Vonis Kasus Penodaan Agama Rata-Rata 2 Tahun
Berita

Vonis Kasus Penodaan Agama Rata-Rata 2 Tahun

Sejak 1967 sampai saat ini terhitung ada 60 kasus penodaan agama yang sampai ke pengadilan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan 2 tahun.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Masalah penodaan agama telah diatur dalam beberapa peraturan di antaranya UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Materi UU PNPS itu dimasukkan ke dalam Pasal 156a KUHP. Pasal inilah yang kini dipakai untuk menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di PN Jakarta Utara.

Peneliti ICRP, Siti Aminah, mencatat sejak 1967 ada 60 kasus penodaan agama yang berproses sampai pengadilan. Berdasarkan kajian Aminah dan kawan-kawan pidana paling rendah yang dijatuhkan hakim dalam kasus penodaan agama adalah 6 bulan masa percobaan sampai 1 tahun penjara dan hukuman tertinggi tertinggi 5 tahun.

Siti melihat ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum kasus penodaan agama. Faktornya bisa ditemukan pada tahap penyidikan kepolisian dan penuntutan, hingga pemeriksaan di muka pengadilan. Jika unsurnya kurang, sebagian kasus terhenti di kepolisian. Selain itu desakan masyarakat atau pemberitaan juga berpengaruh.

Di era reformasi, kasus penodaan agama dipakai untuk menjerat pengikut atau kelompok agama yang memiliki penafsiran berbeda terhadap agama tertentu. Misalnya, kasus Lia Eden (2006) dan shalat dwi bahasa (2005). Seiring berkembangnya media sosial pasal penodaan agama dikenakan juga terhadap status atau diskusi tertutup di media sosial. Misalnya kasus Alexander Aan (2012) dan Joe Bin Abdul Hadi (2012) serta I Wayan Heri (2014). "Untuk kasus di media sosial pasal yang dikenakan antara 156a KUHP atau UU ITE," kata Siti Aminah dalam diskusi di LBH Jakarta, Selasa (14/2).

Pasal 156a KUHP ternyata digunakan juga oleh individu yang punya dendam kepada orang lain. Seperti kasus yang menimpa Muhammad Rokhisun bin Ruslan dan Sandy Hartono anak dari Khu Khim Chiung (2012).  (Baca juga: Penodaan Agama atau Hate Speech? Ini Kata 4 Orang Aktivis).

Siti mengusulkan perkara penodaan agama harusnya tidak melulu diseret ke ranah pidana. Sebab ada cara lain yang bisa mencegah terjadinya penodaan agama, seperti pendidikan multikultur, kemajemukan dan toleransi. Materi ini perlu diajarkan di sekolah.

Siti mengusulkan juga agar UU PNPS direvisi, selaras dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang ini pada 2010 silam. Harapan melakukan revisi sudah berkali-kali disuarakan, terutama agar selaras dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam konsep hak asasi, yang ada ujaran kebencian (hate speech). "Unsur hate speech itu bukan saja ucapan tapi sampai memunculkan tindakan diskriminasi, kekerasan dan permusuhan, " urai Siti. (Baca juga: Akademisi dan Aktivis Adu Argumen Soal SE Hate Speech).

Guru Besar UIN Jakarta, Musdah Mulia, berpendapat selama UU PNPS belum direvisi dan tidak mengatur norma  yang jelas, kasus-kasus kekerasan seperti yang menimpa kelompok Syiah di Sampang dan Gafatar akan terus terjadi." Revisi itu harus menjamin terlaksananya kebebasan beragama bagi semua warga tanpa diskriminasi. Bikin rambu-rambu yang jelas, jangan pasal karet yang multitafsir, "pungkasnya. (Baca juga: Tokoh Syiah Uji Aturan Penodaan Agama).
Tags:

Berita Terkait