BRiS: Kasus Korupsi e-KTP, Bukti Gagalnya Reformasi Birokrasi
Berita

BRiS: Kasus Korupsi e-KTP, Bukti Gagalnya Reformasi Birokrasi

Berkaca dari kasus korupsi e-KTP ini, perlu dilakukan review menyeluruh terhadap proses reformasi birokrasi yang sedang berjalan di seluruh instansi pemerintah.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi PNS / ASN. Foto: SGP
Ilustrasi PNS / ASN. Foto: SGP
Munculnya kasus dugaan korupsi mega skandal proyek KTP berbasis elektronik (e-KTP) terus menjadi sorotan publik. Sebab, proyek yang diperuntukkan masyarakat ini belakangan hampir separuh dana proyeknya senilai Rp2,314 triliun dijadikan “bancakan” sejumlah oknum. Mulai pejabat Kemendagri, DPR, Partai, Auditor BPK, swasta seperti diungkap dakwaan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa hari lalu.  

Menguapnya skandal kasus ini tidak terlepas dari peran/tindakan eks pejabat di  Kemendagri. Sebab, selain kedua terdakwa Irman dan Sugiharto, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, Sekjen Kemendagri Diah Anggraini, staf Kemendagri, dan pihak lain diduga memiliki andil besar dalam memuluskan terjadinya mark up triliunan rupiah dalam pengadaan e-KTP ini. Buktinya, Gamawan dan Diah disebut-sebut menerima uang sebesar 4,5 juta dollar AS + Rp 50 juta dan 2,7 juta dollar AS + Rp 22,5 juta.

Ketua Bureaucracy Reform Institute (BRiS) Riski Ismanto menilai kasus dugaan korupsi proyek e-KTP ini bukti gagalnya sistem reformasi birokrasi terutama di Kemendagri. Sebab, sistem reformasi birokrasi di Kemendagri tidak mampu mencegahnya terjadinya korupsi yang diduga merugikan triliunan rupiah ini. Bahkan, Inspektorat Jenderal Kemendagri sebagai aparatur pengawasan internal seolah “tidak berdaya”.      

“Mulai menteri, sekjen, dirjen dukcapil kemendagri terlibat. Bahkan, peran Inspektorat Jenderal Kemendagri saja tidak mampu mencegah terjadinya korupsi, ini mungkin yang terlibat setingkat menteri dan eselon I-II,” ujar Riski Ismanto dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/3/2017). Baca Juga: KPK Diminta Tuntaskan Kasus Korupsi ‘Berjamaah’ Proyek e-KTP  

Ditegaskan Riski, sistem reformasi birokrasi di Kemendagri belum bisa mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di jajarannya. Apalagi, korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat selevel menteri. Padahal, dalam program quick wins reformasi birokrasi yang sebagian sudah diterapkan di instansi pemerintah ada beberapa poin yang diarahkan pada upaya pencegahan korupsi.

Pertama,pemanfaatan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) atau lazim disebut e-Procurement khususnya di lingkungan Kemendagri. “Sistem ini dengan kriteria keberhasilan terwujudnya transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah,” kata Riski.  

Kedua, penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) di lingkungan Kemendagri, dengan kriteria keberhasilan : (1) Tercapainya tujuan organisasi Kemendagri secara efisien dan efektif serta taat pada peraturan; dan (2) Berjalannya pengelolaan keuangan negara yang andal dan terpercaya.

Menurutnya, terkuaknya kasus korupsi e-KTP ini bisa dikatakan program quick wins yang dijalankan Kemendagri tidak efektif untuk mencegah terjadinya korupsi. “Jadi, berkaca dari kasus korupsi e-KTP ini, perlu dilakukan review (evaluasi) menyeluruh terhadap proses reformasi birokrasi yang sedang berjalan di seluruh instansi pemerintah termasuk Kemendagri,” usulnya.  

Misalnya, reformasi birokrasi harus benar-benar diarahkan pada pencegahan korupsi yang dilakukan oleh pejabat level tertinggi di instansi pemerintahan. Peran inspektorat juga perlu diperkuat, terutama dalam menangani korupsi yang dilakukan oleh pejabat level tertinggi di instansi pemerintahan.  

“PNS/ASN juga harus dilibatkan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di instansi pemerintah. Ini tentu membutuhkan instrumen perlindungan khusus bagi PNS karena faktanya banyak PNS takut mengungkap dugaan korupsi yang dilakukan atasannya.” Baca Juga: Perlu Aturan Perlindungan bagi Whistleblower PNS

Hal lain, terjadi perbedaan hasil audit BPK dan BPKP, bagi BRiS bisa memberikan persepsi masyarakat yang mempertanyakan tentang tolok ukur yang dipakai dalam mengaudit keuangan negara. “Tolok ukur perbedaan ini juga jadi pertanyaan publik,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait