Konsistensi Pemerintah Laksanakan UU Minerba Dipertanyakan
Utama

Konsistensi Pemerintah Laksanakan UU Minerba Dipertanyakan

Pembangunan smelter melalui konsorsium BUMN bentuk konsistensi pemerintah, sehingga dapat mengontrol langsung keluar-masuknya hasil pertambangan terutama yang diekspor ke luar negeri.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) mesti dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah, tanpa terkecuali. Sejatinya, UU Minerba sudah sesuai dengan konstitusi karena memang tidak ada pertentangan antara UU Minerba dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 UUD 1945.

Namun sayangnya, praktiknya masih terjadi komplikasi persoalan, kasus Freeport misalnya. Untuk itu, dibutuhkan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan amanat UU Minerba. Demikian sekelumit intisari dalam sebuah diskusi bertajuk “Impelementasi UU Minerba untuk Masa Depan Bangsa” di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2017).

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan regulasi terkait pertambangan nyaris ada ketidakkonsistenan terhadap UU Minerba. Meski UU Minerba sudah sesuai dengan konstitusi, namun justru aturan pelaksana acapkali seolah “mengakali” praktik sektor pertambangan mineral dan batubara. “Hampir semua persoalan pertambangan kita ada ketidakkonsistenan regulasi,” ujarnya.

Ia merujuk Pasal 170 UU Minerba yang menyebutkan, ”Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Nah, sejak UU Minerba terbit, Freeport misalnya tak pernah melaksanakan pemurnian dan pengolahan di dalam negeri dengan membangun smelter. Pemerintah pun tak tegas terhadap Freeport. Menurut Enny, pemerintah mestinya konsisten menjalankan UU Minerba. Ia berpandangan ketika Freeport tidak membangun smelter dan pemerintah mendiamkan, sama halnya pemerintah tidak konsisten terhadap UU Minerba.

“Jadi siapa yang melanggar UU, ya pemerintah. Kalau PP-nya justru mengakali seperti ini, mengapa para pengusaha tidak mau mengikuti UU, karena pemerintahnya juga tidak konsisten,” kritiknya.

Menurut Enny, dalam sistem perekonomian para pelaku usaha membutuhkan kepastian hukum dan konsistensi kebijakan dari pemerintah. Ia yakin, ketika pemerintah konsisten dengan regulasi yang dibuatnya, maka  para pelaku usaha tambang bakal patuh terhadap pemerintah dengan menjalankan amanat UU Minerba itu. Baca juga: PP Minerba dan Aturan Pelaksananya Dinilai Melanggar UU

Dia melanjutkan bila pemerintah tidak konsisten dengan aturan maka tak saja merugikan investor, namun juga negara tempat investasi yang ditanam.“Sejak UU Tahun 2009 sampai 2014 ada gak langkah pemerintah melakukan tindakan seperti amanat bunyi Pasal 103 dan 170 UU Minerba ini, nothing,” kata dia.

Lebih jauh Enny berpandangan nyaris semua sektor Minerba tidak dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Padahal UU Minerba mewajibkan terhadap hasil tambang harus diolah untuk dimurnikan terlebih dahulu (di dalam negeri) sebelum diekspor ke luar negeri. Bagi Indonesia pemurnian hasil tambang menjadi penting karena memiliki nilai tambah bagi negara.

“Kalau kita mau mengoreksi, ya pemerintahnya dulu. Punya niat gak melaksanakan implementasi UU Minerba?”

Anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian menilai UU Minerba tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Hanya saja, pemerintah dinilai tidak dapat mengimplementasikan UU Minerba melalui atuan turunan di bawahnya. Ia mengatakan dengan PP No. 1 Tahun 2017 terkait pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba, mengharuskan UU Minerba mesti dilakukan revisi. Baca juga: Revisi UU Minerba Tekankan Hilirisasi Dalam Negeri

“Jadi kalau UU Mineba ini digunakan akan melanggar hukum. PP-nya pun tidak tepat (sinkron) dengan penjabaran UU ini. Pemerintah tidak tegas dalam melaksanakan UU Minerba. Harusnya konsisten,” kata dia.

Ia merujuk Pasal 112 UU Minerba yang menyebutkan, Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.”

Hal yang jadi persoalan, kata Ramson, Pasal 112 UU Minerba ini tidak menyebutkan adanya frasa “Kontrak Karya”. Ia menilai pasal-pasal dalam UU Minerba pun memiliki celah untuk dipersoalkan ketika berkaca dari kasus Freeport. Pasalnya, Freeport sebagai pemegang Kontrak Karya yang tentu pula dapat dipersoalkan Freeport terkait kewajiban divestasi hingga 51 persen.

“Jalan satu-satunya, UU Minerba harus direvisi. Kalau melalui jalur prolegnas lama, yang cepat itu dengan Perppu. Saya realistis saja,” ujarnya.

Bangun smelter konsorsium BUMN
Masih terkait pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan melaui pembangunan smelter amanat UU Minerba, menurut Enny ketika Freeport dan perusahaan tambang lain tak membangun smelter, pemerintah Indonesia seharusnya mengambil alih untuk membangun smelter. Yakni dengan cara membentuk konsorsium dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Baca juga: ESDM Berharap APBN Biayai Pembangunan Smelter

Baginya, cara tersebut dipandang efektif karena pemerintah memiliki akses membangun smelter melalui konsorsium BUMN. Meski diakui membutuhkan dana besar, konsorsium BUMN dinilai tepat untuk mewujudkan pembangunan smelter. Enny menilai pembangunan smelter bentuk konsistensi melaksanakan UU Minerba. “Semakin konsisten, maka pemerintah yang bangun smelternya dengan konsorsium BUMN,” ujarnya.

Enny menambahkan keuntungan smelter dibangun pemerintah, nantinya semua perusahaan tambang mesti melakukan pengolahan dan pemurnian melalui smelter yang dibangun pemerintah. Dengan begitu, pemerintah dapat mengontrol ekspor hasil tambang yang keluar dan masuk. 
Tags:

Berita Terkait