Tak Ada MoU Masalah TKI dalam Kunjungan Raja Salman
Berita

Tak Ada MoU Masalah TKI dalam Kunjungan Raja Salman

Ada pesan yang dititipkan Presiden.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pos lapor TKI di salah satu bandara. Foto: MYS
Pos lapor TKI di salah satu bandara. Foto: MYS
Hubungan Indonesia dan Arab Saudi mengalami dinamika, antara lain, dalam masalah ketenagakerjaan. Indonesia termasuk negara yang mengirimkan tenaga kerja (TKI) ke sana. Hubungan bergejolak manakala ada TKI yang terancam hukuman mati.

Kunjungan bersejarah pemimpin Arab Saudi, Raja Salman, ke Indonesia ternyata tak diikuti penandatanganan nota kesepahaman kedua negara mengenai TKI. Dari 11 nota kesepahaman (memorandum of understanding), tak satu pun yang secara spesifik membahas perlindungan TKI di Arab Saudi.

Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, mengakui tak ada penandatanganan MoU soal ketenagakerjaan antara Indonesia-Arab Saudi dalam rangkaian lawatan raja Salman ke Indonesia. Ia berdalih perlindungan buruh migrant adalah wilayah teknis sehingga penyelesaian masalahnya tidak serta merta memanfaatkan momentum kunjungan Raja Salman. Banyak isu teknis TKI yang membutuhkan pembahasan bersama seperti hukuman mati, kekerasan, pelecehan seksual, upah tidak dibayar, pelanggaran kesepakatan kerja, dan keimigrasian.

Meskipun demikian Hanif mengatakan Presiden Joko Widodo sempat menitipkan pesan langsung kepada Raja Salman. Presiden menitipkan warga negara Indonesia yang tinggal di Arab Saudi agar diberi pengayoman dan perlindungan. Bagi Hanif pernyataan itu memudahkan pemerintah untuk mengajak kerajaan Arab Saudi meningkatkan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia. “Semoga akan ada perhatian lebih serus dari Arab Saudi terkait perlindungan TKI,” katanya dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Jumat (03/3). (Baca juga: 4 Isu Buruh Migran yang Disorot Kantor Kepresidenan).

Hanif menambahkan Kementerian Ketenagakerjaan sedang mengkaji hasil pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Raja Salman. Dialog untuk meningkatkan kerjasama dengan kerajaan Arab Saudi dalam rangka perlindungan untuk buruh migran Indonesia akan terus dijalankan. (Baca juga: Presiden Jokowi Harus ‘Turun Gunung’ Tangani TKI di Saudi).

Terpisah, Pjs Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, berpendapat isu perlindungan buruh migran mestinya dibahas dalam kerjasama Indonesia-Arab Saudi. Masalah buruh migran antara Indonesia-Arab Saudi merupakan masalah kedua negara yang belum selesai sampai sekarang. Intinya, buruh migran Indonesia sektor domestik yang bekerja di Arab Saudi masih rentan dilanggar hak-haknya.

Sejumlah kasus terkait perlindungan buruh migran yang patut menjadi sorotan diantaranya kebijakan moratorium penempatan buruh migran Indonesia ke Arab Saudi belum efektif. Penempatan itu masih berjalan dengan menggunakan beberapa modus bekerja di sektor formal.

Kemudian, sistem kerja kontrak jangka pendek dan pemotongan upah. “Agency memotong setengah upah yang harusnya diterima buruh migran dari majikan,” urai Hafiz.

Selain itu ada majikan melarang buruh migran yang minta pulang ke kampung halaman dengan cara menahan passport dan tidak memberi akses ke luar rumah, termasuk ke KBRI. Melansir data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sedikitnya ada 124 kasus buruh migran di Arab Saudi yang dilarang pulang majikan. (Baca juga: Proses Rekrutmen Dominasi Permasalahan Pekerja Migran Indonesia).

Kasus kriminalisasi terhadap buruh migran juga semakin menguat, seperti dialami buruh migran asal Indramayu, Rusmini, yang dituduh melakukan sihir kepada majikan. Terakhir, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak oleh perusahaan di Arab Saudi, tidak digaji dan tidak dipenuhi hak-haknya. Seperti yang dialami 11.743 buruh migran Indonesia yang bekerja di perusahaan Bin Laden Group.

Hafiz berpendapat masalah ketenagakerjaan itu harus diselesaikan melalui diplomasi tingkat tinggi, melibatkan masing-masing kepala negara. “Saat ini Arab Saudi berkepentingan menanamkan modalnya di Indonesia. Harusnya ini dijadikan jalan masuk pemerintah untuk meminta Arab Saudi melindungi buruh migran Indonesia yang bekerja di sana,” tukasnya.

Adapun nota kesepahaman yang telah diteken perwakilan kedua negara adalah: (1) Deklarasi pemerintah Arab Saudi mengenai peningkatan pimpinan sidang Komisi Bersama; (2) Nota kesepahaman pendanaan Arab Saudi terhadap proyek pembangunan di Indonesia; (3) Nota kesepahaman kerjasama kebudayaan; (4) nota kesepahaman kedua negara mengenai pengembangan usaha kecil dan menengah; (5) kerjasama bidang kesehatan.

Nota kesepahaman lain berkaitan dengan (6) aero nautical; (7), riset dan teknologi (sains dan pendidikan tinggi); (8), urusan agama Islam; (9) kelautan dan perikanan; (10) perdagangan dan investasi; dan (11) pemberantasan kejahatan.

Kasus Rusmini
Sebelumnya anggota tim pengawas TKI DPR, Rieke Diah Pitaloka, meminta kepada Raja Salman untuk membebaskan seorang buruh migran Indonesia asal Indramayu, Rusmini Wati Binti Nakrim. Singkatnya, Rusmini meminta kepada majikannya untuk dipulangkan ke Indonesia. Namun, majikan melaporkan kepada pihak berwajib bahwa Rusmini telah melakukan sihir. Alhasil Rusmini divonis hukuman mati.

Januari 2015 Raja Salman membebaskan Rusmini dari hukuman mati menjadi penjara 8 tahun dan penjara pengganti denda selama 4 tahun. Totalnya, Rusmini harus menjalankan hukuman 12 tahun penjara ditambah hukuman cambuk. Saat ini Rusmini telah menjalani setengah hukumannya dan dicambuk 1.200 kali. Secara bergiliran Rusmini dipekerjakan di rumah petugas penjara mulai dari kepala penjara sampai staf penjaga.

Rieke yakin Rusmini tidak melakukan sihir terhadap majikannya. Dibatalkannya vonis mati kepada Rusmini menurut Rieke merupakan pernyataan tidak langsung bahwa tuduhan itu tidak terbukti. Oleh karenanya hukuman penjara dan cambuk yang dijatuhkan kepada Rusmini bagi Rieke tidak adil. “Saya mohon kemurahan hati yang mulia untuk membebaskan Rusmini dan memulangkannya ke Indonesia,” pinta politisi PDIP itu.
Tags:

Berita Terkait