KPPU Harus Sampaikan Direct Evidence Agar Vonis Kartel Skutik Yamaha-Honda Dikuatkan
Utama

KPPU Harus Sampaikan Direct Evidence Agar Vonis Kartel Skutik Yamaha-Honda Dikuatkan

Pakar hukum persaingan usaha, advokat, dan asosiasi berpendapat bukti langsung (direct evidence) menjadi kunci dalam pembuktian Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999. Tanpa bukti langsung itu, kecil kemungkinan putusan KPPU terkait kartel Skukit Yamaha-Honda akan dikuatkan pengadilan negeri yang memeriksa.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM) terbukti melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Yamaha dan Honda divonis bersalah melakukan praktik kartel untuk kategori sepeda motor jenis skuter matic (Skutik) kelas110-125cc.

Dipimpin oleh Tresna Priyana Soemardi, selaku Ketua Majelis serta R Kurnia Sya’ranie dan Munrokhim Misanam, masing-masing sebagai anggota majelis, memvonis Yamaha dan Honda terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 lantaran telah melakukan kesepakatan harga. Masing-masing dikenakan sanski denda administrasi maksimal Rp 25 miliar untuk Yamaha dan Rp 22,5 miliar untuk Honda. Denda untuk Yamaha lebih tinggi lantaran majelis komisi menilai Yamaha telah memanipulasi data sewaktu persidangan.

Putusan lengkap atas perkara Nomor 04/KPPU-I/2016 itu sendiri belum terbit. Namun, ada pendapat mengatakan bahwa dari sejumlah bukti yang dibacakan Ketua KPPU Syarkawi Rauf Senin (20/2) pekan lalu, mestinya KPPU juga bisa menyampaikan bukti langsung (direct evidence) yang mana menjadi kunci untuk membuktikan bahwa praktik bisnis yang dilakukan dua pabrikan motor itu mengenai pengaturan harga itu akan kuat dihadapan majelis Pengadilan Negeri (PN) ketika para pihak mengajukan keberatan.

Pakar Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan (UPH), Udin Silalahi, berpendapat penggunaan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 punya konsekuensi bagi KPPU untuk bisa membuktikan bukti langsung, misalnya perikatan yang dilakukan antara Yamaha dan Honda terkait praktik kartel itu. Tanpa bukti itu, Udin menilai posisi KPPU akan lemah saat kasus ini diajukan keberatan ke PN oleh para pihaknya.

“Pasal itu memerlukan bukti langsung, artinya bukti perjanjian itu harus ada,” kata Udin usai menjadi narasumber pada sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (1/3).
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999

Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
 
Udin menambahkan, kunci penafsiran pasal tersebut terletak pada frasa “dilarang membuat perjanjian”. Artinya, KPPU cukup membuktikan adanya kesepakatan antara Yamaha-Honda misalnya mengenai harga jual atau sebagainya. Selain itu, Pasal 5 ayat (1) tersebut menggunakan pendekatan Per Se Ilegal dimana KPPU tidak perlu membuktikan adanya dampak dari praktik kartel yang dilakukan antara Yamaha-Honda. (Baca Juga: KPPU: Yamaha-Honda Langgar UU Larangan Praktik Monopoli)

Namun, oleh karena menggunakan pendekatan Per Se Ilegal, Udin menegaskan kembali bahwa penting untuk disampaikan mengenai bukti langsung itu. bukti langsung tersebut, juga harus dikuatkan dengan adanya dua alat bukti. Kedua bukti itu penting agar majelis pada PN bisa menguatkan putusan KPPU. Terlepas dari hal itu, Udin berpendapat bukti-bukti yang selama ini disampaikan KPPU, yakni adanya pertemuan di lapangan golf serta bukti email di internal Yamaha mesti dikuatkan kembali kedudukannya.

“Kalau misalnya disebutkan mereka bertemu di lapangan golf, ada ngga orang yang menyaksikan?, ada ngga yang mendengar berapa harganya?, terus dia menjadi saksi di pengadilan. Kalau tidak ada, nggak ada bukti, ya berarti tidak bisa dibuktikan Pasal 5 ayat (1),” kata Udin.

Udin menilai, bukti pertemuan di lapangan golf dan email internal Yamaha tergolong sebagai bukti tidak langsung (indirect evidence). Alasan Udin, lantaran dari bukti-bukti itu tidak bisa diketahui apa isi substansi perjanjian yang dilakukan antara Yamaha-Honda. Memang bisa diindikasikan dari dua bukti itu sebagai bukti mereka melakukan praktik kartel. ”Harus dibuktikan dengan bukti langsung, kapan mereka melakukan perjanjian itu, kan ada kesamaan harga itu. Itu harus dibuktikan,” tutup Udin.

Sebagai gambaran, kasus dugaan praktik kartel ini telah dilalukan penyelidikan sejak tahun 2014 silam. Sidang perdananya sendiri dimulai pada pertengahan tahun 2016 lalu. Ketua KPPU Syarkawi menyebut bahwa pelanggaran kartel ini diindikasikan terjadi dalam kurun waktu tahun 2013-2015. Sepanjangan persidangan, sejumlah keterangan saksi, ahli, dan bukti dari para terlapor dan KPPU sendiri telah disampaikan. Hasilnya, KPPU memutus ada pelanggaran Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 dengan alat bukti yakni pertemuan Yamaha-Honda di lapangan golf serta adanya surat elektronik atau email internal Yamaha. (Baca Juga: Begini Alasan Yamaha-Honda Minta Sidang Kartel Dihentikan)

Kuasa hukum dari Honda, Verry Iskandar, menyatakan bahwa kliennya akan mengajukan keberatan atas putusan ini ke PN Jakarta Utara setelah putusan lengkapnya diterima. Senior Associate dari firma hukum Soemadipraja & Taher (S&T) Advocates itu mengaku akan menyiapkan strategi khusus ketika mengajukan keberatannya. Hanya saja, ia belum mau mengungkapkan lebih lanjut strategi apa yang disiapkan oleh tim kuasa hukum dari Honda ini kedepan.

“Kami akan siapkan detilnya dalam pengajuan keberatan,” sebut Verry.

Mengenai putusan itu, Verry merasa bahwa kliennya, Honda hanya disebut-sebut dalam email di internal Yamaha. Ia menilai, pertemuan di lapangan golf dan email yang dianggap KPPU sebagai alat bukti itu sejatinya bukanlah bukti. Verry sependapat dengan Udin, bahwa bukti-bukti itu bukanlah direct evidence yang mestinya disuguhkan karena tuduhannya merujuk pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999.

Terlepas dari bukti itu, Verry mengatakan bahwa dari segi ekonomi kliennya tidak mungkin melakukan praktik kartel. Pasalnya, pangsa pasar pengguna Honda di Indonesia saat ini terus mengalami peningkatan sudah mencapai lebih dari 70%. Apalagi, dalam struktur pasar oligopoli yang padat modal dan teknologi  serta komponnen pembentukan harga yang sama ini, dipastikan akan akan sulit melakukan praktik kartel ditambah dengan pemain industri otomotif yang sedikit jumlahnya.

Market share masing-masing terus meningkat,” sebut Verry.

Terkait dengan proses persidangan, Verry mempertanyakan kenapa dalam putusan yang dibacakan pekan lalu itu, sejumlah ahli dan saksi yang diajukan Honda tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis KPPU dalam putusannya. Selama persidangan, kuasa hukum mengaku telah menghadirkan saksi dan ahli termasuk pakar ekonomi serta pakar hukum. (Baca Juga: 5 Catatan YLKI Terhadap Putusan KPPU Soal Yamaha-Honda)

“Itu tidak di-consider,” tutur Verry.

Senada dengan Verry, kuasa hukum dari Yamaha, Anastasia Pritahayu R.D. berpendapat bahwa bukti-bukti tersebut hanyalah bukti pendukung saja. Ia menilai, KPPU mestinya bisa membuktikan terlebih dahulu mengenai apa sebetulnya isi pembicaraan dalam pertemuan di lapangan golf itu misalnya dengan menghadirkan saksi. Dalam persidangan itu, kata Prita, memang tidak bisa dibuktikan apa yang dibicarakan saat pertemuan di lapangan golf itu.

“Jadi harus dibuktikan dulu pembicaraannya seperti apa. Harus ada saksinya dulu, meskipun ini hukum persaingan usaha. Jadi harus dibuktikan dulu. Selama persidangan memang tidak bisa dibuktikan di muka sidang bahwa pertemuan itu membahas tentang apa, misalnya pertemuan di golf, kenapa caddy-nya ngga dipanggil? Ya kan. Oleh karena itu mestinya dipanggil saksi-saksi yang kira-kira mengetahui hal tersebut,” papar Prita yang merupakan Senior Econom dari Firma Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP).

Mengenai email internal Yamaha, memang email itu memang ada hanya saja yang menjadi pertanyaan apakah email tersebut ada kaitannya dengan praktik kartel yang dituduhkan. Dan mesti dicatat, email ini adalah email di internal Yamaha dan disana tidak ada komunikasi dengan pihak lain apalagi pesaing dari Yamaha. Artinya, bukti itu mestinya tidak berarti dalam vonis KPPU yang menyebut kliennya melakukan praktik kartel.

“(Ibaratnya) ada pencuri ayam, terus yang diambil sebagai bukti adalah kertas. Itu ada buktinya, tapi apakah kertas itu digunakan dia untuk mengambil ayam itu? belum tentu kan. Jadi tidak semua bukti itu bisa diklasifikasikan sebagai bukti. Harus dilihat dulu apakah ada korelasi antara yang dituduhkan dengan bukti yang digunakan. Nah, itu tidak ada di sini. Ini sebenarnya kita agak bingung, kita merasa agak dipaksakan ini,” sebut Prita.

Menambahkan Prita, Partner dari Firma Hukum AHP, HMBC Rikrik Rizkiyana menjelaskan bahwa email tersebut pada intinya adalah sebatas anjuran dari manajemen Yamaha untuk melihat harga pasaran kendaraan roda dua dipasaran. Email itu juga dimaksudkan untuk melihat apakah produk yang dikeluarkan Yamaha itu under value atau tidak. “Yang di-email, bukan perintah mengatur harga. Itu bukan perintah dan bukan untuk skutik,” tegas Rikrik.

Sama halnya dengan Verry, Rikrik berpendapat bahwa akan sangat sulit bagi kliennya untuk melakukan kartel. Dari indikator ekonomi misalnya, sangat sulit dilakukan praktik kartel dimana Yamaha telah mengucurkan dana yang cukup banyak untuk iklan motor dan menempati urutan ke-6 dalam belanja iklannya. Selain itu, diversifikasi produk kendaraan roda dua boleh dikatakan cukup sengit. Dalam waktu setahun saja misalnya, ada dua jenis motor baru yang diluncurkan oleh perusahaan.

Berkaitan dengan pembuktian kartel, Rikrik menekankan bahwa kunci dalam kasus ini adalah soal adanya kesepaktan. KPPU harus bisa menjelaskan dimana letak kesepakatan antara Yamaha-Honda. Apakah lewat pertemuan? Rikrik tegaskan bahwa tidak semua pertemuan itu berarti diartikan sebagai kesepakatan. Dan yang paling penting, kesepakatan itu mesti clear juga penawaran dan penerimaan masing-masing pihak atas kesepakatan itu.

“Kesepakatan itu mesti jelas offering dan acceptance-nya,” katanya.

Tak hanya itu, Rikrik pun juga mengkritik cara yang dilakukan KPPU saat melakukan investigasi untuk mendapatkan dokumen tertentu. Kata Rikrik, cara yang dipakai oleh investigator KPPU itu jelas tidak sah karena investigator KPPU tidak memperkenalkan diri secara jelas saat melakukan hal itu. “Ada bukti yang tidak tervalidasi. Dalam due process of law, itu tidak boleh. Ini akan batal demi hukum saat di pengadilan,” tutup Rikrik.

Mewakili industri, Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia, Gunadi Shinduwinata, menilai kasus kartel yang menyeret dua anggota asosiasinya ini bukan soal masalah hukuman denda yang mesti dibayar oleh Yamaha dan Honda. Melainkan lebih pada aspek reputasi perusahaan itu sendiri dan tentunya akan punya dampak terhadap industri sepeda motor secara umum. Ia juga khawatir, iklim investasi di industri ini akan tergoncang sehingga asosiasi mendorong agar Yamaha dan Honda mengajukan keberatan.

“Dampaknya pasti ada, tanpa perlu dikaji,” kata Gunadi.

Gunadi berpendapat, apa yang dilakukan Yamaha dengan mengirim email adalah bentuk tanggungjawab dari manajemen terhadap perusahaan. Tak ada yang keliru, ketika Yamaha memperhatkan langkah dari kompetitornya sepanjang data itu tidak dipertukarkan dengan kompetitor. Mengenai pertemuan di lapangan golf itu sendiri, Gunadi melihat itu sebagai hal yang mestinya tidak kuat dijadikan sebagai bukti.

Ia mengingatkan, KPPU mestinya tidak memaksakan bukti-bukti itu karena ini akan sangat punya dampak yang besar. Ia menjelaskan, saat ini industri roda dua tengah fokus melakukan ekspor ke beberapa negara. Ada kekhawatiran putusan kartel ini berpengaruh kepada negara-negara pengimpor produk Indonesia ini dan menganggap bahwa harga yang ditawarkan oleh produsen Indonesia adalah produk yang main-main.

“Jangan dibalik, bukti itu dicari-carikan dengan parameter yang pas,” kata Gunadi.

Gunadi memastikan, petinggi dari masing-masing perusahaan, yakni Yamaha dan Honda bahwa sudah menyatakan sikapnya terkait putusan ini. Sebagai informasi, lanjutnya, bahwa sebelum putusan ini dibacakan, ada rencana investasi akan masuk dari industri ban. Sayangnya, rencana itu batal lantaran ada putusan kartel ini. Bagi Gunadi, KPPU mestinya tidak hanya memikirkan soal hukuman kepada pelaku usaha, tapi juga dampak lain yakni investasi asing yang akan masuk itu.

“Ada keraguan terhadap iklim investasi ini,” tutur Gunadi.

Sementara itu, Ketua Tim Ahli dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sutrisno Iwantono mengamini bahwa tuduhan terhadap pelaku usaha berdampak pada reputasi perusahana dan industri meskipun kasus tersebut masih berada pada tataran penyelidikan sekalipun. Biasanya, pihak terkait perusahaan itu, misalnya investor maupun bank selaku pihak yang melakukan financing akan bertanya apakah benar yang dituduhkan kepada otoritas ataupun penegak hukum.

“Soal denda itu hal biasa, tapi yang terpenting adalah soal reputasi,”

Terlepas dari hal itu, Sutrisno menjelaskan bahwa pada intinya konsep dari kartel adalah bisnis yang tidak fair yang menyebabkan konsumen dirugikan serta berpotensi mematikan pelaku usaha tertentu. Secara ekonomi, ada beberapa karakteristik yang menunjukkan bahwa pelakukan usaha melakukan kartel. Pertama, pelaku usaha itu menguasai pangsa pasar. Kedua, pelaku usaha tidak lakukan price war (perang harga). Dan ketiga, pelaku usaha tidak lakukan promosi.

Analoginya, buat apa perusahaan yang telah menguasai pangsa pasar melakukan banting harga atas produknya dan melakukan promosi secara besar-besaran karena dengan melakukan kartel, maka perusahaan itu akan mendapat untung yang sangat tinggi. Sutrisno mengakui memang kartel sangat sult selaki dibuktikan. Namun, KPPU mesti sampaikan bukti langsung itu ke muka pengadilan. Bila tidak, ia khawatir majelis pada pengadilan akan membatalkan putusan tersebut.

“Harus ada direct evidence,” tutup Sutrisno.

Cukup Dilihat Dari Rentetan Kegiatan Sebagai Pembuktian
KPPU sendiri menilai bukti langsung tidak diperlukan dalam menguatkan putusan kartel ini saat diajukan keberatan ke PN. Staf Ahli pada KPPU, Muhammad Reza mengatakan bahwa dalam kasus ini cukup dilihat adanya rentetan kejadian yang mengarah kepada praktik kartel yang dilakukan antara Yamaha-Honda.

“Saya sendiri merasa kurang pas bahwa itu harus dikatakan sebagai bukti langsung. Ketika kita bicara pembunuhan, kan tidak ada yang mengatakan bahwa saya melihat orang itu ketika menusuk. Banyak korbannya sudah meninggal, pisau sudah hilang. Tapi itu bisa dibuktikan oleh pengadilan bahwa terjadi pembunuhan di waktu lalu,” kata Reza.

Reza menambahkan, bahwa KPPU saat ini memiliki tiga bukti yang sangat kuat. Pertama, adanya pertemuan pelaku usaha di lapangan golf. Kedua, tidak lama setelah pertemuan itu, ada kiriman email dari salah satu orang yang ada di lapangan golf kepada bawahannya dan mengatakan supaya memperhatikan selalu harga pesaingnya. Email itu kemudian diterukan lagi kepada marketing-marketing yang lain.

Yang terakhir, pada tahun yang sama, yakni tahun 2014, KPPU menemukan Honda melakukan lima kali perubahan harga. Perubahan itu pun diikuti oleh Yamaha dengan jumlah yang sama. Reza berpendapat, akan keliru jika mengatakan hal itu sebagai suatu kebetulan. Sehingga KPPU menilai itu sebagai sebuah kesengajaan. Reza menegaskan, bahwa pendekatan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah Per Se Ilegal. Artinya, KPPU tidak perlu membuktikan dampak yang terjadi akibat praktik ini.

“Rentetan kejadian, bagi kami ada orang bertemu di lapangan golf. Kemudian kirim email ke anak buahnya, kemudian diteruskan lagi ke anak buahnya lagi. Berikutnya setiap ada perubahan dari kompetitor (Honda), Yamaha ikuti sesuai arahan email itu. Bagi kami, itu terlalu bagus kalau sebuah kebetulan, itu adalah bagian sebagai rencana kegiatan,” papar Reza.

Sementara, mengenai peran Honda sendiri, Reza menjelaskan bahwa Honda dalam kasus ini didudukan juga melakukan kartel lantaran Honda menyetujui keingan dari Yamaha untuk sepakat bahwa mereka tidak lagi bersaing. Sebab, kartel biasanya terjadi antara pelaku usaha yang bersaing sengit. Di sini, Honda dan Yamaha sepakat untuk sama-sama tidak lagi bersaing. Ditegaskan Reza, pada titik inilah Honda dinilai bersalah karena membiarkan dan meng-iya-kan kesepakatan itu.

Reza menjelaskan, bahwa tidak semua perbuatan melawan hukum itu dilakukan secara aktif. Dalam kasus ini, selain pasif, rangakaian tindakan Honda mulai dari pertemuan di lapangan golf sampai email-email itu disimpulkan dan dianalisa, dimana KPPU terliabat dalam praktik kartel ini. “Rangkaian itu ada semua. bagaimana Yamaha bisa mengikuti harga Honda? Oh ternyata ada email. Emailnya darimana? Emailnya dari bosnya. Bosnya yang mana? Bosnya yang kemarin main golf bareng. Kan rentetannya begitu,” kata Reza.

Mengenai proses persidangan sebelumnya, Reza memastikan bahwa Yamaha dan Honda telah dikasih kesempatan untuk menyampaikan saksi dan ahlinya ke persidangan. Soal itu tidak dijadikan pertimbangan, itu adalah murni kewenangan dari majelis. Kedepan, oleh karena upaya hukum akan di dua domisilu hukum berbeda, maka beradasarkan Perma Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU, KPPU dapat meminta Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan konsolidasi kasus ini agar tidak terjadi nebis in idem.

“Kita serahkan semua ke pengadilan negeri. Kalau dikuatkan kita akan senang, tapi kalau dibatalkan, kami akan coba upaya hukum. Kami (KPPU) coba tegakan keadilan dan lindungi konsumen serta dukung pelaku usaha,” tutup Reza.

Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto akan memanggil KPPU pasca reses berakhir. Pemanggilan ini sebatas pengawasan DPR kepada KPPU yang rutin dilakukan. DPR sempat mewacanakan akan memanggil KPPU saat kasus ini masih berjalan. Namun, DPR menahan diri dan menunggu sampai vonis ini dikeluarkan KPPU. Selain KPPU, Darmadi mengatakan juga akan memanggil sejumlah pelaku usaha.

Pemanggilan ini kebetulan berkenaan dengan rencana revisi UU Nomor 5 Tahun 1999. Darmadi menyebut sejumlah poin revisi dalam draf RUU tersebut antara lain penguatan kewenangan KPPU serta perubahan besaran sanksi denda menggunakan persentase. Sejauh ini, besarsan persentase itu antara 3-5%. “Kami akan segera panggil setelah reses nanti,” kata Darmadi.
Tags:

Berita Terkait