Peraturan OJK Dinilai Bantu Turunkan Defisit Reasuransi
Berita

Peraturan OJK Dinilai Bantu Turunkan Defisit Reasuransi

Meski defisit, tapi diperkirakan tidak akan pernah sampai zero atau surplus lantaran modal reasuransi terbatas.

Oleh:
ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani (kiri). Foto: RES
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani (kiri). Foto: RES
Sejak diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2015 tentang Retensi Sendiri dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri dua tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan menilai, POJK tersebut mampu membantu menurunkan defisit neraca pembayaran industri reasuransi.

"Sejak kita terbitkan POJK tahun 2015 mengenai kewajiban prioritaskan perusahaan reasuransi dalam negeri, itu turunkan defisit neraca berjalan di sektor reasuransi," kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani di Jakarta, Rabu (15/3), sebagaimana dikutip dari Antara(Baca Juga: Ini Empat Tunggakan POJK Sektor Asuransi)

Dibandingkan 2015, lanjut Firdaus, pada 2016 ada penurunan jauh, yang mana waktu itu mendekati satu miliar dolar Amerika Serika (AS) namun kemudian hanya 500-600 juta dolar AS. Kendati demikian, ia mengatakan, defisit neraca pembayaran industri reasuransi tidak akan pernah surplus untuk saat ini mengingat masih terbatasnya modal perusahaan reasuransi.

"Defisit makin menurun tapi tidak akan pernah sampai zero atau surplus karena modal reasuransi terbatas tapi objek tanggungan asuransi kan makin lama nilainya makin besar, jadi tidak akan pernah positif," ujarnya. (Baca Juga: Lembaga Penjamin Polis Diharapkan Segera Terbentuk)

Sementara itu, terkait dengan reasuransi dukungan dana atau financial reinsurance (finrei), menurut Firdaus dapat dijadikan sebagai terobosan baru bagi perusahaan asuransi dalam memperluas usahanya yang sering terkendala permodalan.

Firdaus menuturkan, finrei merupakan praktik yang lazim dilakukan di luar negeri, terutama bagi perusahaan asuransi yang memiliki Risk Based Capital (RBC) mendekati batas minimum yang ditentukan OJK 120 persen. "Finrei ini kan untuk perusahaan asuransi yang RBC-nya agak mepet, sementara ia butuh waktu untuk mengembangkan usahanya atau menambah modal. Makanya ia harus izin sama kita untuk melakukan finrei," katanya.

Ia menambahkan, penerapan mekanisme Finrei sendiri bukan merupakan sesuatu yang populer di industri domestik. Finrei ditujukan kepada upaya sementara bagi perusahaan asuransi untuk dapat memenuhi ketentuan kesehatan keuangan melalui pengalihan eksposur liabilitas kepada pihak reasuradur.

Penerapan finrei diharapkan tidak sampai menjadi opsi yang akan dipilih bagi pelaku industri mengingat mekanisme tersebut hanya bersifat sementara sehingga tidak menggambarkan kondisi kesehatan keuangan yang sesungguhnya. (Baca Juga: Ini 43 Amanat Peraturan OJK dari UU Perasuransian)

Terkait kondisi kesehatan keuangan, akhir tahun lalu, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 71 Tahun 2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Menurutnya, aturan ini diterbitkan sebagai dasar bagi perusahaan asuransi maupun reasuransi mengembangkan usahanya.

"Rata-rata industri kita sekarang bagus-bagus. Asuransi jiwa rata-rata 500 persen, asuransi umum 250 persen. Tapi kan aturan itu kita siapkan saja manakala suatu saat ada perusahaan asuransi yang dalam rangka pengembangan usaha butuh waktu untuk menambah modal ia tinggal minta izin kepada kita untuk melakukan finrei," ujarnya.

Sebelumnya, OJK menyatakan, akan merampungkan ‘utang’ aturan pelaksanaan terkait UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Upaya merampungkan tunggakan aturan pelaksanaan ini dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus mendorong bisnis di IKNB. Namun, berdasarkan kajian serta analisis ternyata hanya dibutuhkan total 16 POJK dengan aturan turunan dari UU tersebut. (Baca Juga: Belasan Regulasi Ini Akan Diterbitkan OJK Tahun 2017)

Dari total 16 POJK itu, OJK baru berhasil merampungkan 12 POJK pada tahun 2015 lalu. Dua POJK dirampungkan tahun 2016. Sementara sisa dua POJK lagi antara lain mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dan mengenai pelaporan perusahaan asuransi dan reasuransi.
Tags:

Berita Terkait