Periksa Due Dilligence Freeport, Lihat Peluang Indonesia Menang di Arbitrase Internasional
Utama

Periksa Due Dilligence Freeport, Lihat Peluang Indonesia Menang di Arbitrase Internasional

Tidak hanya soal hukum, namun aspek lain seperti sosial, ekologis, HAM dinilai akan memperkuat posisi Indonesia dalam forum arbitrase internasional di UNCITRAL.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Pemerintah Indonesia harus melakukan uji tuntas hukum kepada PT Freeport Indonesia (Freeport). Langkah yang lazim dikenal dengan istilah Legal Due Dilligence (LDD) ini mesti dipertimbangkan menyusul ancaman Freeport yang akan menggugat Pemerintah Indonesia ke forum arbitrase internasional.

Pakar Ekonomi Arif Budimanta mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir terhadap ancaman Freeport yang akan memperkarakan pemerintah ke dalam forum arbitrase internasional. Namun, ia ingin agar pemerintah berjaga-jaga dan mempersiapkan strategi salah satunya melakukan audit secara mendalam untuk mengukur bagaimana kedudukan pemerintah Indonesia terhadap Freeport dalam konteks sengketa melalui arbitrase.

“Arbitrase tidak perlu takut, siapkan lawyer-lawyer yang handal serta data-data,” kata Arif dalam diskusi yang digelar Seknas Jokowi di Jakarta, Senin (27/2).

Arif menambahkan, upaya due diligence ini mesti dilakukan secara komprehensif. Mantan Mantan Staf Ahli Menteri Keuangan ini memetakan paling tidak ada empat aspek yang wajib dilakukan telaah mendalam oleh pengacara yang nantinya ditunjuk oleh pemerintah. Pertama mengenai kedudukan hukum antara Freeport dengan Freeport-McMoran Inc (FCX), yang merupakan induk usaha dari Freeport di Indonesia. (Baca Juga: PERADI Dukung Pemerintah Terkait Gugatan Freeport)

Langkah kedua, pengacara juga harus menelaah laporan keuangan baik Freeport Indonesia maupun FCX. Selain untuk melihat aset perusahaan, telaah terhadap financial statement ini akan bermanfaat untuk memperkirakan harga divestasi yang nantinya harus dilakukan Freeport sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minar dan Batubara (Minerba) beserta aturan turunnya.

Arif menambahkan, due diligence ini juga mesti menelaah hitungan divestasi 51% saham potensial yang akan dilepaskan Freeport. Selain melihat berapa nilainya, hal ini juga penting untuk dipakai sebagai bahan argumentasi saat bersengketa di forum arbitrase. Dokumen yang mesti dicek adalah neraca laporan keuangan Freeport serta lihat laporan necara terkait ekologi, sosial, dan ekonomi.

Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah melakukan audit lingkungan. Sama halnya dengan perusahaan tambang lainnya, aspek environmental damage lost harus dihitung misalnya akibat pengolahan limbah yang tidak sesuai dengan regulasi dan punya dampak terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Cek juga, lanjut Arif, perubahan-perubahan ekologis yang terjadi di sekitar lokasi penambangan. (Baca Juga: Freeport Pertimbangkan Gugat Indonesia ke Arbitrase Internasional)

“Hitung opportunity loss yang hilang ini dari pengolahan limbah,” sebut Wakil Direktur Eksekutif Megawati Insitute itu.

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu menyebutkan bahwa dari sejumlah pengalaman arbitrase internasional yang pernah dialami pemerintah, pemerintah Indonesia mesti mempersiapkan tim serta argumentasi terbaik untuk menangkal dalil-dalil gugatan yang dilontarkan Freeport. Dalam berkasnya nanti, Arif meminta agar pengacara yang nantinya diberikan kuasa oleh pemerintah tidak sebatas mengurai argumentasi dari sisi hukum dan ekonomi semata. Namun, dari aspek-aspek lain sepanjang menguntungkan posisi Indonesia juga wajib dibeberkan.

Aspek lain yang dinilai menguntungkan posisi Indonesia, lanjut Arif, misalnya aspek hukum lingkungan dan hukum Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua isu tersebut, diyakini akan memperkuat posisi pemerintah di hadapan majelis arbiter internasional. kuncinya ada pada pengacara yang ditugasi pemerintah, mereka mesti bisa mengurai fakta-fakta penting dan dilengkapi data yang akurat agar majelis arbiter mempertimbangkan argumen itu.

“Itu harus diagregasi untuk hadapi nanti di arbitrase,” kata Arif. (Baca Juga : Simakalama Pemerintah Hadapi Freeport)

Sementara itu, Staf pada Kantor Staf Presiden (KSP) bidang HAM, Ifdhal Kasim menilai pemerintah Indonesia dan Freeport dalam forum arbitrase internasional akan punya posisi seimbang. Kedua belah pihak, kata Ifdhal, dinilai sama-sama punya posisi setara sepanjang konteksnya berkaitan dengan kepatuhan pelaksanaan kontrak karya yang mereka sepakati pertama kali tahun 1967 maupun perubahannya yang mana Freeport menuding pemerintah Indonesia banyak melanggar kesepakatan dalam kontrak karya.

“Kalau mereka (Freeport) sebut pemerintah tidak patuh dengan kontrak karya, itu keliru,” kata Ifdhal.

Ifdhal menjelaskan, selama ini Freeport kekeuh berpegang pada kontrak karya dengan argumen perikatan itu punya status yang setara dengan undang-undang, dalam hal ini UU Minerba. Tapi mesti dicatat, kata Ifdhal, kontrak karya generasi ke-2 menyepakati bahwa Freeport akan melakukan divestasi 51% sahamnya kepada pemerintah Indonesia dengan skema tertentu. Tapi apa yang terjadi, ternyata Freeport juga tak benar-benar berpegang pada kontrak karya itu sendiri.

mantan Ketua Komnas HAM periode (2007-2010;2010-2012) itu melanjutkan bahwa tidak patuhnya Freeport pada ketentuan divestasi yang tegas telah disepakati di kontrak karya pembaruan itu bahkan sudah dipertegas lewat pernyataan dari pengacara yang menjadi kuasa Freeport. Saat ini, pemerintah tinggal menunggu tenggat waktu 120 hari yang disebutkan dalam kontrak karya apakah Freeport akan membawa hal ini ke forum arbitrase.

“Tanpa ada tekanan ke PTFI (Freeport), mereka tidak akan bergeming penuhi UU Minerba dan Kontrak Karya,” tutup Ifdhal.

Agak berbeda, aktivis dan pegiat tambang, Hendrik Siregar menilai Freeport tidak bisa membawa masalah ini ke forum arbitrase internasional. menurutnya, kontrak karya generasi ke-2 freeport dan pemerintah Indonesia telah jelas menyepakati bahwa forum arbitrase dapat dipilih sepanjang kedua belah pihak sepakat membawa ini ke arbitrase. Artinya, bila pemerintah Indonesia tidak sepakat menyelesaikan lewat arbitrase, maka forum ini tidak bisa ditempuh.

“UNCITRAL bisa dipakai kalau dua pihak (Freeport dan Pemerintah Indonesia) sepakat,” sebut Hendrik yang juga mantan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Sebagai gambaran, Pasal 21 kontrak karya menyebut bahwa setiap pelanggaran kontrak (breach of contract) wajib diselesaikan melalui rekonsiliasi atau arbitrase sesuai dengan ketentuan arbitrase UNCITRAL. Hendri menegaskan, Freeport sendiri dari segi kedudukan cukup lemah lantaran melanggar ketentuan divestasi dan smelter dalam kontrak karya. Dalam kontrak karya generasi ke-2 yang diteken tahun 1991, Freeport sepakat akan melakukan divestasi 51% tahun 2011 dan menyerahkan kepada pemeritah.

Tapi apa yang terjadi, Hendrik menyebutkan bahwa tahun 2014 Freeport dan pemerintah menandatangai Memorandum of Understanding (MoU) yang isinya mengamandemen isi kontrak karya mengenai divestasi dari 51% menjadi 30%. Selanjutnya, mengenai smelter. Kata Hendrik, Freeport berencana membangun pabrik pemurnian mineral di Gresik, Jawa Timur. Namun, kontrak karya yang disepakati jauh silam itu hanya terkait tembaga. Padahal, Freeport juga menambang selain tembaga seperti emas yang tentunya itu juga punya konsekuensi terhadap kewajiban pembangunan smelter.  “PTFI langgar UU Minerba dan Kontrak Karya,” sebutnya.

Di tempat yang sama, Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Siti Noor Laila mengamini pernyataan Ifdhal bahwa masih ada banyak pelanggaran yang bersinggungan dengan isu HAM yang dilakukan Freeport. Pertama, Freeport tidak pernah melibatkan suku asli Papua, yakni Amungme-Kamoro dalam hal penguasaan lahan. Kedua, kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri saat masyarakat Papua menggelar aksi. Dan  yang ketiga, soal lingkungan hidup dan ketenagakerjaan Freeport.

“PTFI (Freeport) dilaporkan karena ada 28 pekerja yang tewas dan 10 lainnya luka-luka serta ada pemberangusan serikat buruh disana,” kata Siti.

Siti melanjutkan, dalam laporannya kepada Presiden, Komnas HAM memberi rekomendasi yang salah satunya adalah meminta agar pemerintah melakukan audit keseluruhan aspek baik bisnis, HAM, ataupun aspek lingkungan kepada Freeport agar temuan-temuan serta laporan yang disampaikan sejumlah pihak kepada Komnas HAM bisa teruji secara data dan fakta.

Tak hanya bagi Freeport, Komnas HAM, sebut Siti, juga mendorong pemerintah agar ikut bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan Freeport lantaran pemerintah dianggap membiarkan Freeport terus menerus tanpa menegur atau memberikan peringatan apapun. Sebagai informasi, FCX dan Freeport tegas menyatakan bahwa mereka berpartisipasi dalam voluntary principles on security dan human rights dimana mereka juga mengklaim berkomitmen terhadap pelaskaan HAM.

“Pemerintah harus kukuh gunakan konstitusi sebagai alat bargaining dengan Freeport,” tutup Siti.

Terlepas dari persoalan tersebut, Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Suharsono menyebut bahwa ada fakta menarik yang melatarbelakangi masuknya Freeport ke Indonesia sekirat tahun 1967 itu. Suharsono tegas menyebut bahwa ada kepentingan lain selain bisnis, yakni politik pemerintah Indonesia yang mana kebetulan saat itu presiden Soeharto baru menjabat sebagai Presiden yang kedua.

“Soeharto butuh political support untuk jadi presiden. Dia (Freeport) jembatani antara Soeharto dengan Washington,” kata Suharsono.

Kondisi tersebut, kata Suharsono, berdampak terhadap berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah misalnya dibatalkannya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi UU Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Tak lama berselang, bulan April 1967 Freeport bersama pemerintah Indonesia meneken perjanjian yang dikenal dengan Kontrak Karya. Bagi Suharsono, kebijakan tersebut dapat dikualifikasi sebagai upaya dari pemerintah Indonesia untuk menarik perhatian dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan ‘menyuap’ Freeport sebagai jalannya.

“Kita harus kembalikan Freeport ke posisi bisnis yang sebetulnya.

Aktivis Jatam, Siti Maimunah, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia jangan hanya berlarut memikirkan soal rencana gugatan arbitrase yang dilontarkan oleh Freeport ataupun hanya fokus mengurai masalah antara kontrak karya dengan UU Minerba. Ia mengingatkan, Freeport punya segudang masalah mengenai pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah tailing langsung ke sungai Ajkwa tanpa diolah terlebih dahulu.

“Freeport bikin sungai tercemar. (Bahkan) pemerintah papua sebut ada lima sungai yang rusak,” kata Siti di Jakarta, Senin (27/2).

Fakta itu, kata Siti, dikuatkan oleh pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya sekira Februari 2015 lalu. Waktu itu, Menteri Siti mengungkapkan bahwa audit lingkungan Freeport dilakukan terakhir kali tahun 1990. Setelah itu, audit lingkungan memang sudah tidak dikenal dan berganti isitlah menjadi pengawasan tahunan. Pemeriksaan itu rutin namun yang terakhir dilakukan tahun 2011 lantaran alasan keamanan menyangkut orang yang melakukan pengawasan ke lokasi secara langsung.

Ironisnya, Freeport sendiri saat itu berdalih telah melakukan pengolahan limbah yang didasarkan pada Keputusan Menteri LHK No.55/MENLH/12/1997. Waktu itu, Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama menanggapi hal tersebut dan menyebutkan bahwa pemerintah terus melakukan inspeksi secara berkala mengenai pengelolaan limbah yang dilakukan Freeport. Sehingga, Riza memastikan bahwa Freeport tidak melanggar aturan terkait pengelolaan limbah.

“Soal divestasi apakah akan menjawab isu pelanggaran pengelolaan limbah? Lebih baik fokus ke UU Minerba, kalau tidak patuh tinggal tutup saja Freeport dari Indonesia,” tegas Siti.

Sebagai tindaklanjutnya, koalisi masyarakat sipil direncanakan akan membentuk tim satgas perlawanan Freeport. Ketua Bidang Energi Seknas Jokowi, Tumpak Sitorus mengatakan bahwa Seknas Jokowi akan mengundang sejumlah pakar dan ahli terkait untuk sama-sama bergabung dalam satgas yang dinamakan Tim Perlawanan Freeport. Paling lambat pekan depan, pihaknya akan mulai menyiapkan bahan, kajian, riset serta analisa hukum untuk selanjutnya disampaikan kepada pemerintah.

“Kita all out lawan Freeport. Segera kita siapkan bahan, riset, analisa hukum,” singkat Tumpak.

Tags:

Berita Terkait