Empat Aturan dalam RKUHP Ini Ancam Kebebasan Berekspresi
Berita

Empat Aturan dalam RKUHP Ini Ancam Kebebasan Berekspresi

Pasal-pasal RKUHP seharusnya menjawab kebutuhan hukum masyarakat saat ini.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
 Diskusi Publik Bertajuk
Diskusi Publik Bertajuk
DPR dan pemerintah telah merampungkan membahas hampir seluruh pasal-pasal dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Meski sudah nyaris rampung, namun masih terdapat pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi terhadap masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya.

Anggota Aliansi Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Supriyadi W Eddyono mengatakan setidaknya beberapa jenis perbuatan berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Dia menyebut kejahatan ideologi negara sebagaimana diatur dalam Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara. Yakni, larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme dan peniadaan serta mengganti ideologi Pancasila.

Rumusan pasal tersebut dinilai amat luas terutama frasa ‘menyebarkan atau mengembangkan’, ‘ajaran komunisme/marxisme-leninisme’ dan ‘di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun’. Dia berpandangan persoalan perumusan pasal-pasal kejahatan ideologi kejahatan tersebut masih menimbulkan banyak penafsiran dan tidak jelas yang dapat berakibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Ini potensial mengancam kebebasan berekspresi masyarakat,” kata Supriyadi di Jakarta, Jumat (3/3).

Ironisnya, malah berpotensi memperparah situasi insiden pembubaran diskusi, berkumpul, dan larangan penerbitan buku yang diklaim sepihak sebagai ajaran komunisme/ marxisme-leninisme. Baca juga: Mengkhawatirkan, Pelarangan Hak Berkumpul dan Berekspresi

Tak hanya itu pengaturan terkait kejahatan tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah diatur Bab II dan V dalam RKUHP juga potensi mengancam kebebasan berekspresi. Padahal, pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan terhadap penguasa telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, oleh pemerintah dimasukan kembali dalam Pasal 284 dan 285 RKUHP ini. “Pasal-pasal yang melindungi negara bakal kembali masuk dalam RKUHP,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini melanjutkan pasal yang mengatur penyebaran kebencian terhadap penguasa telah disepakati pemerintah dan DPR. Meski terdapat perubahan delik formil menjadi materil dalam pasal tersebut, penggunaan pasal tersebut bakal amat subjektif digunakan negara dalam membungkam kritik pedas dari masyarakat.

Selain itu, masuknya kembali tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden seperti diatur Pasal 265 dan 266 RKUHP. Menurutnya, rumusan kedua pasal tersebut tak jauh berbeda dengan rumusan Pasal 134, 136 Bis 137 KUHP yang juga sudah dibatalkan MK. Meski pembahasan pasal tersebut ditunda, namun pemerintah bertahan dengan argumentasi perlunya menjaga martabat presiden dan wakil presiden. Baca juga: Jeratan ‘Pasal Karet’ Ancam Kebebasan Berpendapat

“Pasal ini disebut sebagai lesse majeste yang bermaksud menempatkan pemimpin negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik. Padahal, Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, materi ketentuan ini (Pasal 134, Pasal 136 Bis, Pasal 137 KUHP) sudah dicabut, diaturnya kembali aturan tersebut sama saja membangkang pada konstitusi,” kritiknya.

Terakhir, pasal tentang tindak pidana terhadap proses peradilan atau contempt of court (CoC). Menurutnya, pasal CoC boleh jadi berbahaya, karena berpotensi melanggar HAM. Misalnya, larangan mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. “Kebebasan berekpresi terkait kritik tidak dicampuradukkan dengan menghina. Selama ini ekspresi yang bersifat kritik seringkali dilaporkan ke aparat penegak hukum sebagai penghinaan,” katanya.

Harus Menjawab Kebutuhan
Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah berpandangan pasal-pasal RKUHP ini seharusnya menjawab kebutuhan hukum masyarakat saat ini. Ia menilai rumusan pasal-pasal terhadap perbuatan mesti dilakukan secara cermat dan hati-hati. RKUHP, mestinya memanusiakan manusia. “Negara tidak boleh semena-mena bertindak mengatasnamakan hukum terhadap masyarakat yang melakukan kritik membangun. Lagipula, sanksi hukuman tidak melulu berorientasi pada pemenjaraan, tapi juga bisa sanksi denda.”

Komnas HAM sendiri memandang belum adanya perubahan signifikan dalam RKUHP dalam upaya menjawab perubahan zaman atau sosial. RKUHP ini tak ubah hanyalah kodifikasi dengan mengumpulkan aturan pidana yang tersebar di luar KUHP untuk disatukan dalam satu buku besar. “Jadi, semangatnya kodifikasi, bukan menjawab iklim demokratisasi,” katanya.

Menurutnya, kebebasan berekpresi memang perlu dibatasi, tetapi tidak semua hal dibatasi. Seperti, kebebasan pers memang tidak boleh dibatasi. Sebab, pers bekerja sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam memenuhi kebutuhan informasi bagi masyarakat. Baca juga: LBH Yogya: UU ITE Ancaman Kebebasan Ekspresi

Dia menilai kriminalisasi negara atas perbuatan yang bersifat kritik membangun dinilai berlebihan. Menurutnya, kritik terhadap negara sepanjang membangun tak dapat dikategorikan sebagai penghinaan. “Tetapi, ini menyangkut kepentingan publik yang seharusnya dilundungi,” katanya.

Kepala Divisi Riset dan Advokasi LBH Pers, Asep Komarudin menyatakan hal senada. Dia menambahkan munculnya pasal-pasal berpotensi mengancam kebebasan bereskpresi dan naiknya ancaman hukuman dikhawatirkan membungkam suara-suara kritis masyarakat. Menurutnya, kasus dugaan penghinaan nyaris tak ada niat di dalamnya untuk menghina. “Ancaman dalam RKUHP ini tidak update dengan kondisi saat ini,” kritiknya. 
Tags:

Berita Terkait