Kekuatan Alat Bukti dalam Perkara TUN
Putusan Terpilih MA 2016:

Kekuatan Alat Bukti dalam Perkara TUN

Putusan sidang Kode Etik menjadi dasar terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.

Oleh:
MYS/NEE
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi upaya hukum terhadap kepolisian. Ilustrator: NAS
Ilustrasi upaya hukum terhadap kepolisian. Ilustrator: NAS
Arah putusan hakim sangat ditentukan oleh alat-alat bukti. Meskipun pada akhirnya keyakinan hakim yang sangat menentukan, alat bukti lain tetaplah penting disampaikan di persidangan. Tidak terkecuali dalam perkara tata usaha negara.

Kesalahan memaknai dan mempertimbangkan alat-alat bukti bisa membuat hakim salah dalam menilai kekuatan alat bukti secara komprehensif. Kesalahan ini bisa berujung pada kesalahan mengambil putusan. Setidaknya, begitulah yang terungkap dalam putusan Mahkamah Agung (MA) No. 416 K/TUN/2014. Putusan ini termasuk salah satu dari 11 putusan terpilih MA yang dimasukkan dalam Laporan Tahunan MA 2016. (Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions Tahun 2016).

Putusan MA dimaksud berkaitan dengan gugatan seorang polisi terhadap Kapolda Riau di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru. Polisi berpangkat Brigadir Satu (Briptu) itu menggugat lantaran tak terima diberhentikan dari dinas kepolisian secara tidak hormat. Surat Keputusan Kapolda tentang pemberhentian itulah yang dipersoalkan ke PTUN hingga berujung pada putusan MA No. 416 K/TUN/2014 itu.

Alkisah, si oknum polisi dipecat lantaran tak masuk kerja dari 25 Maret hingga 20 Mei 2011. Dalam pemeriksaan Propam, terperiksa berdalih ikut pengamanan pilkada di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), dan sakit yang dibuktikan dengan surat dokter. Akibat meninggalkan tugas dalam waktu yang lama itu, pria yang diangkat jadi polisi sejak 2004 itu dibawa ke sidang Komisi Kode Etik Polri, 10 April 2013. (Baca juga: Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran).

Komisi Kode Etik Polri lantas merekomendasikan agar terperiksa diberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota Polri. Terperiksa diyatakan terbukti melanggar Pasal 14 angka 1 huruf a Peraturan pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2003 tentang Permeberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Upaya banding atas putusan Komisi Etik itu juga kandas. (Baca juga: Upaya Hukum atas Penjatuhan Hukuman Disiplin PNS).

Kapolda sebenarnya tak langsung mengeluarkan SK pemecatan. Sebelum sidang Komisi Etik, masih ada proses lain seperti meminta pendapat hukum dari Bagian Hukum Polda Riau. Hasilnya, menurut Bagian Hukum Polda, ketidakhadiran terperiksa berdinas sudah memenuhi unsur pelanggaran PP No. 1 Tahun 2003. Berbekal usul Kapolres Kuansing, Kapolda Riau lantas menerbitkan Surat Keputusan yang menjadi objek gugatan di PTUN Pekanbaru.

Kekuatan alat bukti
Putusan PTUN Pekanbaru dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan berpihak kepada penggugat. SK pemberhentian dibatalkan hakim PTUN, dan kemudian diperkuat hakim tingkat banding.

Keadaan berbalik pada tingkat kasasi. Majelis hakim dipimpin Imam Soebechi mengabulkan permohonan kasasi Kapolda Riau dan menolak gugatan penggugat seluruhnya. (Baca juga: Dapatkah Rekaman Telepon Dijadikan Sebagai Alat Bukti?).

Dalam pertimbangan, majelis kasasi mengungkit masalah pembuktian. Majelis menilai judex facti salah menerapkan hukum terutama dalam memberi kekuatan hukum terhadap alat bukti. Dalam Berita Acara Pemeriksaan Penggugat yang diberikan di bawah sumpah terungkap bahwa penggugat benar telah melakukan pelanggaran disiplin. Jadi, pelanggaran disiplin itu tdak dibatah penggugat.

Menurut majelis kasasi, dengan tidak dibantahnya realitas pelanggaran disiplin berarti tidak diperlukan bukti apapun karena tidak ada bantahan penggugat atas apa yang dituduhkan kepadanya. Realitas seperti ini adalah menarik logika pembuktian dari berbagai aspek yang menunjuk pada satu arah adanya bukti yang logis dan ilmiah yaitu pengetahuan hakim. (Baca juga: Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan).

Jika tidak mempertimbangkan alat bukti secara benar dan komprehensif, majelis hakim bisa salah salam mengambil kesimpulan, dan pada akhirnya membuat putusan salah. Penggugat sudah mengakui tidak masuk kerja, meskipun berdalih sedang melakukan pengamanan pilkada dan sakit. Pengakuan itu dibuat di bawah sumpah. Kalau sudah demikian, kata majelis hakim kasasi, tidak perlu lagi pembuktian lebih lanjut.

Berdasarkan Pasal 100 UU PTUN, pengakuan (para pihak) dan pengetahuan hakim adalah 2 dari 5 alat bukti perkara tata usaha negara. Pengakuan adalah keterangan sepihak dalam suatu sengketa dimana ia mengakui apa yang dituduhkan pihak lawan. Pengetahuan hakim adalah sesuatu yang diketahui dan diyakini hakim kebenarannya.

Kekuatan suatu alat bukti sangat ditentukan oleh hakim. Jika hakim percaya suatu alat bukti punya kekuatan sempurna (volledig bewijs) berarti alat bukti itu bisa sangat menentukan di mata hakim. Dosen Hukum Acara Tata Usaha Negara Fakultas Hukum UI, Sri Laksmi Anindita mengatakan jika dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penggugat telah mengakui pelanggaran yang dituduhkan tergugat berarti ‘BAP tersebut sah sebagai dasar keputusan TUN yang menjadi objek sengketa’.

“Selama tidak ada bukti bahwa pembuatan BAP di bawah sumpah itu dengan paksaan terhadap penggugat, maka Keputusan TUN tidak melawan hukum,” jelasnya kepada Hukumonline.
Tags:

Berita Terkait