Berbincang dengan Elijana, Sesepuh Hakim Niaga
Berita

Berbincang dengan Elijana, Sesepuh Hakim Niaga

Ketika pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk, Elijana adalah satu dari 4 hakim ad hoc yang diangkat.

Oleh:
NEE
Bacaan 2 Menit
Elijana Tansah (kanan), sesepuh hakim niaga, dalam sesi Pelatihan Wajib Kode Etik Kurator yang diselenggarakan HKPI di Jakarta. Foto: EDWIN
Elijana Tansah (kanan), sesepuh hakim niaga, dalam sesi Pelatihan Wajib Kode Etik Kurator yang diselenggarakan HKPI di Jakarta. Foto: EDWIN
Tak terasa Pengadilan Niaga di Indonesia hampir memasuki usia 20 tahun, masa yang terbilang dewasa. Sejarah Pengadilan Niaga tak bisa dilepaskan dari sejumlah nama. Ada beberapa nama yang terus berkiprah pada bidang pengadilan niaga, salah satunya Elijana. Bersama Prof. Rudy Prasetya, Prof. CFG Sunaryati Hartono, dan Setyawan, Elijana diangkat Pemerintah sebagai hakim ad hoc niaga ketika Pengadilan Niaga dibentuk pada 1998. Saat itu Elijana Tansah dan Setyawan adalah hakim tinggi yang bertugas di Mahkamah Agung.

Elijana masih meneruskan kiprahnya di bidang ini. Akhir pekan lalu, ia memberikan ceramah di hadapan peserta Pelatihan Wajib Kode Etik Kurator di Jakarta. Di waktu senggang dalam acara itu, Hukumonline sempat berbincang dengan Elijana. Perempuan kelahiran Cilacap, 8 Maret 1936, itu menyampaikan kilas balik dan poin-poin penting mengenai Pengadilan Niaga Indonesia ke depan.

Keberadaan Pengadilan Niaga sebagai lingkup peradilan khusus di dalam sistem peradilan Indonesia adalah respons dari globalisasi ekonomi terutama dipicu oleh krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Saat itu banyak pelaku usaha/debitor yang tidak gagal bayar kepada lembaga pembiayaan/kreditor. Kondisi yang dikenal sebagai ‘kredit macet’ itu menyebabkan sejumlah bank gulung tikar dan banyak perusahaan tak bisa melanjutkan usahanya. Mereka terbelit utang.

Salah satu solusi Pemerintah saat itu adalah menyempurnakan aturan kepailitan –UU No. 4 Tahun 1998-- dengan menetapkan pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Tujuannya agar sengketa-sengketa niaga dapat diselesaikan secara cepat lewat pemindahan kewenangan mutlak Peradilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat disusul di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang.

Lalu apa kabarnya Pengadilan Niaga saat ini? Dalam perjalanannya, payung hukum Pengadilan Niaga sudah berubah. Kini yang berlaku adalah UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). (Baca juga: Pemerintah Terima 33 Masukan untuk Revisi UU Kepailitan).

Ruang lingkup kewenangan Pengadilan Niaga kini tidak hanya mencakup perkara kepailitan dan penundaan kewajiban dan pembayaran utang (PKPU) saja. Berbagai peraturan perundangan telah menambah sengketa komersial lainnya seperti sengketa di bidang hak kekayaan intelektual (HKI) dan sengketa dalam proses likuidasi bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan sebagai kewenangan Pengadilan Niaga. Sayangnya, dengan kewenangan yang meluas justru usaha penyediaan Hakim Niaga yang berkualitas belum terlihat.

Elijana bercerita, sejak dulu sudah ada wacana utntuk memindahkan Pengadilan Niaga ke Pengadilan Tinggi. Alasannya karena jenjang karir dari para Hakim Niaga sudah pasti akan melalui Pengadilan Tinggi. Padahal setelah melewati sejumlah pelatihan dan pengalaman menangani perkara Niaga, justru di Pengadilan Tinggi tidak akan mendapatkan kesempatan menangani perkara Niaga. Hal ini karena jenjang upaya hukum atas perkara Niaga langsung naik ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

“Mereka itu naik (jabatan) ke Pengadilan Tinggi, di Pengadilan Tinggi itu ndak ada Niaga, kan Niaga itu adanya di Pengadilan Niaga terus langsung ke Mahkamah Agung, jadi kayak mubadzir gitu kan tenaganya, ya, banyak yang pensiun di Pengadilan Tinggi lagi,” ujar perempuan yang pernah menjadi Pj. Ketua Pengadilan Negeri Tasikmalaya itu.

Bagi Elijana, jika ingin membuat alur yang ideal agar para Hakim Niaga terasah kemampuan dan jam terbangnya secara mumpuni, maka tahapan pertama dari perkara Niaga harus dimulai di lembaga Pengadilan Tinggi. Sehingga kenaikan karir dari Hakim Niaga ke Mahkamah Agung ataupun tetap berada di Pengadilan Tinggi akan membuat penanganan perkara Niaga ditangani oleh Hakim yang telah ahli di bidang Niaga. “Menurut saya  sebaiknya begitu,” tambah sarjana hukum dari UGM Yogyakarta itu.

Salah satu kendala yang dikhawatirkan jika Pengadilan Niaga ditempatkan pada tingkat Pengadilan Tinggi ialah soal teknis semacam ketersediaan juru sita dimana salah satu hal yang dieksekusi oleh Pengadilan Niaga adalah sita umum juga untuk pemanggilan debitor serta pemohon. Namun Elijana yakin kepentingan terbesar dari Pengadilan Niaga saat ini adalah memastikan ketersediaan hakim-hakim niaga yang mumpuni.

Menurut Kurator Senior yang juga Wakil Ketua dari HKPI, Nasrullah Nawawi, ada tren peningkatan perkara kepailitan dan PKPU. Dalam penelusuran hukumonline di SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) dari 5 Pengadilan Niaga, sejak Januari 2017 hingga medio Maret ini tercatat 52 perkara di Jakarta, 14 perkara di Surabaya, 7 perkara di Medan, 6 perkara di Semarang, dan 0 perkara di Makassar.

Pada tahun sebelumnya, sepanjang 2016 tercatat 213 perkara di Jakarta, 54 perkara di Surabaya, 34 perkara di Semarang, 19 perkara di Medan, dan 9 perkara di Makassar. PKPU mendominasi perkara. Jumlah perkara di Pengadilan Niaga Jakarta hampir menyamai jumlah perkara pada awal pembentukan Pengadilan Niaga pada 1998. (Baca juga: Dapatkah Mengajukan PKPU Setelah Permohonan Pailitan Ditolak Pengadilan).

Menanggapi dominasi perkara PKPU tersebut Elijana menilai justru PKPU adalah jalan cepat untuk mempailitkan debitor dimana dalam 45 hari tidak bisa damai debitor akan langsung dipailitkan dan tidak ada upaya hukum apapun pada putusan PKPU. Dengan kondisi demikian, tentu menjadi hal mendesak agar kualitas SDM hakim niaga terus meningkat.
Tags:

Berita Terkait