Agar tak Grogi Bersaksi di Persidangan, Coba Ikuti Saran Mereka
Berita

Agar tak Grogi Bersaksi di Persidangan, Coba Ikuti Saran Mereka

Selaku wasit, hakimlah yang berperan menjamin persidangan bebas dan saksi merasa nyaman memberikan keterangan.

Oleh:
NEE
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sejumlah saksi dimintai keterangan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: MYS
Ilustrasi sejumlah saksi dimintai keterangan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: MYS
Siapa tak kenal istilah ‘saksi’ di persidangan? Saksi acapkali sangat menentukan dalam penyelesaian perkara, khususnya pidana. Dalam KUHAP ada ketentuan bahwa siapapun yang melihat, mendengar, mengalami sendiri, atau memiliki pengetahuan yang terkait langsung atas terjadinya suatu tindak pidana dapat dijadikan saksi dalam suatu perkara pidana. Apabila telah dipanggil menjadi saksi, menjadi sebuah kewajiban hukum bagi warga negara untuk memenuhinya.

Walaupun merupakan kewajiban, tidak semua saksi punya kesiapan fisik dan mental yang sama ketika harus hadir ke ruang sidang. Bahkan datang memenuhi panggilan polisi sebagai saksi bisa jadi membuat seseorang grogi. Apalagi kalau di ruang sidang dimana proses tanya jawab acapkali tak bisa diprediksi arahnya. Gara-gara grogi, saksi menjawab A padahal seharusnya menjawab B. Begitulah yang terjadi.

Saksi adalah salah satu pihak yang bisa membuat terang perkara. Keterangannya bisa bernilai pembuktian. Karena itu para pihak akan berusaha mengejar jawaban dan mencecar saksi yang dihadirkan. Pertanyaan-pertanyaan ‘memojokkan’, ditambah suara tinggi jaksa atau pengacara, kadang menambah rasa grogi seorang saksi. (Baca juga: Saksi Dilaporkan ke Polisi, Jaksa Hanya Beri Dukungan Moril).

Dua orang narasumber yang diwawancarai Hukumonline memberikan sejumlah tips atau saran penting bagi saksi yang dimintai keterangan di ruang persidangan. Mereka adalah Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai dan Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa.

Pertama, luruskan iktikad bahwa kehadiran Anda sebagai saksi adalah untuk menjelaskan kebenaran yang Anda diketahui, bukan untuk menjatuhkan siapapun atau dalam rangka meluapkan kebencian kepada seseorang. “Niatnya harus diluruskan, dia datang dalam rangka untuk menerangkan suatu fakta yang dia lihat, dengar, dan alami atas suatu tindak pidana,” kata Abdul Haris Semendawai.

Kedua, usahakanlah memahami sejak awal saksi situasi persidangan untuk mengetahui apa yang akan dihadapi di persidangan. Untuk mengetahuinya, Anda bisa berkonsultasi kepada pihak yang Anda percayai. Anda perlu memahami kasus atau duduk persoalan sehingga Anda tidak terjebak di dalam pusaran kasus itu. Ingat: Anda hanya memberikan keterangan sesuai yang Anda tahu, bukan pura-pura tahu demi menguntungkan salsah satu pihak.

Konsultasi dengan orang yang Anda percaya bisa mengurangi rasa stress, dan menambahkan pengetahuan tentang seluk belum perkara. “Saksi bisa konsultasi ke Jaksa atau ke Penasehat Hukum mengenai apa yang akan dia sampaikan, dan menanyakan apa saja haknya, kemungkinan apa yang ditanya, kemungkinan yang terjadi di persidangan, mereka harus paham dulu,” jelas Alghiffari.

Ketiga, ceritakanlah atau sampaikanlah keterangan Anda dengan bahasa yang sederhana, tidak usah berbelit-belit. Yang disampaikan sebatas yang Anda tahu, lihat, dengar, atau alami sendiri. Jangan lupa pula, Anda harus konsisten, jangan berubah-ubah keterangan. “Baiknya secara simpel, dan pernyataannya juga tidak berubah-ubah,” kata Semendawai. Sedangkan Aqsa menyarankan agar sebelumnya saksi menuliskan secara kronologis apa yang diketahuinya untuk alat bantu saat bersaksi di persidangan. “Biasanya kita minta dia untuk menuliskan kronologis kesaksiannya itu,” jelas Aqsa.

Keempat, jika Anda banyak tahu suatu peristiwa pidana, dan Anda merasakan ancaman, ingatlah bahwa Anda punya hak untuk dilindungi. Saat menyampaikan keterangan di depan hakim, langsung minta saja kepada sang pengadil agar diberikan perlindungan. Permintaan yang sama bisa diajukan jika pertanyaan intimidatif membuat Anda marasa terancam. Tentu saja, Anda jangan menutup-nutupi sesuatu. Kalau jaksa atau pengacara mengajukan pertanyaan yang dirasa bersifat ‘menjerat’Anda bisa langsung sampaikan kepada hakim. Misalnya, Anda sebut saja langsung pertanyaannya dirasa menjebak. (Baca juga: Jaksa Minta Pengacara Tak Mengancam Saksi).

Ingat, Pasal 166 KUHAP melarang ada pertanyaan jebakan. “Sampaikan saja, ‘Pak Hakim saya merasa tertekan, saya merasa terancam’, kan bisa Hakim memperingatkan,” kata Semendawai. (Baca juga: Ingat Lho! Saksi Perkara Pidana Juga Berhak Dapat Perlindungan).

Saksi juga berhak meminta pada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan kelemahan  kesehatannya atau kondisi tua, sehingga menjadi halangan untuk berlama-lama diperiksa, dan untuk hal ini Hakim harus bisa memaklumi. Saksi berhak mengajukan keberatan jika sudah tidak kuat melanjutkan pemeriksaan di tengah persidangan karena alasan kesehatan atau kelelahan karena kondisi tua.

Kelima, saksi tidak perlu ragu untuk menjawab ‘tidak tahu’ atas hal-hal yang memang dirinya tidak ketahui atau tidak yakin dari pertanyaan Penuntut Umum, Penasehat Hukum, atau Majelis Hakim. Alghiffari Aqsa menjelaskan seringkali para Pengacara ataupun Jaksa melakukan upaya leading statement yang menggiring keterangan saksi pada jawaban yang diinginkan. Hal inilah yang perlu diwaspadai para saksi.

Peran utama untuk menjamin hak perlindungan saksi, kata Alghiffari, terletak di pundak penegak hukum dalam persidangan baik Hakim, Jaksa, maupun Pengacara. Seorang saksi harus mendapatkan penjelasan sejak awal mengenai hak-haknya. Dalam pemeriksaan, Majelis Hakim secara aktif menyaring pertanyaan yang diajukan pada saksi agar tidak melanggar hak-haknya.

Semendawai dan Aqsa sepakat ketika Majelis Hakim tidak memberi teguran atas pertanyaan kepada saksi bukan berarti pertanyaan itu sudah benar, karena bisa saja Hakim lalai memahami hak saksi atau tidak menyadari bahwa hak saksi telah dilanggar. Oleh karena itu, masing-masing pihak yang menghadirkan saksi juga bertanggung jawab melindungi saksinya dengan mengajukan keberatan pada Majelis Hakim jika ada pertanyaan yang dirasa menjerat atau menekan saksi pihaknya.

Alghiffari menyatakan seharusnya memang ada pengarahan teknis secara khusus baik dari jaksa atau penasehat hukum pada saksinya dalam menghadapi persidangan. Selama bukan pengarahan tentang substansi jawaban, justru secara legal saksi memang harus dibekali persiapan yang cukup dalam menjalani pemeriksaan yang bisa berlangsung hingga berjam-jam.

“Yang nomor satu menurut saya kewajibannya ada di penegak hukumnya, di jaksa, advokat, dan hakim, untuk menjelaskan hak-hak saksi, yang kedua, baru saksi itu sendiri yang harus juga proaktif menanyakan apa saja haknya,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait