala putusan dan penetapan pengadilan dalam bidang ekonomi syariah selain harus memuat alasan dan dasar putusan juga harus memuat prinsip-prinsip syariah yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Tags:

Berita Terkait