Tiga Lembaga Ini Gagas Konvensi Etika Berbangsa dan Bernegara
Utama

Tiga Lembaga Ini Gagas Konvensi Etika Berbangsa dan Bernegara

Adanya penguatan penegakkan etika berbangsa dan bernegara sebagai dasar untuk menjamin tegaknya hukum.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Gedung KY. Foto: RES
Gedung KY. Foto: RES
Komisi Yudisial (KY), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan sosialisasi tentang Etika Kehidupan Berbangsa  dan Bernegara sesuai TAP MPR No. VI/MPR/2001 yang dikemas dalam bentuk Konvensi  Etika Berbangsa dan Bernegara.

Hal ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan Ketua DKPP dengan Ketua MPR yang membahas tentang rencana diadakannya Konvensi Etika Berbangsa dan Bernegara beberapa waktu lalu. Saat itu, DKPP mengusulkan ada tiga lembaga yang terlibat dalam konvensi etika nasional ini yakni DKPP, MPR, dan KY. Baca Juga: Ingat! TAP MPR Tentang Etika Berbangsa Masih Berlaku

Ketua DKPP Prof Jimly Assidiqie mengatakan pihaknya akan mengadakan konvensi nasional etika berbangsa sekaligus sosialisasi TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. “Ini untuk menggagas sistem etika bernegara lebih komperehensif di masa depan,” kata Jilmy usai beraudiensi dengan Pimpinan KY di Gedung KY Jakarta, Senin (27/2/2017).  

Dia menyadari bangsa Indonesia butuh struktur etika yang lebih terintegrasi. Sebab, banyak penegakkan kode etik di lembaga negara dan pemerintahan, lingkungan organisasi profesi, partai dan ormas, tetapi belum terintegrasi menjadi satu kesatuan sistem.

“Karena itu, kita gagas untuk kepentingan memperkuat akhlak bangsa kita ini. Sehingga kemajuan peradaban bangsa tidak hanya mengandalkan dukungan hukum, tetapi juga etika,” kata Jimly menjelaskan

Menurutnya, sejatinya Indonesia adalah bangsa yang berbudi pekerti luhur, punya akhlak yang mulia.  Karena itu, menjadi penting adanya etika dalam satu kesatuan sistem bernegara. Hal ini tercermin dalam aturan-aturan tentang etika jabatan dan penegakkan kode etik.

Dalam kesempatan ini, pihaknya mengajak KY dan MPR untuk menjadi bagian dalam upaya menbangun sistem etika berbangsa yang terintegrasi. Sebab, KY adalah satu-satunya lembaga yang berurusan dalam penegakkan etika hakim yang diamanatkan konstitusi. “Sebagai lembaga konstitusional, urusan etika tertinggi ada di konstitusi,” lanjutnya.

Baginya, KY mesti diberi ruang lebih luas di masa depan yang tidak hanya menangani etika hakim, tapi juga menangani etika seluruh penyelenggara negara. Namun, KY tidak terlalu terlibat langsung dalam urusan yang lebih teknis. Nantinya, bekerjanya sistem etika berbangsa ini didesentralisasi di masing-masing institusi.

“KY harus diberi juga tambahan amanat agar sistem etika berbangsa dan bernegara itu terintegrasi. Sedangkan fungsi teknis mengadili etik khusus untuk hakim dan kalau mau diperluas pun cukup hanya ke penegak hukumnya, yang lain-lain (KY) hanya menjalani fungsi koordinasi, pembinaan, fungsi regulasi. Bisa saja KY diberi nama Dewan Penyelenggara Etik,” usulnya.

Dia menerangkan pentingnya etika berbangsa dan bernegara ini masih terus didiskusikan. Sebab, faktanya bangsa kita saat ini semakin tidak berakhlak mulai dari pejabatnya hingga warganya. “Wacana ini belum sampai amandemen (konstitusi) atau berbentuk undang-undang. Dalam sosialisasinya harus mempengaruhi opini publik terlebih dahulu. Jika sudah menjadi pendapat umum, maka kita usulkan ide-ide konkrit,” katanya.

Belum terlaksana
Di tempat yang sama, Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari mengatakan etika penyelenggara negara ini sesuai TAP MPR No. VI/MPR/2001 sampai sekarang belum dilaksanakan karena belum memperoleh perhatian kuat dari pemerintah. Padahal, melihat persoalan bangsa dewasa ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi lebih esensial lagi menyangkut penegakkan etika.

KY berharap melalui pertemuan ini ke depan dapat menghasilkan rumusan tentang etika bernegara termasuk penegakkan ketentuan hukum mengenai etika yang sudah dibuat. Sebab, KY lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan menegakkan etika hakim saja masih bersifat terbatas.

“Di dunia internasional sebenarnya sudah ada konvensinya, seperti konvensi anti korupsi (UNCAC, red). Seingat saya dalam salah satu pasalnya ada upaya pencegahan. Nah, pencegahan ini dituangkan melalui kode etik bernama court of contract for public official,” kata dia menerangkan.  

Meski Indonesia sudah meratifikasi konvensi antikorupsi itu dan sudah membuat sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun, hingga kini khusus penegakkan etika ini di lembaga negara tidak berkembang. “Pemahaman etika di MK saja juga lemah, tidak terlalu banyak dikaji tentang etika berbangsa ini. Tidak seperti di KY yang selalu mengkaji etika (hakim) setiap hari.”

Menurutnya, adanya penguatan penegakkan etika berbangsa sebagai dasar untuk menjamin tegaknya hukum. Dia mencontohkan negara di belahan dunia, seperti Korea, Jepang, Cina, Singapura itu dimulai dengan penegakan kode etik. Namun, dia mengingatkan penegakkan etika bukan semata-mata untuk menegakkan hukum.  

“Kita lihat Cina sekarang sudah luar biasa. Ini juga terjadi di Singapura sejak tahun 1970-an hingga sekarang menekankan penegakkan etika. Indonesia sangat tertinggal,” katanya. 
Tags:

Berita Terkait