Idealnya, RUU Jabatan Hakim Juga Atur Berbagai Jenis Hakim
Berita

Idealnya, RUU Jabatan Hakim Juga Atur Berbagai Jenis Hakim

RUU Jabatan Hakim harus menjawab kebutuhan internal dan eksternal. Konsep ini harus dibangun untuk melihat segala macam persoalan profesi hakim.

Oleh:
CR-23
Bacaan 2 Menit
Diskusi yang Digelar Komisi Yudisial bertajuk “Menggagas Manajemen Jabatan Hakim yang Ideal” di Jakarta, Kamis (16/03). Foto: CR-23
Diskusi yang Digelar Komisi Yudisial bertajuk “Menggagas Manajemen Jabatan Hakim yang Ideal” di Jakarta, Kamis (16/03). Foto: CR-23
Hingga kini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim masih berada di tangan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Berbagai masukan terutama mengenai konsekwensi profesi hakim sebagai pejabat negara terus masih menjadi perbincangan di kalangan pemangku kepentingan termasuk kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM).  

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan RUU Jabatan Hakim diharapkan bisa mengatur hal-hal dari hulu hingga hilir mulai dari proses seleksi hingga pensiun yang diarahkan pada manajemen semua jenis hakim yang ideal. Bahkan, hakim yang berbeda institusi sekalipun yakni hakim di bawah MA, MK, hingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).   

“Bayangan saya, RUU Jabatan Hakim ini bisa mengatur keseluruhan hakim dari hulu ke hilir yaitu dari tingkatan hakim agung, hakim tinggi, hakim ad hoc, hakim MK, KPPU termasuk diatur hakim quasi yudisial. Termasuk proses seleksi hakim konstitusi harus masuk juga dalam RUU ini,” kata Zainal dalam diskusi yang digelar Komisi Yudisial bertajuk “Menggagas Manajemen Jabatan Hakim yang Idealdi Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Menurutnya, idealnya seluruh jabatan hakim mesti diikat dengan peraturan perundang-undangan yang sama, sehingga tidak ada pembedaan. Karena itu, tentu saja, untuk menghasilkan hakim yang berkualitas dan berintegritas, UU Jabatan Hakim ini harus mengatur secara komprehensif konsekwensi berbagai jenis profesi hakim dalam satu UU termasuk pilihan status hakim, apakah sebagai PNS atau pejabat negara.

“UU ini akan menjaga harkat martabat, independensi hakim, sehingga harus diatur dengan detil dari seluruh jenis hakim, tidak ada pembedaan,” kata dia. Baca Juga: Evaluasi Kinerja Hakim Agung Potensial Langgar Independensi

Zainal berpandangan independensi hakim harus berbanding lurus dengan integritas lembaganya. Semakin tinggi integritas lembaga, maka wajar jika indepensinya ditingkatkan. “Judicial independency punya keterkaitan dengan judicial integrity. Kalau lembaganya bersih, wajar kalau indepensinya ditinggikan. Tetapi kalau integritasnya rendah, suatu kebodohan kalau kita kasih independensi yang tinggi,” kata Zainal.

Menanggapi soal one roof system (sistem satu atap) dalam sistem peradilan, menurutnyaone roof system itu baik, tetapi bukan berarti pasti benar. Baginya, sistem peradilan dengan satu atap di bawah MA, tidak hanya persoalan independensi, tetapi juga ada sistem administrasi di dalamnya. Kuasa administrasi bukan berada di MA, tetapi ada di pemerintah karena pemerintahlah yang menguasai administrasi.

“Tetapi, jika one roof system itu bebas dari pengaruh/kekuasaan manapun itu mustahil. Sebab, yang membagi-bagi uang (kepada lembaga negara) saja adalah kewenangan Kementerian Keuangan,” lanjutnya. Baca Juga: MA Tegaskan Sistem Satu Atap ‘Harga Mati’

Bagaimananpun, one roof system dalam lembaga peradilan ada proses kebijakan yang melibatkan lembaga lain. ”Saya mengatakan tidak ada kewenangan yang dibagi, kewenangan pokok itu tetap ada di MA. Tetapi, (seringkali) penggunaan kewenangan negara mewajibkan untuk melibatkan lembaga lain,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Andri Gunawan mengatakan RUU Jabatan Hakim harus menjawab kebutuhan internal dan eksternal. Konsep ini harus dibangun untuk melihat segala macam persoalan profesi hakim. Di eksternal, misalnya, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan harus terus dibangun.

“Kebanyakan yang menyebabkan penurunan kepercayaan publik, salah satunya ada hakim telpon-telponan atau whatsapp-an saat sidang. Ini juga berkaitan dengan manajemen hakim. Termasuk apakah hakim ini akan masuk pegawai negeri atau pejabat negara,” kata Andri menambahkan.
Tags:

Berita Terkait