Koalisi LSM Warning RUU Anti Teroris Mesti dalam Koridor Criminal Justice System
Berita

Koalisi LSM Warning RUU Anti Teroris Mesti dalam Koridor Criminal Justice System

Pembahasan RUU tersebut belum terdapat kemajuan. Sebab belum adanya kesamaan pandangan di internal pemerintah yang berakibat agenda pembahasan kerap ditunda.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Suasana penanganan teror bom. Foto: RES
Suasana penanganan teror bom. Foto: RES
Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme mulai dilakukan terbuka. Sayangnya, pembahasan belum juga menunjukan adanya kemajuan dari aspek pembahasan. Terlepas hal itu, RUU tersebut mesti dalam koridor criminal justice system.

Demikian intisari permintaan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “Kami memandang pembahasan RUU perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tetap harus berpijak pada mekanisme criminal justice system model,” ujar anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Al Araf di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (24/2).

Akar dan permasalahan terorisme memang kompleks. Kebijakan  penanggulangan bahaya ancaman terorisme oleh negara mesti dibuat komprehensif. Tujuannya agar dalam mencegah potensi ancaman terorisme dan mempersempit ruang gerak pelaku teror. Nah, menurut koalisi masyarakat sipil, pendekatan hukum melalui UU 15 Tahun 2003 hanya satu dari sekian instrumen kebijakan anti terorisme.

Bagi koalisi, aksi terorisme merupakan tindak pidana yang penanganannya mesti melalui model pendekatan hukum yang mensyaratkan adanya penghormatan terhadap prinsip negara hukum. Kemudian tatanan negara yang demokratis dan menjamin perlindungan kebebasan dan hak asasi manusia (HAM). Baca juga: Revisi UU Geser Model Penanganan Terorisme

Menurut Al, sikap DPR dan pemerintah berkeinginan mengubah pendekatan penanggulangan terorisme dari criminal justice system model menjadi war model melalui RUU tersebut. Yakni dengan cara melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara aktif dalam penanganan terorisme sebagaimana dalam Pasal 43 draf RUU tersebut.

“Adalah keliru dan tidak tepat. Pergeseran pendekatan itu tentu menjadi berbahaya karena akan menempatkan penanganan terorisme berubah menjadi lebih represif dan eksesif,” ujarnya.

Direktur Program Imparsial itu menilai masuknya aparat nonjudicial ke dalam penegakan hukum dalam mengatasi ancaman terorisme bakal berdampak rusaknya tatanan sistem hukum negara. Menurutnya, pendekatan criminal justice system model yang sudah dijalani selama ini sejatinya sudah tepat dan benar. Sebab, institusi penegak hukum merupakan aktor terdepan dalam penegakan hukum untuk mengatasi terorisme.

“DPR dan pemerintah tidak boleh melakukan langkah yang salah dan keliru dalam merevisi UU No. 15 Tahun 2003 dengan memberikan kewenangan kepada aparat non judicial (militer) untuk terlibat dalam penegakan hukum dalam mengatasi ancaman terorisme,” ujarnya.

Anggota Koalisi, Ray Rangkuti menambahkan perihal adanya pandangan sebagian anggota dewan berkeinginan mengganti UU No. 15 Tahun 2003 merupakan hal keliru dan tidak tepat. Sebab, melanggar prinsip pembentukan peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Baca juga: Paradigma Preventif Justice di RUU Antiterorisme Sesuai RKUHP

Hal lain yang dikritisi koalisi adanya keinginan memperpanjang masa penangkapan dan penahanan dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan mekanisme kontrol berpotensi terjadinya abuse of power yang berdampak pada persoalan HAM. Selain itu, keinginan memberikan hukuman berupa pencabutan kewarganegaraan selayaknya dihapus. Sebab hal tersebut melanggar HAM.

“Sebaiknya pemerintah dan DPR memberikan penghukuman dengan mencabut paspor dan tidak perlu mencabut kewarganegaraannya,” kata dia.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani ini menilai pengaturan pasal terkait deradikalisasi dengan memberikan kewenangan terhadap aparat negara yakni membawa dan menempatkan orang di tempat tertentu selama enam bulan untuk tujuan deradikalisasi, justru bentuk legalisasi dari penangkapan secara sewenang-wenang. Menurutnya pengaturan tersebut berpotensi mengancam HAM.

“Sangat berbahaya jika diberlakukan karena mekanisme itu jelas-jelas melanggar prinsip due procces of law,” ujarnya.

Menanggapi Koalisi Masyarakat Sipil, anggota Panja RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Arsul Sani mengatakan pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum terdapat kemajuan berarti. Sebab, pembahasan masih berkutat pada persoalan judul dan definisi.

Terlebih, di internal pemerintah belum adanya persamaan persepsi dalam memandang RUU tersebut. Padahal, Panja sudah menyusun jadwal pembahasan. Lagi-lagi, pemerintah meminta menunda. Bahkan, empat belas hari jadwal pembahasan terbuang begitu saja lantaran pemerintah kerap meminta penundaan.

“Kita belum membahas pasal-pasal di luar definisi. RUU Terorisme itu belum progress. Artinya lambat karena bukan DPR yang sudut pandangnya berbeda, tapi pemerintah sudut pandanganya tidak satu,” ujarnya.

Soal definisi terorisme, banyak fraksi meminta didefinisikan. Tujuannya agar menjadi jelas perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Ia berpendapat di balik definisi, sebenarnya bakal menggambarkan batang tubuh sejauh mana peran dan keterlibatan TNI bakal masuk dalam penanganan terorisme.

Terlepas hal itu, pembahasan RUU tersebut bakal dilanjutkan pada masa sidang berikutnya. Sebab, masa sidang kali ini, banyak waktu terbuang akibat belum adanya persamaan pandangan di internal pemerintah. Ia berharap pemerintah sudah memiliki kesamaan pandangan. Dengan begitu dapat dengan leluasa melakukan pembahasan dengan Panja.

“Selama 14 hari agenda pembahasan, karena pemerintah minta menunda, ya tidak ada pembahasan. Jadi kalau sisi substansi, misalnya hukum acara kewenangan penegakan hukum, itu belum tersentuh. Begitu juga pidana materil. Kemudian juga pasal guantanamo Pasal 43,” pungkas anggota Komisi III dari Fraksi-PPP itu.
Tags:

Berita Terkait