Begini Keluhan Korban Penggusuran di Sidang MK
Utama

Begini Keluhan Korban Penggusuran di Sidang MK

Pasal-pasal penggusuran dalam Perppu No. 51 Tahun 1960 ini sudah tidak relevan lagi, sehingga harus dibatalkan.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Aksi penggusuran rumah warga di Jakarta oleh Satpol PP. Foto: RES
Aksi penggusuran rumah warga di Jakarta oleh Satpol PP. Foto: RES
Sidang uji materi beberapa pasal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Prp Tahun 1960  tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya kembali digelar. Para Pemohon yang merupakan korban penggusuran di DKI Jakarta ini menghadirkan beberapa saksi fakta yang turut menjadi korban penggusuran di Jakarta.

Dari beberapa keterangan saksi fakta yang dimaksud, intinya pasal-pasal penggusuran ini dinilai sangat merugikan masyarakat. Seperti dituturkan Hendrianevi, warga Kampung Pulo Jakarta Timur. Hendrianevi pernah mengalami digusur rumahnya pada tanggal 20 Agustus 2015 lalu. (Baca Juga : Begini Bantahan Pemerintah Soal Uji Pasal Penggusuran)

Sebelum digusur, dirinya sempat dijanjikan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo kala itu akan diberi ganti rugi. Akan tetapi, saat berganti kepemimpinan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kesepakatan itu berubah total. “Hanya bersertifikat saja yang diganti kerugian, yang tidak punya sertifikat dialokasi ke rumah susun dan membayar uang iuran. Saat itu, warga protes, tetapi tidak ada tanggapan dari pemerintah,” keluh Evi.

Dia mengaku saat menempati rumah susun merasa sangat tertekan. Penghasilannya tidak mencukupi kehidupan sehari-hari termasuk biaya uang sekolah (anaknya). “Dulu sebelum digusur dan dialokasi pengeluaran setiap bulan hanya 65 ribu sampai 70 ribu. Sekarang di rumah susun harus membayar uang sewa sebesar 500 ribu,” kata Evi.

Tak hanya itu, di rumah susun terdapat aturan SP (Surat Peringatan) kalau tidak mentaati aturan. Padahal, sebelumnya dirinya memiliki rumah. “Saya berharap semoga majelis hakim bisa membatalkan Perppu penggusuran ini karena banyak warga yang kehilangan harapan,” kata orang tua tunggal yang menghidupi dua orang anak yang masih sekolah ini.

Saksi lainnya, Gandi Yanto Amit seorang pedangang material yang juga mengaku korban penggusuran. Padahal, rumahnya yang digusur dibelinya 20 tahun lalu dari seorang jawara dan mempunyai akta jual beli termasuk membayar pajak bumi bangunan (PBB) setiap tahunnya. “Saya alami ini akibat peraturan hukum yang tidak berpihak kepada masyarakat lemah,” ujar Gandi yang merupakan korban penggusuran di kawasan Duri Kepa Jakarta Barat.

Saksi korban penggusuran di Papanggo Tanjung Priok, Anzori. Dirinya mengalami penggusuran saat memiliki seorang bayi ini meminta kepada Majelis MK agar pasal-pasal penggusuran itu dihapuskan. Sebab, akibat dari penggunaan pasal ini banyak anak-anak putus sekolah. “Banyak anak-anak yang dihina oleh temannya karena menjadi korban penggusuran, ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak,” keluhnya.

Ungkapan senada disampaikan Zosep Bangun seperti saksi sebelumnya. Dia mengeluhkan tindakan Pemerintah Daerah yang tidak mengumumkan terlebih dahulu ketika akan melakukan penggusuran. Tetapi, langsung membongkar rumah-rumah warga tanpa sosialisasi secara benar. “Kita menyayangkan pasal-pasal dalam Perppu 51 Tahun 1960 ini menjadi dasar hukum penggusuran secara paksa,” kata Zosep yang juga Pengurus Yayasan Lima Roti Dua Ikan yang menampung korban penggusuran.

Tidak relevan lagi
Diluar persidangan, Pengacara Para Pemohon dari LBH Jakarta, Alldo Fellix January menegaskan pasal-pasal yang diuji sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Sebab, saat Pemerintah mengeluarkan Perppu ini dalam rangka mengatasi agresi militer Belanda dan pemberontakan setempat di NKRI. Kala itu, militer Belanda ingin mencaplok tanah untuk kepentingan pertahanan.

“Kita sudah tidak lagi dalam situasi perang dan kondisi berbahaya, malah Pasal ini justru menjadi celah untuk melakukan penggusuran paksa, orang-orang yang tinggal di daerah kumuh atau orang ekonomi kelas menengah ke bawah,” kata Jelas Felix. (Baca Juga : Sejarawan Sebut Pasal Penggusuran Berjiwa Kolonialisme)

Dalam kesempatan ini, Felix meminta Pemerintah belajar dari kasus-kasus penggusuran sebelumnya. Soalnya, ternyata banyak warga korban penggusuran memiliki sertifikat hak milik, AJB, girik yang bisa ditingkatkan statusnya di BPN. “Tetapi, karena kondisi mereka tidak mampu, tidak mengerti hukum, mereka (Pemerintah) malah memanfaatkan situasi itu, bukannya untuk meningkatkan hak mereka, malah mengambil tanah secara cuma-cuma,” kritiknya.

“Rasanya, kita tidak perlu seperti itu lagi untuk beberapa tahun ke depan mengingat Indonesia sedang membangun infrastruktur. Bisa dibayangkan jika UU ini masih ada, Berapa banyak konflik pertanahan yang akan terjadi di Indonesia?”

Dirinya pun berharap semoga aturan pasal-pasal penggusuran ini dicabut. Selanjutnya, Pemerintah bisa bertindak cepat dengan menerbitkan aturan baru terkait persoalan ini yang melindungi masyarakat kurang mampu yang berada di pemukiman pinggiran. “Peraturan ini perlu dibatalkan karena sudah tidak relevan dan bertentangan dengan UU lain. Yang standarnya, harus ada musyawarah, partisipasi, kepastian hukum, keadilan, dan jaminan bantuan serta konpensasi. Tetapi, sekarang Pemerintah malah tetap kekeh memakai Perppu yang sekarang, dampaknya bisa dilihat dari kesaksian korban tadi,” katanya.

Sebelumnya, tiga warga korban penggusuran di Jakarta yakni Rojiyanto, Mansur Daud P, dan Rando Tanadi mempersoalkan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) butir a, butir b, butir c, dan butir d, serta Pasal 6 ayat (2) Perppu tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Mereka dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut lantaran tidak mendapat ganti kerugian saat rumahnya digusur paksa oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.

Pemohon menilai beleid ini seolah memberi wewenang pemerintah daerah untuk “menyerobot” kewenangan peradilan. Sebab, setiap sengketa tanah tidak melalui lembaga peradilan terlebih dahulu, tetapi faktanya langsung dieksekusi oleh Pemprov DKI Jakarta alias tanpa dialog, seperti disebut Penjelasan Umum Perppu ini bahwa pembebasan lahan/tanah tidak perlu melalui proses peradilan.

Padahal, kepemilikan tanah Para Pemohon yang sudah mendayagunakan tanah tersebut dalam jangka waktu lama sebenarnya dilindungi beberapa pasal UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Apalagi, penelantaran tanah (oleh negara) dapat mengakibatkan hapusnya kepemilikan yang diatur Pasal 1967 KUHPerdata.

Ironisnya, beberapa kasus penggusuran paksa, selain ada unsur kriminalisasi, pemerintah daerah sebagai pelaku penggusuran paksa tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sejalan dengan asas publisitas hukum agraria (Pasal 19 ayat (4) UUPA). Padahal, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum tidak mengatur norma pidana. Karena itu, Para Pemohon meminta MK menghapus berlakunya pasal-pasal tersebut karena bertentangan UUD 1945 Tahun 1945.
Tags:

Berita Terkait