Dewan Etik Periksa Hakim Konstitusi Lalai Perbaharui LHKPN
Berita

Dewan Etik Periksa Hakim Konstitusi Lalai Perbaharui LHKPN

Target pemeriksaan dugaan pelanggaran etik terkait lalainya hakim konstitusi memperbaharui LHKPN ini akan diselesaikan sebelum sidang sengketa pilkada.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Hakim Mahkamah Konstitusi. Foto: MK
Dewan Etik Mahkamah Kontitusi (MK) sudah menerima laporan dari Koalisi Selamatkan MK. Laporan pengaduan ini dilayangkan oleh tiga organisasi yakni Indonesia Corruption Watch (ICW), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) dan Indonesia Budget Center (IBC) terkait beberapa hakim konstitusi yang diduga belum menyerahkan atau memperbaharui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

“Iya, memang ada laporan dari Koalisi Selamatkan MK terkait dugaan tidak melaporkan LHKPN dari Hakim Kontitusi Arief Hidayat,Anwar Usman, Aswanto, dan Suhartoyo,” kata Ketua Dewan Etik MK Abdul Mukthie Fadjar saat ditemui di Gedung MK, Rabu (08/03/2017).

Abdul menuturkan laporan Koalisi mengungkap Arief Hidayat melaporkan harta kekayaanya saat ia masih menjadi Wakil Ketua MK pada akhir 2013. Hingga saat ini, Arief Hidayat dinilai belum meng-update LHKPN-nya. Anwar Usman pun demikian, dia sejak diangkat menjadi Wakil Ketua MK pada Januari 2015 belum meng-update LKHPN-nya.

“Kalau Aswanto belum lapor LHKPN saat menjadi hakim konstitusi, dan Suhartoyo ketika dilantik menjadi hakim konstitusi belum lapor LHKPN,” ujarnya menerangkan.

Dia mengakui Koalisi Selamatkan MK, dalam sidang pemeriksaan hari ini sudah menyerahkan bukti-bukti ke Dewan Etik yang bersumber dari data website center KPK. “Seharusnya hakim konstitusi melaporkan harta kekayaanya saat dilantik, saat menjabat, mendapatkan promosi dan saat berhenti,” kata dia.

Pihaknya belum bisa memutuskan apakah keempat hakim konstitusi yang dilaporkan itu melanggar etik atau tidak. “Sampai saat ini Dewan Etik masih akan meminta keterangan 4 hakim konstitusi sore ini dan meminta keteranga KPK terkait data LHKPN sebelum memutuskan lebih lanjut. Karena data di website belum tentu sudah diperbarui,” ujarnya.

Mukthie menambahkan target pemeriksaan dugaan pelanggaran etik terkait lalainya hakim konstitusi menyerahkan LHKPN ini akan diselesaikan sebelum sidang sengketa pilkada. “Target sebelum sidang sengketa pilkada dimulai sudah diputuskan.”     

Sebelumnya, Juru Bicara MK Fajar Laksono memastikan seluruh hakim konstitusi yang berjumlah 9 orang telah menyerahkan LHKPN saat menduduki jabatan hakim konstitusi. Artinya, kewajiban untuk melaporkan kekayaannya sebenarnya telah dilaksanakan. Meskipun, kini ada hakim yang belum memutakhirkan (update) laporan kekayaan.

“MK memastikan seluruh hakim akan mematuhi ketentuan tersebut,” kata Fajar beberapa waktu lalu. Baca Juga: Hakim MK Siap Perbarui Laporan Harta Kekayaan

Ditegaskan Fajar, tak ada satu pun hakim MK bersikap resisten, dalam arti menolak melaporkan harta kekayaan. Kalaupun ada keterlambatan, lebih disebabkan pemaknaan berbeda, pemahaman atau sosialisasi yang kurang. “Jadi intinya MK dan hakim MK siap. Tidak ada satu pun hakim yang menolak menyerahkan LHKPN,” tegasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan data dari acch.kpk.go.id, ada lima hakim MK belum meng-update laporan LHPN-nya. Yakni, Arief Hidayat terakhir 2014, Anwar Usman terakhir 2011, Wahiduddin Adams terakhir 2014, Patrialis Akbar terakhir 2013, dan I Dewa Gede Palguna terakhir 2015.

“Suhartoyo sudah lapor akhir 2016 lalu, sedang proses kelengkapan berkas sebelum diumumkan, Manahan MP Sitompul juga sudah lapor pada 2016. Aswanto masih kami cek lagi,” ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu. (Baca juga: Mahfud MD: Tidak memperbaharui HKPN Salahi UU).

Berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya dan bersedia diperiksa sebelum, selama, dan setelah menjabat. Sesuai Peraturan MK Tahun 2005, secara periodik kewajiban pelaporan LHKPN dilakukan setiap dua tahun sekali setelah pejabat negara menjabat. Hal ini penting untuk melihat apakah terdapat peningkatan kekayaan yang wajar dibanding penghasilan yang sah.
Tags:

Berita Terkait